Monday, September 29, 2008

MENGADU


Kemana hendak mengadu
Ditengah kedalaman kesedihan, derita dan rintihan kesengsaraan

Bapak-bapak berdasi itu berkata …
Perekonomian bagus …tak pernah lebih baik….
Lalu seolah data meng-iyakan
“Inflasi rendah” …
“Nilai tukar rupiah ditingkat yang menggembirakan”
“Banyak investor luar negri masuk”
“Suku bunga bank rendah”
“Kapasitas ekspor meningkat”
“Sales atas berang mewah naik”
“Global environment sangat bersahabat”
“Economy never been better”

Padahal ketika mereka meminta kita memilihnya bahasa mereka tidak menjelimet seperti itu…
Mereka ketika itu berkata
Akan menjaga Harga sembako tetap terjangkau
Akan menjamin kemudahan naik angkot lewat terjangkaunya ongkos
Akan mengadakan Sekolah gratis
bahkan pengobatan gratis ….
Akan menjadikan mudah untuk mencari kerja

Kemana hendak mengadu
Ditengah kedalaman kesedihan, derita dan kesengsaraan
Apakah pada tetangga samping rumah yang memiliki mobil mewah 3 buah
Apakah pada acara televisi yang mengumbar simpati…….
Apakah Lewat persimpangan jalan dengan menggendong anak sambil memelas

Mengadu ke Pemda yang ada adalah cap pendatang illegal
Mengadu pada DPR, hanya dianggap pengemis begitu bertemu satpam depan pagar
Mengadu pada masjid kadang hanya diberi saat zakat fitrah atau idul kurban…..
Padahal katanya 2.5 % hartanya milik fakir miskin……

kemana hendak mengadu
Ditengah kedalaman kesedihan, derita dan kesengsaraan
Seolah sempit, terhimpit, tersedak, terjepit………


Mungkin lebih baik hidup dipenjara meski di kurung toh tidak lagi memikirkan bagaimana akan makan…..
Mungkin lebih baik bunuh diri paling tidak berkurang beban pikiran pemda satu orang…..
Mungkin lebih baik …?!

Kemana keadilan hidup
Kemana kemanusiaan itu
Kemana ….kemana……….

Makan kami seharga seribu limaratus rupiah
Makan mereka seharga seratus ribu rupiah
Baju kami seharga sepuluh ribu rupiah
Baju mereka seharga lima ratus ribu rupiah

Kemana hendak mengadu
Ditengah kedalaman kesedihan, derita dan rintihan kesengsaraan

Sudahkah kemanusiaan itu mati…!!
Kemana hendak mengadu....

MUHAMAD SUKRI
kurangi_kesenjangan@yahoogroups.com

Monday, September 08, 2008

Di Tepi Kesetiaan




aku telah menjauhinya
ketika ‘Umar masih hidup
bagaimana mungkin aku
berdekat-dekat dengannya
ketika ‘Umar telah tiada?
-Fathimah binti ‘Abdul Malik-

Fathimah mengenang ketika suaminya, ’Umar ibn ’Abdul ’Aziz mulai memegang amanah kekhalifahan. ”Mungkin ada orang lain yang lebih banyak shalat dan ibadahnya daripada ’Umar”, kata Fathimah. ”Tapi aku belum pernah menyaksikan orang yang lebih takut kepada Allah daripadanya.” Pengangkatannya menjadi Amirul Mu’minin memang menjadi sebuah jungkir balik hidup yang dahsyat bagi ’Umar. Seorang sahabatnya menyaksikan ketika di hari-hari ia memangku jabatannya ’Umar memegang sehelai kain seharga 3 dirham dan berkomentar, ”Ini terlalu halus untukku!”
Sang sahabat tersenyum. Tapi tak terasa, air matanya meleleh deras.
”Mengapa kau tersenyum?”, tanya ’Umar.
Sahabatnya itu menerawang ke arah lain sambil menghela nafas. “Aku ingat saat kau masih seorang pemuda di Madinah“, katanya. “Kau menganggap ringan terlambat shalat berjama’ah karena masih sibuk menyisir rambut. Dan kau..“ Sahabatnya itu tersenyum lagi, sambil geleng-geleng kepala seolah geli. “Kau pernah mengatakan saat itu bahwa kain seharga 3.000 dirham terasa sangat kasar. Lihat dirimu sekarang! Kau katakan kain seharga 3 dirham sebagai terlalu halus.“
’Umar ikut tersenyum. Matanya kaca.
Fathimah pun mengenang ketika sekali waktu ’Umar duduk di sampingnya kemudian berbisik lembut kepadanya. “Engkau pasti tahu dari mana ayahmu memberimu permata yang kau pakai ini. Oleh sebab itu apakah engkau keberatan bila permata ini kita taruh dalam sebuah kotak lalu kita masukkan ke Baitul Maal?“
Fathimah terhenyak. Ia menatap lelaki yang amat dicintainya itu. Dirabanya permata yang menggantung di lehernya itu. Permata itulah satu-satunya perhiasannya yang masih tinggal. Ia sangat menyayanginya. Permata yang penuh kenangan. Permata itu hadiah ayahnya –sekaligus paman ’Umar-, Khalifah ’Abdul Malik ibn Marwan di hari pernikahan mereka.
“Terlebih dahulu“, kata ’Umar, “Aku akan membelanjakan simpanan Baitul Mal yang lain, dan kalau sudah habis barulah akan kugunakan permata itu untuk kepentingan kaum muslimin.“
Fathimah akhirnya tersenyum. Dibukanya pengait kalungnya. Diserahkannya permata itu ke genggaman suaminya. Dan ’Umar, dengan tubuhnya yang kini kurus memeluknya tanpa kata. Mesra. Dan lama. Fathimah tahu artinya. Seolah-olah ia mendengar suara lembut ’Umar, ”Terimakasih atas kesetiaanmu padaku di jalan yang mendaki lagi sulit ini. Semoga Allah mempersatukan kita dalam kehidupan yang lebih indah di sisiNya.”
Kelak, ketika ’Umar wafat dan adik Fathimah yang bernama Yazid ibn ’Abdul Malik menggantikannya sebagai Khalifah, ujian kesetiaan itu datang. Yazid yang tahu perhiasan kesayangan kakaknya membawa kembali permata itu. Dengan penuh sayang diletakkannya permata itu di genggaman tangan kakaknya. Fathimah menggeleng sambil tersenyum. ”Aku telah menjauhinya ketika ‘Umar masih hidup. Bagaimana mungkin aku berdekat-dekat dengannya ketika ‘Umar telah tiada?” Begitu katanya.