Saturday, June 15, 2013

Kreativitas Fiskal dan Pembodohan Terhadap Masyarakat

Oleh: Anthony Budiawan
Direktur Eksekutif – Indonesia Institute for Financial and Economic Advancement (IIFEA) Rektor – Institut Bisnis dan Informatika Indonesia (IBII)

Seorang Sultan dari Negeri RI memiliki tanah yang sangat subur tetapi awalnya tidak sadar atas karunia tersebut. Sultan didatangi oleh orang asing yang ingin mengelola tanah nan subur tersebut dengan cara bagi hasil dengan pembagian 30% untuk asing dan 70% untuk Sultan.
Dari pengelolaan tanah tersebut diperoleh hasil sebanyak 100 unit Produk MB per tahun dengan pembagian 30 unit untuk pengelola (mitra asing) dan 70 unit untuk Sultan. Dengan demikian, Sultan memperoleh 70 unit MB tanpa mengeluarkan biaya sama sekali (biaya = Rp 0). Sultan merasa sangat beruntung dengan kerja sama tersebut.

Sultan sadar bahwa Produk MB ini sangat dibutuhkan oleh rakyatnya, dan berjanji akan menggunakannya demi kepentingan, dan untuk kesejahteraan, Rakyat RI. Oleh karena itu, Sultan memutuskan untuk menjual Produk MB tersebut di dalam negeri dengan harga jual eceran Rp 1.000 per unit, sehingga Sultan memperoleh Pendapatan sebesar Rp 70.000 (untuk 70 unit), tanpa mengeluarkan biaya pengelolaan tanah (produksi). Untuk menjual Produk tersebut kepada masyarakat, Sultan memerlukan Biaya Operasional (Logistik, Distribusi, dll) sebesar Rp 10.000 per tahun, sehingga tingkat keuntungan Sultan menjadi sebesar Rp 60.000, seperti perhitungan berikut ini:

Pendapatan (Penerimaan) Rp 70.000 (70 unit @ Rp 1.000)
Biaya Operasional (Logistik, Distribusi, dll) Rp 10.000 -/-
Laba (atau Surplus) Rp 60.000

Penciptaan istilah “Subsidi”

Sultan diberitahu oleh Para Pembantunya bahwa harga Produk MB di luar negeri ternyata Rp 2.000 per unit. Namun, Sultan sadar sekali bahwa harga jual tersebut terlalu tinggi untuk di dalam negeri. 

Sultan adalah seorang yang sangat kreatif, dan berpikir untuk mendirikan sebuah perusahaan, PT Pert-MB, yang ditugaskan khusus untuk menjual dan mendistribusikan Produk MB di dalam negeri. Karena harga Produk MB di luar negeri sebesar Rp 2.000 per unit, maka Sultan memutuskan untuk menjualnya kepada PT Pert-MB dengan harga internasional tersebut. Tetapi, Sultan sangat sadar bahwa rakyatnya tidak mampu membeli Produk MB dengan harga Rp 2.000 per unit, dan menginstruksikan kepada PT Pert-MB untuk menjualnya kepada rakyat dengan harga Rp 1.000. 

PT Pert-MB tidak ada pilihan lain dan harus mentaati keputusan ini, yaitu membeli Produk MB dari Sultan dengan harga Rp 2.000 per unit dan menjualnya kepada masyarakat dengan harga Rp 1.000 per unit. Oleh karena itu, PT Pert-MB tentu saja akan mengalami kerugian sebesar Rp 1.000 per unit atau Rp 70.000 untuk 70 unit. Ditambah Biaya Operasional sebesar Rp 10.000 per tahun maka total kerugian PT Pert-MB akan menjadi Rp 80.000, di mana kerugian ini akan diganti sepenuhnya oleh Sultan dengan istilah “Subsidi MB”. Dengan bangga Sultan kemudian berkata kepada rakyatnya bahwa sekarang Sultan memberi “Subsidi MB” kepada masyarakat (melalui PT Pert-MB) sebesar Rp 80.000 per tahun. “Subsidi MB”inilah yang selalu dikomunikasikannya kepada masyarakat, dan masyarakat sangat senang atas kebaikan hati Sultan.

Pembukuan PT Pert-MB
Penjualan MB kepada masyarakat Rp 70.000 (70 unit @ Rp 1.000)
Pembelian MB dari Sultan Rp 140.000 (70 unit @ Rp 2.000) -/-
Rugi Penjualan sebelum Biaya Operasional Rp 70.000
Biaya Operasional (Logistik, Distribusi, dll) Rp 10.000 +/+
Total Kerugian yang harus di-“subsidi” Rp 80.000
“Subsidi” dari Sultan Rp 80.000 -/-
Total Rp 0 (nihil)

Akan tetapi, benarkah demikian? Seorang ekonom, KKG, yang sangat kritis terhadap hitung-hitungan seperti ini dibuat terheran-heran, dan bertanya-tanya, mengapa negeri nan subur ini memerlukan subsidi Produk MB dari Sultan: pada awalnya Sultan memperoleh Laba (Surplus) sebesar Rp 60.000, tetapi kemudian berbalik menjadi memberi “Subsidi” sebesar Rp 80.000 (yang dikomunikasikan kepada masyarakat sebagai Kerugian), sedangkan di dalam praktek sehari-hari KKG tidak melihat ada perubahan apapun pada penjualan Produk MB di dalam negeri, baik dalam jumlah produksi, konsumsi maupun harga per unit produk MB. 

Selidik punya selidik, KKG kemudian memperoleh fakta dari Nota Keuangan Sultan di mana tercatat ada Pendapatan yang berasal dari penjualan Produk MB kepada PT Pert-MB sebesar Rp 140.000 per tahun, yaitu 70 unit @ Rp 2.000. Di samping itu, dalam Nota Keuangan yang sama KKG juga melihat ada Belanja “Subsidi MB” kepada PT Pert-MB sebesar Rp 80.000 per tahun.

Dengan demikian, Sultan seharusnya masih memperoleh Surplus sebesar Rp 60.000 (persis seperti pada awal transaksi sebelum PT Pert-MB didirikan).
Nota Keuangan Sultan terkait Produk MB
Pendapatan (dari PT Pert-MB) Rp 140.000 (70 unit @ Rp 2.000)
“Subsidi MB” (kepada PT Pert-MB) Rp 80.000 (lihat pembukuan PT Pert-MB di atas) -/-
Laba (Surplus) Rp 60.000

Oleh karena itu, KKG kemudian mengambil kesimpulan bahwa subsidi yang di-claim oleh Sultan selama ini sebenarnya hanyalah sebuah ilusi saja, imajinasi saja. Subsidi tersebut sebenarnya tidak pernah ada. Faktanya, Sultan malah memperoleh Laba (Surplus) sebesar Rp 60.000 per tahun seperti perhitungan yang ada dalam Nota Keuangan Sultan yang ditampilkan oleh KKG di atas.

Istilah “Subsidi” yang Semakin Populer, dan Pembodohan terhadap Masyarakat

Sangat mengejutkan, harga Produk MB di luar negeri naik pesat menjadi Rp 2.400 per unit pada tahun berikutnya. Melihat perkembangan tersebut, Sultan kemudian meminta PT Pert-MB untuk membeli Produk tersebut dengan harga yang sama dengan harga luar negeri, yaitu Rp 2.400 per unit, tetapi menginstruksikannya untuk menjualnya di pasar domestik dengan harga yang sama, yaitu Rp 1.000 per unit, di mana total Kerugian PT Pert-MB tersebut akan diganti sepenuhnya (dengan kata lain, di-“subsidi”) oleh Sultan. Oleh karena itu, total kerugian PT Pert-MB yang akan “disubsidi” oleh Sultan menjadi Rp 108.000 seperti perhitungan berikut:

Pembukuan PT Pert-MB
Penjualan Produk MB kepada masyarakat Rp 70.000 (70 unit @ Rp 1.000)
Pembelian Produk MB dari Sultan Rp 168.000 (70 unit @ Rp 2.400) -/-
Rugi Penjualan sebelum Biaya Operasional Rp 98.000
Biaya Operasional (Logistik, Distribusi, dll) Rp 10.000 +/+
Total kerugian yang harus di-“subsidi” Rp 108.000
“Subsidi” dari Sultan Rp 108.000 -/-
Total Rp 0 (nihil)

Sultan kemudian dengan bangga mengumumkan kepada Rakyat RI bahwa “Subsidi” yang diberikan oleh Sultan kepada masyarakat (melalui PT Pert-MB) meningkat dari Rp 80.000 menjadi Rp 108.000 karena harga Produk MB di dalam negeri tidak dinaikkan sesuai harga di luar negeri (artinya, harga Produk MB di dalam negeri tetap Rp 1.000 per unit). KKG sekali lagi mengintip Nota Keuangan Sultan, dan menyajikan data tersebut sebagai berikut.

Nota Keuangan Sultan terkait Produk MB
Pendapatan (dari PT Pert-MB) Rp 168.000 (70 unit @ Rp 2.400)
“Subsidi MB” (kepada PT Pert-MB) Rp 108.000 (lihat pembukuan PT Pert-MB di atas) ./-
Laba (Surplus) Rp 60.000

Kesimpulan

Ternyata, KKG melihat fakta (dari Nota Keuangan Sultan) bahwa Sultan masih tetap memperoleh surplus sebesar Rp 60.000: yaitu, penjualan kepada PT Pert-MB sebesar Rp 168.000 (70 unit @ Rp 2.400) dikurangi “Subsidi MB’ kepada masyarakat sebesar Rp 108.000).

KKG mengangguk-angguk tanda mengerti, dan dalam batin dia mengatakan: tentu saja surplus tersebut tidak berubah, yaitu tetap Rp 60.000, karena kondisi di dalam negeri juga tidak berubah, dan sangat jelas bahwa kondisi di luar negeri tidak ada hubungannya dengan di dalam negeri.

Tetapi, kebanyakan masyarakat, termasuk para intelektual, sudah sangat terpikat dengan pencitraan Sultan yang dianggap sangat bermurah hati karena memberi “Subsidi MB” kepada masyarakat dalam jumlah besar.

Tetapi, sangat sayang bagi Sultan bahwa pembodohan ini tidak akan berlangsung lama lagi karena masyarakat sudah mulai tersentak dan tersadar dengan data yang disajikan oleh KKG, bahwa selama ini mereka dibodohi saja dengan istilah “Subsidi MB”. Kita tunggu saja reaksi masyarakat selanjutnya.

Selang akhir tahun, harga Produk MB di pasar internasional naik lagi dengan pesat dan pada puncaknya mencapai Rp 3.000 per unit. Pembantu Sultan yang menangani masalah keuangan diminta nasehatnya mengenai dampak kenaikan harga Produk MB di pasar internasional terhadap keuangan Sultan.

Pembantu Keuangan Sultan mengerti keinginan Sultan bahwa harga jual Produk MB kepada PT Pert-MB adalah berdasarkan harga internasional, yaitu Rp 3.000 per unit, tetapi, harga jual dari PT Pert-MB kepada masyarakat adalah Rp 1.000 per unit (yang disebut sebagai harga ber-“subsidi”). Harga jual Produk MB kepada PT Pert-MB dengan harga pasar internasional, meskipun hanya sebagai ilusi, sudah dilakukan sejak lama (karena itulah yang selalu dikatakan oleh Pembantu Keuangan terdahulu, dengan alasan bahwa Sultan sesungguhnya dapat menjual Produk MB di luar negeri dengan harga pasar internasional karena Produk MB sudah menjadi komoditas vital dunia yang paling dicari).

Atas dasar asumsi harga jual tersebut, Pembantu Keuangan Sultan kemudian menghitung, dan sangat terkejut sekali melihat hasil hitungannya sendiri. Dengan tergopoh-gopoh, Pembantu Keuangan menghadap Sultan dan mengatakan apabila Sultan tidak menaikkan harga MB di dalam negeri maka Sultan akan mengalami kesulitan keuangan, alias keuangan Sultan akan jebol, karena Sultan harus menanggung beban ”Subsidi MB” yang sangat luar biasa besarnya, yaitu dari Rp 108.000 menjadi Rp 150.000, naik hampir 50%, seperti terlihat dalam perhitungan berikut:

Pembukuan PT Pert-MB
Penjualan MB kepada masyarakat Rp 70.000 (70 unit @ Rp 1.000)
Pembelian MB dari Sultan Rp 210.000 (70 unit @ Rp 3.000) -/-
Rugi Penjualan sebelum Biaya Operasional Rp 140.000
Biaya Operasional (Logistik, Distribusi, dll) Rp 10.000 +/+
Total kerugian yang harus di-“subsidi” Rp 150.000
“Subsidi” dari Sultan Rp 150.000 -/-
Total Rp 0 (nihil)

Melihat hasil perhitungan tersebut, Sultan langsung tampil di depan publik dan berpidato (sambil berkeluh kesah) bahwa sekarang ini keuangan Sultan sedang mengalami permasalahan yang sangat serius akibat kenaikan harga Produk MB di pasar internasional. Beban “Subsidi MB” yang harus ditanggung oleh Sultan menjadi sangat berat, dan oleh karena itu, Sultan berharap Rakyat RI dapat memakluminya apabila harga Produk MB di dalam negeri dengan terpaksa dinaikkan untuk menyelamatkan keuangan Sultan, seraya menambahkan: “Sultan mana yang senang atau gembira menaikkan harga MB di pasar domestik?”

Sekali lagi, ekonom KKG terheran-heran dibuatnya, dan tidak mengerti bagaimana kondisi di dalam negeri yang tidak berubah dapat mengakibatkan “Subsidi MB” meningkat seiring dengan meningkatnya harga internasional.

Berdasarkan perhitungannya, Produk MB itu merupakan hasil dari tanah nan subur milik sendiri, milik Rakyat RI, oleh karena itu, tidak ada hubungannya dengan Produk MB di luar negeri, dan tidak ada hubungannya dengan gejolak harga internasional. KKG sempat berpikir, apa saya yang bodoh sehingga tidak dapat mengikuti perhitungan yang disajikan oleh Para Pembantu Sultan.

Dengan rasa heran dan penuh rasa ingin tahu, KKG sekali lagi mengintip Nota Keuangan Sultan yang terbaru. Setelah mempelajarinya, KKG terperangah karena melihat fakta bahwa sebenarnya Sultan masih mengalami Laba (atau Surplus) sebesar Rp 60.000, persis sesuai prediksinya, yaitu surplus tersebut tidak mengalami perubahan apapun dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. KKG mengutip hitungan dalam Nota Keuangan Sultan terkait Produk MB yang kemudian disajikan seperti berikut ini:

Nota Keuangan Sultan terkait Produk MB
Pendapatan (dari PT Pert-MB) Rp 210.000 (70 unit @ Rp 3.000)
“Subsidi MB” (kepada PT Pert-MB) Rp 150.000 (lihat pembukuan PT Pert-MB di atas) -/-
Laba (Surplus) Rp 60.000

Tetapi, siapa yang mau mendengar KKG yang dianggap oleh banyak kalangan tidak mengerti permasalahan keuangan negara yang sangat rumit. Melalui Perwakilan Para Rakyat, maka disetujui harga Produk MB di pasar domestik naik dari Rp 1.000 per unit menjadi Rp 1.500 per unit untuk mempersempit perbedaan harga domestik dengan harga internasional, demi menyelamatkan Anggaran Keuangan Sultan.

Menurut Pembantu Keuangan Sultan, dampak kenaikan harga domestik tersebut dapat mengurangi “Subsidi MB” dari Rp 150.000 menjadi Rp 115.000 (lihat hitungan di bawah), tetapi tetap lebih tinggi dari jumlah “subsidi” sebelumnya yang sebesar Rp 108.000.

Pembukuan PT Pert-MB
Penjualan MB kepada masyarakat Rp 105.000 (70 unit @ Rp 1.500)
Pembelian MB dari Sultan Rp 210.000 (70 unit @ Rp 3.000) -/-
Rugi Penjualan sebelum Biaya Operasional Rp 105.000
Biaya Operasional (Logistik, Distribusi, dll) Rp 10.000 +/+
Total kerugian yang harus di-“subsidi” Rp 115.000
“Subsidi” dari Sultan Rp 115.000 -/-
Total Rp 0 (nihil)

Secara diam-diam, karena masih merasa tidak mengerti alur pikirin Sultan serta pembantunya terkait “Subsidi MB”, sekali lagi KKG mencoba melihat dampak kenaikan harga Produk MB di pasar domestik terhadap Nota Keuangan Sultan, dan menemukan sebagai berikut:

Nota Keuangan Sultan terkait Produk MB
Pendapatan (dari PT Pert-MB) Rp 210.000 (70 unit @ Rp 3.000)
“Subsidi MB” (kepada PT Pert-MB) Rp 115.000 (lihat pembukuan PT Pert-MB di atas)
Laba (Surplus) Rp 95.000

Ternyata, setelah kenaikan harga Produk MB di pasar domestik menjadi Rp 1.500 per unit, Laba (Surplus) yang diperoleh Sultan mengalami kenaikan dari Rp 60.000 (sebelum kenaikan harga) menjadi Rp 95.000. Kenaikan Surplus ini sebesar kenaikan harga domestik dikalikan jumlah unit penjualan (Rp 500 x 70 unit = Rp 35.000).

KKG melihat bahwa konsep penyusunan anggaran seperti yang disajikan oleh Sultan dengan istilah “Subsidi” merupakan pembodohan yang luar biasa terhadap masyarakat, karena sebenarnya Sultan mengalami Surplus dari pengeloaan tanah yang dilakukan Mitra Asing yang menghasilkan Produk MB, meskipun harga jual di dalam negeri lebih rendah dari harga internasional.
Oleh karena itu, istilah “Subsidi MB” dapat dikatakan pembohongan besar terhadap masyarakat.

Intinya, KKG mengatakan bahwa pengeluaran “Subsidi MB” dalam Anggaran Belanja Sultan adalah tidak riil karena tidak ada uang yang dikeluarkan.

“Subsidi MB” ini akan dikompensasikan dengan penerimaan dari PT Pert-MB (yang juga tidak riil). Satu-satunya yang riil dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Sultan adalah Surplus (atau Laba) sebesar Rp 60.000 sebelum terjadi kenaikan harga di pasar domestik, atau Rp 95.000 setelah terjadi kenaikan harga. Tetapi, anehnya Surplus yang riil ini tidak pernah disebut secara eksplisit di dalam Nota Keuangan Sultan, melainkan harus dicari dan dihitung sendiri, seperti yang dilakukan oleh KKG. Benar-benar sebuah usaha pengaburan perhitungan yang sempurna.

Ringkasan bagian sebelumnya, Sultan Negeri RI bekerja sama dengan Mitra Asing mengelola tanah nan subur ini, dan menghasilkan 100 unit Produk MB per tahun dengan pembagian 30%, atau 30 unit, untuk Mitra Asing dan 70%, atau 70 unit, untuk Sultan. Pada awalnya, 70 unit Produk MB ini jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Tetapi, perkembangan akhir-akhir ini cukup membuat Sultan pusing. Pasalnya, produksi dalam negeri menurun, sedangkan Mitra Asing juga meminta bagi hasil produksi dirubah akibat biaya kelola tanah (yang dinamakan cost recovery) meningkat: bagi hasil yang pada awal kesepakatan sebesar 30% untuk Mitra Asing dan 70% untuk Sultan minta dirubah menjadi 33,33% (atau 1/3 bagian) untuk Mitra Asing dan 66,67% (atau 2/3 bagian) untuk Sultan. Selain itu, permintaan konsumsi Produk MB di dalam negeri meningkat sehingga kebutuhan dalam negeri tidak dapat lagi dipenuhi oleh produksi dalam negeri, tetapi harus dipenuhi juga dari impor. Negeri RI sekarang sudah menjadi negara Net Importir Produk MB.

Dari data terakhir tercatat bahwa hasil produksi pengelolaan tanah hanya mencapai 90 unit Produk MB. Dengan kesepakatan bagi hasil yang terakhir, Mitra Asing memperoleh 1/3 bagian atau 30 unit Produk MB, sedangkan Sultan akan memperoleh 2/3 bagian atau 60 unit Produk MB. Seluruh Rakyat RI tidak ada yang mengetahui, secara sadar atau tidak sadar, bahwa penurunan produksi hasil kelola Mitra Asing dari 100 unit menjadi 90 unit tidak membuat bagian perolehan Mitra Asing turun: Mitra Asing tetap memperoleh 30 unit. Artinya, seluruh penurunan produksi tersebut dibebankan kepada Sultan melalui kesepakatan bagi hasil yang baru akibat cost recovery naik.

Bukan sulap dan bukan magic, tetapi nyata terjadi di Negeri RI yang tercinta ini: penurunan produksi yang dilakukan oleh Mitra Asing sebagai pengelola tanah tidak membuat perolehan mereka turun.

Seperti diuraikan di atas, konsumsi Produk MB di dalam negeri meningkat terus dari 70 unit per tahun menjadi 75 unit per tahun. Karena Sultan sekarang hanya memperoleh 60 unit dari pengelola Mitra Asing, maka Sultan harus mengimpor Produk MB sebanyak 15 unit untuk memenuhi total kebutuhan dalam negeri.

Nasib baik tidak berpihak pada Sultan, harga Produk MB di luar negeri naik sangat pesat belakangan ini, menjadi rata-rata Rp 4.000 per unit dari (harga sebelumnya sebesar Rp 3.000 unit). Melihat perkembangan yang sangat mengkhawatirkan ini, Pembantu Keuangan Sultan mulai menghitung apakah keuangan Sultan masih aman. Seperti biasa, Pembantu Keuangan sangat terperanjat melihat hasil perhitungannya, dan segera menghadap Sultan, melaporkan bahwa posisi keuangan Sultan dalam bahaya besar dan akan jebol apabila harga Produk MB di dalam negeri (yang sebesar Rp 1.500 per unit) tidak dinaikkan: “Subsidi MB” akan melonjak lagi, dan kali ini tidak tanggung-tanggung, dari Rp 115.000 pada tahun sebelumnya menjadi Rp 197.500 pada tahun ini, seperti terlihat dalam perhitungan di bawah ini.

Pembukuan PT Pert-MB
Penjualan MB kepada masyarakat (75 unit @ Rp 1.500) Rp 112.500
Pembelian MB dari Sultan (60 unit @ Rp 4.000) Rp 240.000 
Pembelian MB Impor (15 unit @ Rp 4.000) Rp 60.000 +/+ 
Total Pembelian MB Rp 300.000 -/-
Rugi Penjualan sebelum Biaya Operasional Rp 187.500
Biaya Operasional (Logistik, Distribusi, dll) Rp 10.000 +/+
Total Kerugian yang harus di-“subsidi” Rp 197.500
“Subsidi” dari Sultan Rp 197.500 -/-
Total Rp 0 (nihil)

Mendengar laporan tersebut, Sultan langsung segera tampil di depan publik, tentu saja sambil berkeluh kesah seperti biasanya, menyampaikan bahwa keuangan negara sedang mengalami kesulitan yang maha dahsyat akibat kenaikan harga Produk MB di luar negeri yang sangat tinggi, ditambah jumlah impor yang cukup tinggi karena konsumsi dalam negeri meningkat sedangkan produksi dalam negeri menurun sehingga seluruh kebutuhan dalam negeri tidak dapat dipenuhi dari hasil produksi dalam negeri.

Sekali lagi, Sultan mohon dengan sangat agar Rakyat RI dapat mengerti bahwa harga Produk MB di pasar domestik terpaksa harus dinaikkan lagi, menjadi Rp 2.500 per unit, demi menyelamatkan keuangan Sultan. Dengan cara ini diharapkan beban “Subsidi MB” dapat ditekan untuk tidak naik terlalu tajam, hanya naik dari Rp 115.000 menjadi Rp 122.500, seperti terlihat pada perhitungan di bawah ini:

Pembukuan PT Pert-MB
Penjualan MB kepada masyarakat (75 unit @ Rp 2.500) Rp 187.500
Pembelian MB dari Sultan (60 unit @ Rp 4.000) Rp 240.000
Pembelian MB Impor (15 unit @ Rp 4.000) Rp 60.000 +/+ 
Total Pembelian Rp 300.000 -/-
Rugi Penjualan sebelum Biaya Operasional Rp 112.500
Biaya Operasional (Logistik, Distribusi, dll) Rp 10.000 +/+
Total Kerugian yang harus di-“subsidi” Rp 122.500
“Subsidi” dari Sultan Rp 122.500
Total Rp 0 (nihil)
Setelah sekian lama mengikuti alur pikiran Sultan dan para pembantunya terkait “Subsidi MB” ini, KKG sudah paham benar bagaimana cara Para Pembantu Sultan menyampaikan dan menyembunyikan informasi yang membodohi masyarakat ini. Lagi-lagi KKG mengintip Nota Keuangan Sultan dan membeberkannya sebagai berikut:

Nota Keuangan Sultan terkait Produk MB
Pendapatan (dari PT Pert-MB) Rp 240.000 (60 unit @ Rp 4.000)
“Subsidi MB” (kepada PT Pert-MB) Rp 122.500 (lihat pembukuan PT Pert-MB di atas) -/-
Laba (Surplus) Rp 117.500

Dari Nota Keuangan Sultan dapat dibaca bahwa keuangan Sultan sebenarnya mengalami Surplus yang lebih besar dari tahun sebelumnya, yaitu dari Rp 95.000 menjadi Rp 117.500, akibat kenaikan harga domestik yang disesuaikan dengan kenaikan harga internasional, yaitu Rp 1.000 per unit, meskipun jumlah Produk MB yang diterima oleh Sultan (dari bagi hasil kelola tanah dengan Mitra Asing) turun dari 70 unit menjadi 60 unit dan jumlah impor naik dari 0 unit menjadi 15 unit.

Para Pembantu Sultan sekali lagi mensosialisasikan bahwa Sultan sebenarnya sangat bermurah hati karena meningkatkan jumlah “Subsidi MB” dari Rp 115.000 menjadi Rp 122.500, meskipun ada kenaikan harga domestik menjadi Rp. 2.500 per unit. Artinya, kenaikan harga domestik tersebut sebenarnya tidak terlau besar untuk dapat mencukupi kenaikan harga internasional serta kenaikan jumlah impor, di mana dapat dilihat dari jumlah “Subsidi MB” yang masih meningkat. Tetapi, informasi bahwa Surplus Produk MB mengalami peningkatan dari Rp 95.000 menjadi Rp 117.500 seperti terbaca dari Nota Keuangan Sultan, tidak akan pernah terungkap apabila ekonom yang bernama KKG tidak menelanjanginya.

Masyarakat kini sudah mengerti benar duduk perkaranya, dan segera akan meminta pendapat Majelis Para Rakyat atau Majelis Konstitusi Rakyat untuk menurunkan fatwanya apakah Sultan boleh dengan seenaknya menaikkan harga domestik Produk MB sesuai dengan harga internasional sedangkan nyata-nyata Surplus di dalam Nota Keuangan Sultan terkait Produk MB malah bertambah besar akibat kenaikan harga tersebut.

Kita tunggu jawaban Majelis Para Rakyat atau Majelis Konstitusi Rakyat, dan kita lihat apakah mereka masih mempunyai rasa empati terhadap Rakyat, dan pantas menyandang kata Rakyat dibelakang kata Majelis.

Tuesday, June 11, 2013

Lentera Istana Umar

Suatu malam, Umar bin Abdul Azis sedang sibuk bekerja di salah satu ruangan istananya. Tak disangkanya, salah seorang putranya masuk hendak membicarakan sesuatu.

"Untuk perkara apakah wahai putraku ke sini, untuk urusan negarakah ataukah urusan keluarga kita?" begitu tanya Umar.

"Urusan keluarga, wahai ayahanda", jawab sang anak.

Maka secepat kilat Umar mematikan lentera diruangan tersebut  sehingga gelap gulita suasananya.

"Mengapa ayahanda mematikan lentera itu?", tanya sang anak dengan penuh keheranan.

"Anakku, lentera ini milik negara, minyaknya juga di beli dengan uang negara, sehingga hanya boleh dipergunakan untuk urusan negara, bukankah engkau datang untuk urusan keluarga?" begitu Umar menjelaskan.

Tak lama kemudian Umar mengambil lentera lain dari ruangan dalam dan berkata: "Anakku sekarang bicaralah, lentera ini milikku dan minyaknya juga dibeli dengan uangku sendiri, maka kita berhak memakainya untuk pembicaraan mengenai keluarga kita", demikian Umar menegaskan.

Kisah Umar ini sering dikutip para ustad, da'i, aktivis Islam dan para kyai untuk menjadi contoh bagaimana Umar yg juga sering dijuluki khulafaur rasyidin yang  ke-5 sangat berhati2 dalam menjaga urusan ummat, memisahkan hak dan kewajiban pribadi dan negara. Menjaga benar dirinya akan hal2 syubhat dan begitu takut dirinya kelak diadili karena mendzalimi rakyatnya.

Sejatinya ada beberapa pelajaran penting yang bisa kita peroleh. Pelajaran yg tidak hanya untuk direnungi di ruang2 kosong dan hampa akan realita. Pelajaran untuk menjadi pembanding dan pengingat ditengah2 kenyataan yang harus dihadapi dalam kehidupan harian para pelayan ummat atau pejabat publik dalam bahasa modern sekarang ini. Kisah Umar begitu mudah kita tuturkan dan begitu indah dan menenteramkan kita dengarkan. Tetapi senyatanya sulit dan bahkan sulit sekali dijalankan dan begitu langka dan bahkan nyaris sulit sekali kita temukan  pada jaman sekarang.

Lantas, mari kita kupas satu persatu kisah Umar ini, untuk diambil pelajarannya.

Pertama, kisah kesungguhan hidup sederhana. Sebelum ditunjuk sebagai khalifah, Umar dikenal kaya. Akan tetapi begitu ditunjuk sebagai penguasa, maka ia lepaskan semua kekayannya dan memilih kehidupan yg sangat sederhana sampai2 keluarganya mengeluh akan hal ini. Menurut ukuran para raja saat itu, sungguh sangat pantas seorang penguasa yg daerah kekuasannya membentang dari Yaman di sebelah Tenggara, Mesir di sebelah Barat, Persia di sebelah Timur Laut, melebihi kekuasaan para Raja2 atau Amir di Timur Tengah sekarang ini, duduk dengan megah dengan singgasana bertaburkan intan permata, pakaian kebesaran yg indah dan kendaraan yang nyaman. Akan tetapi menyadari betapa beratnya tanggung-jawab seorang khalifah, maka ia memilih jalan sederhana, jalan sunyi yg jauh dari hidup glamour dan foya2. Jalan yg tidak lazim, pilihan hidup aneh dan jauh dari keumuman para raja dan penguasa pada jamannya.

Tetapi sikap hidup sederhananya tidak lantas sederhana prestasinya. Bahkan di masa kepemimpinan Umar, dalam buku2 sejarah dituturkan tidak ada lagi orang yang menerima zakat di negri muslim, ini menggambarkan kemakmuran hidup rakyatnya. Dan dimasanya seekor keledai tidak merasa takut berjalan ditengah padang pasir khawatir diterkam serigala, sebuah gambaran akan keamanan negara. Kesederhanaan hidupnya berbanding terbalik dengan prestasinya dalam menjalankan roda pemerintahan. Kesederhanaan hidupnya menjadi kemuliaan dirinya di hadapan manusia seluruhnya. Saat harta dan tahta ada di genggamannya, hatinya tidak lantas menggenggamnya. Dunia ada dalam tangannya tetapi tidak di hatinya.

Sederhana tentu bukan berarti miskin. Lawan kata sederhana adalah mewah, gaya hidup gemerlap, glamor yang menampakkan semua kemegahan tampilan luar. Sederhana juga bukan berarti lemah, tetapi sejatinya adalah mengambil aksesoris dunia secukupnya dan tidak berlebih. Sifat ini muncul dan lahir dari kedalaman hati, bahwa kemuliaan, harga diri dan kehormatan muncul bukan bersumber dari duniawi, tetapi semua itu karena pribadi seseorang.

Mungkin kaum muslimin sekarang akan bertanya: bukankah itu jaman dulu yg sangat jauh dari realita sekarang. Mari kita tengok di sebuah negri berbalut salju, Norwegia. Di Negri ini beberapa tahun lalu, ada seorang Perdana Menteri yg memang juga seorang pengusaha, membeli sebuah mobil diatas rata2 penduduk Norwegia dengan uangnya sendiri. Maka tak lama kemudian, ramailah media masa mengkritiknya, dan akhirnya sang Perdana Menteri ini menjual lagi mobil mewahnya. Di sebuah negeri yg pasti kisah Umar ini tdk pernah dituturkan, masih ada sifat malu para pemimpinnya karena kritik rakyatnya. Akhirnya ia rela melepaskan mobil mewahnya. Padahal tidak ada UU yg melarang ia menggunakan mobil mewah yg dibeli dengan uangnya sendiri. Tetapi ia seorang pemimpin, seorang Perdana Menteri yg harus peka atas kehidupan rakyatnya.
Atas kesadaran seperti itu, ia rela menggunakan mobilnya yg seperti normalnya rakyatnya menggunakan mobil.  Ia tidak ingin tampil beda dari kebanyakan rakyatnya.

Atau tengoklah, bagaimana Wapres Muhammad Hatta yg tidak memberitahu istrinya akan rencana sanering (pemotongan nilai mata uang) yg akan dilakukan negara, shg pada saat sanering dilakukan, uang tabungan istrinya yg dikumpulkan berbulan-bulan untuk membeli mesin jahit, nilainya berkurang, padahal sesaat sebelum sanering uang tabungan tersebut hampir mencukupi. Ia tahu menjaga rahasia negara yg kalau dia obral bisa menguntungkan sebagian dan merugikan sebagian lainnya. Maka ia mengambil sikap seorang negarawan, rahasia negara harus dijaga walauun terhadap keluarganya sendiri.


Atau kisah kesederhanaan Muhammad Natsir sang perdana mentri yg kita kenal dengan mosi integralnya shg menyelamatkan NKRI, ia menolak mobil dinas yg disediakan negara.

Bagaimanakah kisah ini diperbandingkan dengan kehidupan para pelayan ummat (baca pejabat publik) yg dulunya bersemangat menuturkan kisah Umar ini sbg landasan memupuk cita2 besar akan perjuangan masa depan. Sebuah cita2 yg di rajut dibalik dinding2 rumah petak sempit, diruangan masjid sederhana, dipadepokan nun jauh dipelosok desa. Saat itu, tdk ada bayangan sama sekali akan dunia dg segala kemewahannya yg kelak mungkin ditemuinya. Jangankan membayangkan mobil mewah, rumah besar, jabatan tinggi, sekedar untuk maka layak tiga kali sehari dengan lauk daging saja susah. Sekedar membeli susu anaknya saja belum tentu kesampaian.

Kedua, memisahkan kepentingan pribadi, keluarga dan golongan dari kepentingan negara dan rakyat. Jabatan khalifah adalah amanah ummat, tangguh-jawab atas rakyat. Harus ada pemisahan yg jelas antara fasilitas negara dan kekayaan pribadi. Kekuasaan utk mengelola kekayaan negara, bukan berarti boleh dimanfaatkan utk kepentingan pribadi. Umar telah metelakkan contoh yg kokoh, ditinjau dari ilmu tata negara sekarang ini, Umar telah menerapkan prinsip2 Good Corporate Governance atau menerapkan tata kelola pemerintahan yg baik. Tidak membiarkan kekayaan negara di manfaatkan untuk dirinya atau keluarganya atau golongannya, melainkan fasilitas negara hanya untuk rakyat. Ia juga tidak bermaksud menggunakan pengaruhnya sbg kepala negara demi memuluskan proyek2 pemerintah untuk memperkaya diri, keluarga atau golongannya. Sungguh teladan yg sangat sempurna. Hendaknya begitulah para pelayan ummat (pejabat publik) dalam menjalankan tanggung-jawab jabatannya.

Di Jepang, kita mendengar ada seorang pejabat mundur dengan sukarela krn memberi perlakuan khusus atas rekan bisnisnya untuk mendapatkan proyek.

Atau tengoklah kisah Muh Hatta diatas, keteguhannya menjaga rahasia negara berupa informasi sanering ia jaga benar, sampai2 istrinyapun tidak ia beri tahu. Shg uang tabungannya yg sudah dikumpulkan berbulan2 utk membeli mesin jahit nilainya mengecil krn sanering. Padahal apalah salahnya Muh Hatta memberi tahu saja informasi itu, shg dg tambahan sedikit uang istrinya sudah bisa membeli mesin jahit sebelum sanering dilakukan. Toh ini bukan korupsi. Tetapi sekali lagi, teladan luar biasa dari seorang pejabat publik yg tahu memisahkan kepentingan negara dan kepentingan pribadi.

Bagaimana di negri ini? Kita membaca seorang wakil rakyat, pemimpin sebuah partai, memanggil seorang pejabat kementrian utk datang ke kantor partainya. Tidakkah ia malu pada Umar yg mematikan lentera Istananya krn anaknya datang utk urusan keluarga. Pada jaman Umar, tentu teori "tata kelola pemerintaan yang baik atau good corporate governance" mungkin belum ada, tetapi ia sudah mempraktekkkannya. Sangat sulit dimengerti, bahwa pencampur adukan kepentingan publik dan golongan terjadi begitu nyata.  Kalaulah tujuannya memang baik yaitu meyampaikan permasalahan umum, yg pasti cara seperti ini salah, krn tdk sesuai dengan logika sehat menjalankan pemerintahan.

Semoga pelajaran  Lentera Istana Umar masih belum terlambat utk diingat dan di contoh.

Monday, June 10, 2013

Abu Dzar r.a. - Pejuang Sebatang Kara

BismilLahirRahmanirRahim

Assalamu'alaikum wa rahmatulLahi wa barakatuh,

Tidak perlu menjadi anggota organisasi preman kampung untuk
berjuang.
Tidak perlu AK-47.
Tidak perlu belajar bela diri.
Apalagi ilmu kebatinan.

Tidak perlu sombong.
Tidak perlu takut.

Berani!

Yang penakut itu salah.
Yang was-was itu tanda iman setengah batu. [baca: Surah 114]

Semua orang bakal mati.
Hanya itu yang pasti.

Kematian hanya sarana 'tuk menuju Sang Rahman dan Rahim
Yang Mencintai dan Dicintai Hamba-Nya.

Yang menentang Allah, hantam.
Yang sesuai, itu saudara.

Remang-remang hanya wilayah permainan setan.
Mencla-mencle sifat penipu pengecut munafik.
Bak koruptor yang "anti-korupsi"

Straightforward!

Pilihan hanya surga atau neraka.
Putih atau hitam.
Bukan fuzzy logic.

Benci dan cinta hanya karena Allah swt.

Semoga Ikhwanul Muslimin wafat husnul khatimah dalam ridha
Allah Azza wa Jalla.

Allahu a'lam

La haula wa la quwwata illa bilLah

Wassalamu'alaikum wa rahmatulLahi wa barakatuh,

---dakwah begins---

Kisah Abu Dzar r.a, Pejuang Sebatang Kara

Abu Dzar al-Ghiffari ra. sebelum memeluk Islam adalah
seorang perampok
para kabilah di padang pasir, berasal dari suku Ghiffar
yang terkenal
dengan sebutan binatang buas malam dan hantu kegelapan.
Hanya dengan
hidayah Allah akhirnya ia memeluk Islam (dalam urutan
kelima atau
keenam), dan lewat dakwahnya pula seluruh penduduk suku
Ghiffar dan suku
tetangganya, suku Aslam mengikutinya memeluk Islam.

Disamping sifatnya yang radikal dan revolusioner, Abu Dzar
ternyata
seorang yang zuhud (meninggalkan kesenangan dunia dan
mengecilkan nilai
dunia dibanding akhirat), berta'wa dan wara' (sangat
hati-hati dan
teliti). Rasulullah SAW pernah bersabda, "Tidak ada di
dunia ini orang
yang lebih jujur ucapannya daripada Abu Dzar", dikali lain
beliau SAW
bersabda, "Abu Dzar -- diantara umatku -- memiliki sifat
zuhud seperti
Isa ibn Maryam".

Pernah suatu hari Abu Dzar berkata di hadapan banyak orang,
"Ada tujuh
wasiat Rasulullah SAW yang selalu kupegang teguh. Aku
disuruhnya agar
menyantuni orang-orang miskin dan mendekatkan diri dengan
mereka. Dalam
hal harta, aku disuruhnya memandang ke bawah dan tidak ke
atas (pemilik
harta dan kekuasaan)). Aku disuruhnya agar tidak meminta
pertolongan
dari orang lain. Aku disuruhnya mengatakan hal yang benar
seberapa
besarpun resikonya. Aku disuruhnya agar tidak pernah takut
membela agama
Allah. Dan aku disuruhnya agar memperbanyak menyebut 'La
Haula Walaa
Quwwata Illa Billah'. "

Dipinggangnya selalu tersandang pedang yang sangat tajam yang
digunakannya untuk menebas musuh-musuh Islam. Ketika
Rasulullah bersabda
padanya, "Maukah kamu kutunjukkan yang lebih baik dari
pedangmu? (Yaitu)
Bersabarlah hingga kamu bertemu denganku (di akhirat)",
maka sejak itu
ia mengganti pedangnya dengan lidahnya yang ternyata lebih
tajam dari
pedangnya.

Dengan lidahnya ia berteriak di jalanan, lembah, padang
pasir dan sudut
kota menyampaikan protesnya kepada para penguasa yang rajin
menumpuk
harta di masa kekhalifahan Ustman bin Affan. Setiap kali
turun ke jalan,
keliling kota, ratusan orang mengikuti di belakangnya, dan ikut
meneriakkan kata-katanya yang menjadi panji yang sangat
terkenal dan
sering diulang-ulang, "Beritakanlah kepada para penumpuk
harta, yang
menumpuk emas dan perak. Mereka akan diseterika dengan api
neraka,
kening dan pinggang mereka akan diseterika dihari kiamat!"

Teriakan-teriakannya telah menggetarkan seluruh penguasa di
jazirah
Arab. Ketika para penguasa saat itu melarangnya, dengan
lantang ia
berkata, "Demi Allah yang nyawaku berada dalam
genggaman-Nya! Sekiranya
tuan-tuan sekalian menaruh pedang diatas pundakku, sedang
mulutku masih
sempat menyampaikan ucapan Rasulullah yang kudengar
darinya, pastilah
akan kusampaikan sebelum tuan-tuan menebas batang leherku"

Sepak terjangnya menyebabkan penguasa tertinggi saat itu
Ustman bin
Affan turun tangan untuk menengahi. Ustman bin Affan
menawarkan tempat
tinggal dan berbagai kenikmatan, tapi Abu Dzar yang zuhud
berkata, "aku
tidak butuh dunia kalian!".

Akhir hidupnya sangat mengiris hati. Istrinya bertutur,
"Ketika Abu Dzar
akan meninggal, aku menangis. Abu Dzar kemudian bertanya,
"Mengapa
engkau menangis wahai istriku? Aku jawab, "Bagaimana aku
tidak menangis,
engkau sekarat di hamparan padang pasir sedang aku tidak
mempunyai kain
yang cukup untuk mengkafanimu dan tidak ada orang yang akan
membantuku
menguburkanmu".

Namun akhirnya dengan pertolongan Allah serombongan musafir
yang
dipimpin oleh Abdullah bin Ma'ud ra (salah seorang sahabat
Rasulullah
SAW juga) melewatinya. Abdullah bin Mas'ud pun membantunya
dan berkata,
"Benarlah ucapan Rasulullah!. Kamu berjalan sebatang kara,
mati sebatang
kara, dan nantinya (di akhirat) dibangkitkan sebatang kara".

(Sumber tulisan oleh : NN, dengan beberapa edit oleh
Penjaga Kebun Hikmah)

IZINKAN AKU MENCINTAIMU WALAU AKU LIBERAL": KETIKA FILSAFAT DAN CINTA TIDAK LAGI BERJARAK (SEBUAH NOVELET FILSAFAT PART I)

*Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi**



*Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami
telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi ? (QS Al 'Ankabuut 2).*





 Ciputat I am in Love. Saat pelupuk hamparan indah danau kecil Situ Gintung
meriak-riak ingin dilempar batu. Ketika wewangian alam terhampar berserambi
kalbu. Tidak ada yang bisa menulis kisah cintanya sendiri, sekalipun mata
pena sudah memoncong siap melukis.



Arisiska Lenila Wahid, Perempuan muda satu-satunya yang mampu menjadi Ketua
Umum BEM Fakultas Ushuluddin dan Filsafat tahun ini. Frederich Nietsczhe
berkelamin perempuan yang menikam “Tuhan” memang banyak, tapi yang sanggup
membunuh cinta, belum ada. Ia sadar bahwa ia benar-benar jatuh cinta pada
seorang ikhwan hanif itu. Hati itu muncul begitu saja, sekalipun Arisiska
sendiri antara percaya Tuhan dan tidak.



Ia termenung bingung. Tidak bisa berbuat apa-apa melawan hatinya. Hanya diam
menunggu. Fokus belajar menjadi pecah. Bayangan wajah Immanuel Kant berubah
menjadi Sayyid Quthb. Tampilan fresh kekasihnya lambat laun buyar berganti
wajah bersih Alika Reza, ketua Forum Mahasiwa Muslim UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta itu. Arisiska tak mampu menutup hati bahwa ada candu cinta dalam
hatinya, ya melebih candu yang digagas Marx.



Arisiska terdiam, matanya jarang berkedip. Persis seperti ayam sakit.
Pikirannya melayang-layang pada temaram tampang lugu Reza, seakan pria baik
itu berada di hadapannya berkata bahwa perempuan tidak boleh merokok.
Arisika seketika mematikan tembakaunya, lalu pindah menulis catatan diary
kesehariannya,



“Bolehkah jika aku jatuh hati kepada seorang pria alim, baik, jujur? Kendati
aku hanya sanggup berjilbab sebelum sampai garis finish: Tidak panjang,
tidak lebar, terlebih longgar. Membiarkan poniku mencuri-curi keluar diterpa
angin dan tidak ada manset mengelilingi gelangan tanganku.” Arisiska
merenung.



 “Haruskah aku mabit di rumah Sayyid Quthb setelah sorenya baru saja pulang
dari rumah Nietsczhe berdiskusi bahwa Tuhan hidup lagi? Apakah ini yang
namanya cinta, akhi? Kenapa rasanya tidak merah dan warnanya mesti pahit.”
Imbuhnya berfilosof lebih dari cinta. Ini Filsafat Cinta. Tidak bisa
ditampung dengan Psikologi Cinta. Wadahnya tidak muat. Termasuk diuraikan
oleh cinta itu sendiri. Istilah “cinta adalah kata kerja” sudah expired.
Sekarang zamannya berganti dengan idiom: cinta adalah subyek yang membuat
manusia akhirnya menjadi kata kerja itu sendiri. Aneh, entahlah, namanya
juga Filsafat.



Namun Arisiska sadar sepenuhnya. Jarak antara mereka bagai Madinah dan
Argentina. Reza adalah seorang guru ngaji . Sedangkan Arisiska sendiri
adalah guru Filsafat. Tepatnya dedengkot filsafat pengugur tema bahwa Tuhan
itu ada. Reza kerap menangis kala shalat menderu sendu. Sedangkan Arisiska
adalah peledek bahwa ibadah shalat adalah absurd. Persis yang diucap Albert
Camus. Baginya tuhan, Tuhan, dan TUHAN itu relative. Mau ditaruh dimanapun
huruf kapital itu, ilmu berdasar ketuhanan tetap saja tidak jelas
juntrungannya. Jika Ahmad Wahib hanya mampu gelisah, Arisiska menjadi
penggerak koordinator Pusat Feminisme Lingkar Ciputat, penampuk beasiswa
shortcourse di McGill University dua bulan lalu. Program beasiswa yang jamak
ditemui di UIN atas inisisasi DEPAG dan CIDA Kanada., mereka “saling
paradoks”.



Ya Arisiska bukan saja Harvey Cox muda, tapi ia Descartes berkelamin
feminim, sekaligus David Hume berkerudung. Sekalipun suka gerahan bila
tudung hijab itu menyelimuti rambut hitamnya. Jadilah gerutu makhota itu
dikabulkan, dan kalau pergi ke kafe buku, suka tidak menutup aurat. Tidak
ganjil baginya yang tergolong santriwati sebelumnya. Dan ironisnya Arisiska
kelewat cantik. Manis tapi bengis. Pintar tapi menggelegar. Arisiska tak
sanggup menahan kata,



"Izinkan aku mencintaimu. Walau aku tidak berjilbab. Walau aku tidak shalat.
Walau aku baru merasakan cinta seaneh ini"



Filsafat Arisiska sudah mentok. Bagaimana mungkin cinta dalam hatinya
mengalir pada muara seorang Reza sang ikhwan hanif itu sementara ribuan
lelaki menantinya. Tapi pilihan hatinya sudah bulat: Ia tidak dapat
menampik, memiliki hati kepada lelaki itu. Koma! Khususnya Ikhwan yang suka
meluruskannya pada diskusi-diskusi di jurnal-jurnal Filsafat Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Titik!



“Haruskah Nietsczhe mengucapkan salam kepada Hasan Al Banna?”



Tepat berdekatan dengan kemayu gedung Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Arisiska berdiri tercenung. Matanya kosong memandang jendela kosnya
menghadap Situ Gintung seakan Alika Reza menatapnya dari kejauhan. Ia
memegang buku History of western Philosophy Bertrand Rusell dan Reza syahdu
mengulum Tafsir Fii dzilahil Qur’an Sayyid Quthb. Kedua buku itu tebalnya
lebih dari seribu. Antara Libya dan Irlandia: Ketika Filsafat dan Cinta
berjarak.



Dua insan pintar, pandai, walau yang satu masih berasa asin. Di kamar kos
khas perempuan dengan cat merah jambu tipis itu, hatinya berbunga sekaligus
bingung.



“Biarkan aku menjadi diriku sendiri untuk lebih tertarik dg Tocqville,
Freud, Camus, Feurbach, Karl Marx. Ya daripada membaca Hasan Al Banna, Abul
ala al Maududi, dan Sayyid Quthb. Ada yang salah? Bukankah Tuhan senang
melihat muslimah pintar dan tidak hanya di dapur? Bukankah Tuhan melihat
amal hambanya, dan bukan dari bacaannya?” Teka-tekinya persis seperti anak
Filsafat yang suka makan logika daripada menguyah perasaan.



Sampai saat itu ia teringat, merenungi dialog antara dirinya saat kali
pertama bertemu Sang Ikhwan lembut itu minggu lalu.



“Kenalkan saya Alika Reza dari Forum Mahasiswa Muslim UIN” Ucap Reza pasca
mengucap salam di depan kos Siska. Reza sekuat tenaga menahan pandangan
melihat soft lens oranye pada mata Siska. Cantik memang, juara Fashion Show
Pakaian muslimah di Fakultas Dakwah dan Komunikasi, bulan silam.



Rambutnya berurai tanpa jilbab siap menggoda bujang lapuk plus tipis iman.
Saat itu Arisiska hendak keluar. Sebuah jaket hitam sudah terpasang menutupi
tubuhnya, memanjang hingga mencium tulang kering. Sisi kerahnya menjulang ke
atas mengelingi leher dan ujung pipinya persis seperti orang Eropa di Musim
dingin. Di tangannya tergenggam buku Anthony Gidens, Transfromacy of
Intimacy. Anggun sekali. Maklum foto model freelance. Tapi jika sudah
fashion show jilbab muslimah, ia siap melenggok menutup auratnya.



Arisiska sedikit tersenyum terpaksa, “Saya sudah kenal. Setahu saya anda
mahasiswa Tafsir Hadits dan Fakultas Dakwah bukan?” balas pengusung
Feminisme itu memancing.



Reza benar-benar kikuk. Ia tidak pernah melihat Siska secara dekat,
sekaligus juga tidak berani. Candu syahwat bisa datang walau tak diundang.



Posisi ikhwan yang berajut dalam kepribadiannya harus ditahan melihat wajah
ayu Arisiska. Reza hanya mampu bertasbih sekaligus beristighfar,
bagaimanapun jabatannya adalah Ketua Umum Forum Mahasiswa Muslim UIN. Iman
tidak boleh kalah dengan hasrat dunia. “Iya saya mengambil dua jurusan.
Sebelumnya saya juga sudah kenal Arisiska di Jurnal Afkar, saya sering baca
tulisannya. Suka Filsafat ya?”



Arisiska mulai grogi, “Saya dari Aqidah Filsafat, tadinya ambil dua jurusan
salah satunya di Syariah program Perbandingan Mazhab Fiqh. Tapi cukup letih
jadi studi Syari’ah terpaksa dipending dulu.”



“Ooo. Hebat ya?”



Senyum Arisika tipis.



“By the way, ada apa ya?”



“Begini, saya mengundang kawan-kawan BEM Ushuluddin untuk hadir di workshop
kita bulan desember nanti” Tahan Reza hanya menunduk saja, tak berani
menatap langsung wajah kemayu Siska lama-lama.



“Oh oke” Siska mulai welcome. “Temanya apa?” sambungnya.



“Konsep Islam dan Negara: Bedah dari Sayyid Quthb, Taqiyudhin An Nabhani,
Abdullah Azam dan Abul ala Al Maududi”



Sudah naik level, kalau sudah urusan beginian, bau filsafatnya keluar,
“Memang konsep negara Islam itu ada? Saya baru tahu. Ini kan bukan Kairo.
Alexandria pun tidak merumput disini. Ini kan Jakarta, yang tidak ada Sphinx
melingkarinya.” Tegas Siska membalas cepat-cepat.



“Bukankah Islam berlaku dimana saja, Siska?” Hentak Reza tegas tapi kalem.



Arisika masih cool, pertanyaan model ini gaweannya anak Akidah Filsafat yang
bantar tidurnya memang buku. “Tidak! Islam adalah sejarah yang terus
bergulir dan heurmenetika adalah jalan keluarnya. I think so” Arisiska mulai
membaca surat undangan itu. “Aku rasa sebagai mahasiswa Tafsir, mata kuliah
Metode Orientalisme sudah kau lewati?” Serang balik Siska tanpa aba-aba,
matanya tetap memanah tempat dan waktu acara.



Reza gantian tersenyum.



“Maaf kalau aku agak aneh, maklum anak Filsafat”



“Ah tidak semua mahasiswa Filsafat aneh. Saya juga suka belajar Filsafat.
Saya sudah kenal Siska dari tulisan-tulisan selama ini. Jadi tidak terlalu
terkejut” Balas Reza.



“It’s oke. Aku hanya berfikir bahwa Islam tidaklah dapat dinilai hitam
putih.”



“Inikah yang namanya Reza, mahasiswa alim itu. Anaknya amanah. Sejujurnya
aku suka dia. Sebagai pribadi aku melihatnya sebagai bukan tipikal aktivis
yang gemar mengkorupsi uang BEM pada jabatan bendahara Ushuluddin tempo
lalu.” Kisah Siska diam-diam dalam nurani.



Reza mengguman di hati “Inilah yang namanya Arisiska, sering melihat tapi
belum pernah berbincang. Semoga ini menjadi dakwah baginya. Arisiska hanya
mahasiswi pencinta ilmu yang dikelilingi pemahaman berbeda. Insya Allah ini
akan menjadi lahan dakwah.”



Buyar! Tayangan replay dialog singkat itu mesti diakhiri. Satu-satunya
mahasiwi perempuan yang mampu menjadi leader tingkatan UIN itu menopang
dagunya sambil menggigit-gigit kuku. Persis anak perempuan yang gelisah.
Cinta itu aneh memang benar. Bahwa subyektitas yang menentukan seperti kata
Soren Abye Kierkegard bisa jadi tidak keliru pada sela hatinya.



“Aku suka cendekia muslim itu. Atas gagasan Sayyed Naquib Al Attas-nya.



Bagaimana mungkin mahasiswi Aqidah Filsafat jatuh cinta kepada Mahasiswa
semester akhir Tafsir Hadits yang matanya memerah setiap selesai shalat
tahajud itu. Plato dan Aristoteles saja enggan berdamai. Apalagi Plato
dengan Hasan Al Banna.



***



Di sekret FMM keramaian bergeliat.



“Kang, Arisiska, cantik ya? Tapi sayang sudah punya pacar kang.”



Reza menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menggunting kertas brosur acara
untuk ditempel di tiap fakultas.



“Yee si akang, diem bae. Kumaha kang?”



“Ada apa memangnya? Kamu suka Rif?” Ledek Reza.



“Aiiih….. Saya mah enggak masuk hitungan dia kang. Saya mah aktipis, bukan
aktivis. IP saya gundul kang. Kalau tidak 0,1 ya 0,2. Mepet..”



“Ya tidak apa-apa Rif, cinta kan tidak mempersyaratkan IP?”



“Zaman sekarang jangankan IP, nilai UAS aja jadi syarat ikhwan ngelamar
akhwat, kang”



“Itu namanya, akhwat gokil et yahu dotkom, Rif. Masak komitmen cinta dikur
dari UAS? Erich Fromm bisa nangis kalau begitu” Selonong Najib yang dari
tadi mendengarkan.



“Hahahaha”



Belum sempat tawa mereka reda, sekonyong-konyong Anto lari masuk ke sekret
tanpa salam. Nafasnya tidak teratur, naik turun.



“Gawat Za, Rif”



“Gawat apanya, Nto?”



Anto menyelipkan buku kecil tipis Keajaiban Al Qur’an di saku bajunya agar
tangannya dapat menari-nari menguraikan kejadian.



“Kawan-kawan kita digebuki Kang sama mahasiwa Ushuluddin di belakang
Psikologi saat isi kajian”



“Lho kenapa, apa alasannya?”



“Hhh…Hhh…hhh…” Anto kehabisan kata, ia letih bukan main.



‘Tenang Nto, katakan yang sejujurnya” Arah Reza rada cemas.



“Ada isu beredar, FMM bilang mahasiswa Ushuluddin itu Atheis. Isu itu entah
siapa yang menyebar. Sepertinya ada permainan orang ketiga yang gak suka
lihat kita bergeliat di UIN.”



‘”Brengsek. Lalu bagaimana kawan-kawan, Nto” Arif sudah kepalang kesal



“Kantor kita di Dirosah (Islamiyah) juga dihancurkan, Rif”



Mendengar kisah itu, tiba-tiba saja sekret FMM ramai-riuh. Anggota FMM
meminta pertanggung jawaban BEM Ushuluddin yang seenaknya bertindak represif
tanpa ada bukti. Kasus pelecehan Tuhan yang diduga oknum BEM memang sempat
menguak. Area bebas tuhan, seperti yang terjadi di UIN Bandung.!”



“Ini tidak bisa kita biarkan” Sergah para anggota



“Ya maklum, menurutku ini tidak lebih karena ketua BEMF adalah perempuan
yang tidak tegas kepada bawahannya. Pemikirannya pun kerap menghina Tuhan.”



“Kafir!!!!” Pekik Jaka, menggerak-gerakkan telunjuknya kedepan-belakang.



Mendengar nama Arisiska disebut-sebut, dada Reza bergetar. Ia tidak yakin
Arisiska dalang dalam kasus ini.



“Arisiska adalah musuh Islam. Antek Amerika!! Darahnya halal.” Jaka pernah
beradu argument masalah Pluralisme agama bersama Arisiska. Hasilnya dua
sama. Bagi Jaka, skor-nya kosong-dua. Namun kata Arisiska, hasilnya 2-0.
Vonis darah halal itu dibalas Arisiska dengan stigma bahwa intelektual Jaka
cetek. Jaka tidak paham logika. Nalarnya cacat. Pemikir kolot. Absurd. Baru
belajar Islam. Suruh ngaji lagi. Tirani abad pertengahan yang muncul dari
kuburnya. Kawan-kawan diskusi Arisiska tertawa terbahak-bahak kala itu.



Kultur diskusi di UIN Jakarta saat itu amat massif. Segala jenis genre
pemikir keagamaan bervariasi. Grup-grup diskusi ramai dihadiri. Banyak
mahasiswa lebih menghabiskan kulahnya di sekret-sekret kajian, tinimbang
dalam kelas bersama dosen killer.



“Oke nanti malam kita berangkat ke markas Ushuluddin” Pungkas Reza



“Tapi anak-anak Ushuluddin sedang ada pelatihan tiga hari ini” Arif
memberikan info.



“Kita tunggu saja sampai mereka datang”



***



Dan di Puncak, saat pelatihan Filsafat bagi mahasiswa baru. Arisiska menulis
konsep bagaimana Tuhan itu bisa ditembus dengan logika. Iya menulis lafazh
ALLAH, lalu melingkarinya dan menulis kata terdakwa. “Pisahkan antara
kesucian Tuhan dengan kebutuhan akal anda, di situ anda akan menemukan
Tuhan. Jangan terjebak stigma Tuhan itu suci. Itu sama saja membunuh anda.
Anda anak Ushuluddin. Harus kritis. Termasuk kepada agama anda sendiri.”
Pungkas Arisiska dibalas anggukan adik-adik kelas.



Banyak para mahasiswa baru takjub dengan mahasiswi semampai ini. Cara ia
mengajari mudah dicerna. Sontak hal itu memancing peserta sekedar bertanya,
“Sudah punya pacar, kak?”



“Sudah?”



“Siapa, kak?”



“Michel Foucault (baca: Fuko)” sembur sebilah asap rokok di kedua wajah anak
kencur itu. Arisiska bisa leluasa membuka jilbabnya disini.



Paul-Michel Foucault lahir di Poitiers, 15 Oktober 1926. Meregang hidup di
Paris, 25 Juni 1984. Filosof plontos ini adalah seorang filsuf Perancis,
sejarahwan, intelektual, kritikus, dan seorang sosiolog. Bukunya yang
terkenal adalah Sejarah Seksualitas. Pada buku itu, Michel Foucault
mengungkapkan bahwa seks merupakan bagian dari ciri manusia sebagai makhluk
yang berhasrat (desiring subject). Pada zaman Yunani kuno, masyarakat Yunani
menempatkan hasrat seks menjadi bagian dari aktifitas yang sejajar dengan
filsafat, ekonomi, dan manajemen kesehatan (dietetics). Foucault menunjukkan
bahwa kegiatan seks pun mempunyai prestis yang tinggi.



***



Lambat laun, Reza tidak dapat memungkiri bahwa ada cairan empati masuk ke
arterinya. Anehnya, kenapa harus dengan Arisiska. Kenapa tidak akhwat kampus
yang berbaris banyaknya. Reza tidak mau mengurusi terlalu panjang. Namun
sebuah pesan sebelum penggagas FMM, almarhum Akh Ahmad meninggal, sempat
terlintas,



Ahmad berbaring di tempat tidur ruang emergency. “Akhi, tolong adik ana.
Jika kemudian akhirnya ana meninggal. Afwan, ana titip adik si mata wayang
ana kepada antum. Ana yakin dia akan berubah. Sadarkan dirinya, akhi. Ana
yakin antum mampu. Nikahi jika memang antum ingin niat berdakwah. Mungkin
kata-kata ini terdengar aneh nan berat. Sejujurnya ana sangat sayang
kepadanya. Dia lah adik tercinta penopang amanah keluarga.”



Reza memeluk Ahmad dalam pembaringan. Ia sangat mencintai senior dakwahnya
ini. Reza menguatkan hatinya dan menyeka air matanya. Kini Ahmad sebisanya
menarik tangan Reza, lantas meletakkan sesuatu, “Akhi, kitab Ma’alim
Fiththoriqh ini menjadi saksi bahwa cinta itu ada”



Tak berapa lama, Ahmad menutup mata menjemput RabbNya



Forum Mahasiswa Muslim UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menangis. Telah tiada
Ustadz muda pengkaji Fihud Dakwah itu. Telah tiada murabbi ilmu berumur 22
tahun itu. Sontak, pekikan haru jihad membahana seisi ruangan.



Semua mata ikhwan memerah, tak lama menangis keras. Mereka saling berpelukan
meski air amata deras mulai menetas. Sayyid Quthb muda dari Ciputat itu
meregang nyawa memegang musyaf. Ikhwan yang selalu bersemangat berdakwah
kendati ditopang kursi roda. Telah pergi pilar Islamisasi Ilmu dari Gontor.
Hafidz Qur’an. Taujih-taujihnya masih terekam membahana di Masjid Fathullah,
depan kampus UIN.



Muhasabahnya mampu meluluhkan hati. Kakak kandung tersayang Arisiska menutup
usia dengan senyum manisnya. Mahasiswa semester sepuluh Ushuluddin namun
pengkritik keras Fakultas Ushuluddin dan Filsafat! Pengarang buku Izinkan
Aku berjihad ke Palestina Meski Memiliki Sebelah Kaki yang menyerahkan
seluruh royaltinya itu ke dunia Islam. Pengarang buku “Apa kabar Iman antum,
saudaraku” yang ikhlash memberikan semua kost-nya bagi mahasiswa UIN yang
tidak mampu.



Reza terharu. Murabbi, musyrif, guru dan ustadz-nya itu pergi meninggalkan
kenangan indah merajut dakwah bil ilmi yang berat untuk level UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Betapa amanah dakwah itu tidak mudah. Kini Ia memojok
sendu, mengingat pesan almarhum untuk mengawasi adiknya. Terpaan halus
bayangan Arisiska memacu hatinya. Ujian Allah menyentuh titik lemah seorang
laki-laki. Ia beristighfar, dambaan memiliki pasangan solehah dan pecinta
Allah adalah keinginannya. Namun secara jujur ia juga harus mengakui, “Ana
Uhibukki fillah ya, ukhti”.


*“IZINKAN AKU MENCINTAIMU WALAU AKU LIBERAL": KETIKA FILSAFAT DAN CINTA
TIDAK LAGI BERJARAK (SEBUAH NOVELET FILSAFAT PART II)*
**
*Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi**

Pukul 18.20 setelah shalat Maghrib, sekretariat Forum Mahasiswa Muslim (FMM)
UIN yang berada di Student Centre UIN Jakarta sudah ramai dihadiri seluruh
aktivis muslim. Mereka hari ini berencana menyambangi sekretariat BEM
Ushuluddin setelah nota protes yang dilayangkan ke Arisiska tak kunjung
dibalas. FMM sudah kepalang terendam amarah. Hari ini Arisiska harus segera
ditemukan: “Hidup atau mati”. Hannah Arendt dari Ciputat yang kalau sudah
bicara suka nyelekit. Menstigma kader-kader FMM adalah antitesis peradaban
yang lebih cocok tinggal di Arab ketimbang menganggu keutuhan Pancasila di
Indonesia. “Belum belajar Filsafat Sejarah Hegel dan Dekontruksi Derrida.
Terlalu taklid dengan Imam Syafi’i. Orang-orang kaya Jaka itu nanti di
neraka bingung. Ia bertanya-tanya kepada Tuhan, kenapa ia masuk neraka,
sedangkan Bunda Theresa masuk Surga.”



“Hahahaha,” tawa terbahak-bahak kawan satu diskusinya. Arisiska memang
selain terkenal pintar dan cantik, juga  terampil melucu.



“Lalu apa kata Tuhan, Sis?”



“Tuhan malah mengutip pendapat Cak Nur.”



“Hahahahaha,” Gemuruh tepuk tangan kini membahana.



 Sektretariat BEM Fakultas Ushuluddin dan Filsafat penuh sesak. Kantor mini
yang berada di sekitar lantar dasar fakultas ini sedang menggelar surga
buatan bagi satu-satunya agama yang tidak memiliki neraka: Filsafat
Perenialisme! BEM Ushuluddin memiliki empat jadwal padat kajian tiap
minggunya. Dimulai pada hari senin dimana tema akan bergulir mengenai
Filsafat Politik. Disini mereka banyak berdiskusi tentang kenapa Islam tidak
butuh Negara. Kurikulumnya seperti mekanisme negara menurut Plato, sistem
Politik dalam pandangan Aristoteles hingga gagasan tiranik Machiavelli. Rabu
tema mulai mengarah ke arah wacana Islam Kontemporer. Materi tidak jauh-jauh
seputar liberalisasi Islam, Heurmenetika, Dekonstruksi syariah, Homoseksual
Halal, Poligami Jangan, Selingkuh Boleh. Untuk hari Kamis sendiri tema akan
mengendap pada Isu kontemporer seperti demokrasi sampai isu RUU Pornografi.



Dari hasil kajian selama ini, alih-alih ingin membuat semangat mencintai
Islam masuk ke sanubari tiap mahasiswa, yang terjadi justru sebaliknya.
Ujung-ujungnya mahasiswa UIN kini mulai ragu apa benar Al Qur’an itu asli
dari Allah. Jangan-jangan Jibril salah maksud. Kalau yang masih moderat
isunya berkisar pada tanya: Masihkah cocok Al Qur’an diterapkan pada zaman
sekarang, sedangkan Karl Marx, Nietsczhe, Adorno sudah gonta-ganti menulis
buku.Kini pas hari Jum’at tiba, mereka serius untuk berbicara perihal Tuhan.
Kesimpulannya bisa jadi dua: pertama, Tuhan tidak ada. Kedua Tuhan mungkin
ada. Ya mungkin!



Arisiska berdiri di depan *whiteboard* dengan sebuah spidol. Di hadapannya
kini sekitar dua puluhan mahasiswa jurusan Akidah Filsafat, Tafsir Hadits,
dan Perbandingan Agama setia menunggu limpahan kata darinya. Ia ingin
menyadarkan kawan-kawannya bahwa pada dasarnya semua agama memiliki cita
rasa kebenaran. Tergantung bagian lidah mana yang mencicipinya. Ditangannya
masih tergenggam sebuah buku karangan Hans Kung, seorang filsuf yang gemar
mengkampanyekan Pluralisme Agama dan baru-baru ini mengunjungi UIN Jakarta.
Sebuah buku yang relatif tidak terlalu tebal untuk ukuran buku tentang
Filsafat Ketuhanan. Sedangkan di bawah kakinya ada sekitar empat belasan
buku mengenai perenialisme dan tema-tema ketuhanan lainnya.



Arisiska membuka diskusinya. Tangannya menari-nari menjelaskan. Gaya
bicaranya agak berat dan menekan, “Islam tidak bisa mengklaim dirinya paling
benar. Kristen begitu pula. Termasuk Hindu-Budha. Tuhan-tuhan dalam agama
itu adalah tuhan historis. Konsekuensinya bahwa Islam dengan ibadah
shalatnya, Kristen dengan ibadah gerejanya, dan Hindu dengan ritual kuilnya
adalah sederet institusi formil yang berbicara pada wilayah eksoteris
belaka. Jadi, Islam dan agama-agama lainnya sebenarnya menuju pada tuhan
yang sama, hanya saja memiliki cara-cara berbeda. Pada intinya agama-agama
ini memang berbeda, namun kalau kita dalami, mereka sebenarnya memiliki visi
serupa, yakni sebuah kepasrahan kepada ketentraman dan  komitmen pada
kedamaian. Inilah yang disebut filsuf seperti Fritjof Schuon dan Rene Guenon
(Baca: Gino) dengan istilah Perenialisme.”



“Agar kawan-kawan tidak bingung, bisa kau jelaskan dari mana istilah
Perenialisme itu. Karena selama ini kami hanya tahu pluralisme dan theosofi
sebagai dampak dan akar perenialisme?” Tanya Reno, mahasiswa Akidah Filsafat
semester tiga.



 “Istilah philosophia perennis (filsafat perennial) ini sendiri digunakan
pertama kali oleh Agostino Steuco, seorang pustakawan Vatikan dan Kristen
Platonik. Ia menulis De perenni philosophia pada tahun 1540 yang
didedikasikan kepada Paul III. Ia memaparkan dalam karya tersebut pemikiran
Marsilio Ficino, tokoh penting dalam asal mula Tradisionalisme.”

Semua peserta diskusi yang rata-rata pencinta buku itu masih mencerna-cerna.



“Kita diskusi mengalir saja. Tidak perlu serius, tapi bisa santai. Ada yang
mau bertanya lagi disini?” Ungkap Arisiska bersoftlense oranye.



Rahmat angkat tangan. Kakinya bersila sambil melinting batang tembakau di
jemarinya. Khas anak Ciputat yang suka selingkuh.



“Ya silahkan Rahmat,” arah Siska datar



‘’Lalu apakah dengan begitu konsep Perenialisme ini dapat menjamin kerukunan
antar umat beragama? Mengingat walaupun tiap-tiap agama telah kita satukan
sekalipun toh agama tetap saja memiliki klaim-klaim teologis yang tak bisa
kita hindari. Contohnya dalam Islam Nabi Isa tidak di salib, namun dalam
Kristen justru sebaliknya. Dalam Islam yang mengakui tuhan ada tiga itu kan
kafir. Sedangkan Kristen, tidak mengakui kenabian Nabi Muhammad adalah
keharusan. Bagaimana mungkin kita bisa menjembatani kedua hal ini? Sedangkan
Islam dan Kristen dari sisi teologis memberikan ruang cukup paradoks.” Tanya
Rahmat, wakil ketua BEM Ushuluddin. Anaknya cukup pintar, ia berencana
mengambil S2 di Leiden University. Kakak kelasnya di Paramadina sudah lebih
dulu berada disana.



“Baiklah. Aku akan menjawab pertanyaan dari Rahmat. Aku bisa sarankan kamu
untuk bisa membaca buku-bukunya Guenon. Guenon memecahkan permasalahan yang
seperti Rahmat utarakan dengan membagi perenialisme pada empat ciri
mendasar.”



Arisiska mulai menulis berurutan di papan tulis, “ 1. *The unity of God*. 2.
*The Trinity of the manifested God*. 3. *The hierarchy of beings*. 4.
*Universal
brotherhood.”*

* *

 Matanya kini kembali menatap Rahmat*,* “Nah, mengacu kepada yang empat itu,
Islam akhirnya dalam pandangan perenialisme, bisa jadi hanya benar bagi
orang Islam saja. Kristen tidak bisa memaksakan agamanya kepada Islam.
Begitu pula Hindu kepada Yahudi. Karena pada dasarnya semua agama sama.
Bahwa Nabi Isa tidak disalib iya. Tapi kita wajib lebih mendahulukan relogio
etik disini, ketimbang teologi tiranik. Kalau sudah begitu, kebenaran itu
akhirnya akan bermuara pada apa yang disebut Schuon dengan wilayah
esoterisme. Dengan begini kita tetap bisa menyatukan semua agama tanpa
mengusir kebenaran pada masing-masing agama. Nah kalau kita sudah
berpandangan seperti ini. Kita yakin tidak ada lagi klaim sepihak dan
kekerasan antar agama. Karena agama dalam hal ini menjadi relatif. Tetapi
tetap dinamis. Tanpa menutup ruang untuk mengeksistensikan kebenaran
masing-masing. *So*, inilah yang saya maksud dengan..”

Arisiska mengambil spidolnya kembali dan menulis besar-besar di papan tulis
“Absolut yang terelatifkan, dan relatif yang terabsolutkan.”



Rahmat terpukau. Menurutnya sanggahan Arisiska cocok bagi orang-orang
literalis dan skriptualis yang sering menanyakan itu kepadanya. Alhasil,
mulai detik itu ia jatuh hati. Jatuh  hati pada seorang perempuan yang sudah
dianggap Guru Besar Filsafat meski baru semester lima.



***



Sementara itu di sekret FMM, sahut-sahutan sudah mulai menggelora.
Kawan-kawan mendesak agar FMM melakukan tindakan pembalasan atas tindakan
keji BEM Ushuluddin. Nyali Alika Reza sebagai ketua akan dibuktikan disini.
Mereka semua meminta Reza minimal melayangkan pembalasan setimpal agar
pemukulan dibalas pemukulan. Foto wajah bengap anggota FMM yang dipukuli
kini dipasang pada tiap fakultas dari mulai Psikologi sampai Sains dan
Teknologi. Lengkap dengan kop bertulis, “Inikah hasil dari diskusi Filsafat
selama ini?”



Isu beredar bahwa tindakan represif itu diprovokatori Arisiska yang tidak
diterima dibilang kafir dan pelacur oleh Jaka. Arisiska tersinggung berat.
Ia *ngotot* tidak diterima dihina serendah itu oleh mahasiswa semester lima
Fakultas Adab dan Humaniora yang masih bau kencur mengeja Islam menurut
Arisiska. Sedang Jaka berucap bahwa hal itu wajar, “Memang Arisiska pelacur
kok. Saya lihat tiap hari ia menerima uang dari salah satu Negara Eropa
Barat.” Urai Jaka.



“Iblis betina. Antek Liberal.” Sahut lainnya



“Usir Arisiska dari UIN,” timpal rekan sejawat Jaka.



“BEM Ushuluddin perusak akidah mahasiswa baru.”



“Antek Dajjal”



Dan sumpah serapah lainnya yang tidak putus-putus.



BEM Ushuluddin kini terpojok. Mereka yang selama ini terkenal anti
kekerasan, cinta damai, pengusung ide kerukunan antar umat beragama,
ternyata terbentur pada slogan. Tindakan main hakim sendiri empat hari lalu
meruntuhkan wibawa BEM. Kini, seluruh anggota FMM dan berbagai elemen
mahasiswa muslim di UIN telah berkumpul di satu titik yang sama: Depan
Student Centre UIN. Bendera Laailahailallah berkibar menampar-nampar udara
bak panji-panji Shalahuddin Al Ayyubi membentang di bibir Palestina. Satu
langkah kini berjalan, mereka serentak berjalan diikuti pekikan takbir
menuju sekret BEM Ushuluddin dan Filsafat. Barisan terdepan terlihat sangat
bersemangat. Iya mereka justru mahasiswa Ushuluddin sendiri. Ada Jaka dan
beberapa kawan kelasnya. Namun tidak lebih dari lima orang. Mereka baris
beraturan sambil membentangkan spanduk berwajah Arisiska dan gelimangan
dolar di sekelilingnya.



Sedangkan di sekret, kajian masih terus berlanjut. Suasana makin memanas.
Arisiska meletakkan jaket hitamnya di meja ruang sekret BEM Ushuluddin
hingga menyisakan kaos putih bergambar Imanuel Kant di tengahnya. Waktu
maghrib mereka lewati dengan mengindahkan untuk mendirikan shalat. Baginya,
shalat tidak bisa dijadikan ukuran bahwa manusia itu cinta Tuhannnya atau
tidak. Apalagi inti shalat adalah pengabdian kepada Allah sekaligus
mengingatnya.



“Jadi Ibadah itu macam-macam. Diskusi juga ibadah, malah tingkat
kekhusyukannya lebih tinggi dari shalat. Berfilsafat itu adalah dzikir
paling elegan untuk mengingat Tuhan. Jadi orang yang namanya Immanuel Kant
itu lebih soleh ketimbang anak dakwah kampus. Jangan heran kalau David Hume
lebih sering menangis jika mengingat Tuhan ketimbang sederetan mahasiswa
yang sering memanggil kawannya Akhi, Ukhti, Ekhu itu.”



“Hahahaha…” tepuk tangan seluruh peserta diskusi. Tawa mereka riuh merespon
Arisiska menyindir Lembaga Dakwah Kampus Syarif Hidayatullah.



 Ruang sekeretariat ini sebenarnya hanya berlebar 10x10 meter. Tapi selalu
penuh sesak karena massifnya kajian Filsafat rutin disini. Di dindingnya ada
sebuah moto besar berjudul terang: BUAT APA KITA BERTUHAN, JIKA TUHAN
SENDIRI SAJA TIDAK BERTUHAN!! Sedangkan di sampingnya terbentang foto
Arisiska tengah memberikan orasi di depan gedung DPR menolak disahkannya RUU
Pornografi. Saat itu Arisiska berteriak lantang, “Buat apa kita sibuk
mengatur cara pakaian perempuan jika Tuhan sendiri juga mencintai keindahan.
Ingat Pak Ustadz, Tuhan tidak pernah melihat keshalehan hambanya dari aurat,
tapi dari amalnya.” Dan sebuah piagam besar pemberian sebuah kedubes Asing
berdiri disampingnya: “Selamat Atas Terpilhnya Arisika Lenila Wahid Sebagai
Srikandi Hak Asasi Manusia.” Ya gadis pintar, tapi menampar. Pecinta diskusi
luar biasa untuk ukuran mahasiswi UIN seusianya. Selingkuhan abadi Michael
Foucoult yang kadung membuat banyak mahasiswa ateis menyesal baru kali ini
tidak bertuhan.



Saat Arisiska sedang akan menutup kajian, tiba-tiba dari luar sekret mulai
terdengar keramaian. Sahut-sahutan mulai bergulir. Tadinya satu orang, lama
kelamaan disusul satu bundel barisan mahasiswa memanjang membentangkan
spanduk bertuliskan, “Pluralisme Agama Bukan Bagian Dari Islam.”



Sekret BEM Ushuluddin panik bukan kepalang. Mereka menghentikan sejenak
tawanya. Kepala mereka beradu mencuri-curi pandangan dari jendela melihat
situasi mulai penuh kegaduhan. Sedang mereka sendiri tidak tahu apa yang
terjadi.



Ketika telah sampai di depan sekret, Jaka menyuruh temannya berhenti
memekikkan yel-yel. Satu buah jarinya menyangga kelima jarinya membentuk
payung petanda Jaka meminta kawan-kawannya berhenti bersuara.

Rahmat selaku wakil ketua BEM maju ke hadapan. Ia adalah teman satu kelas
Jaka di jurusan Tafsir Hadits.

“Saya mencari Arisiska bukan kamu,” imbuh Jaka memegang balok.



“Ada urusan apa kamu dengan Arisiska? Kalau berani sama laki-laki jangan
perempuan,” tantang Rahmat berbadan agak jangkung dan berambut ikal. Ia
mantan Preman di sekitar Situbondo.



“Aku tidak urusan denganmu, Mat. Minggir kamu,” halau Jaka melempar tubuh
Rahmat yang dibalas Rahmat menarik lengan Jaka.



“Kau lewati dulu mayatku! Sebelum kau ingin bertemu ketua kami!” Tunjuk
Rahmat tepat ke mata Jaka.



Dari arah belakang, Arif mahasiswa Fakultas Psikologi semester tujuh meminta
keberanian Arisiska untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, “Ariska
keluar kau. Berani berbuat berani bertanggung jawab dong.”



“Betul. Tunjukkan batang hidungmu kalau berani,” Sergah Anto. Kawan satu kos
Alika Reza. Anto adalah perwakilan Fakultas Dirosah Islamiyah. Kantor FMM di
fakultas yang *online* dengan kurikulum Universitas Al Azhar Kairo ini
hancur berkeping-keping.



Suasana semakin meruncing. Aroma bentrokan semakin kuat. Rahmat dan
kawan-kawan mulai melakukan *border *melindungi pintu masuk sekret.
Sementara Situasi Ciputat ramai riuh. Peserta Paduan Suara Mahasiswa UIN
yang sedang latihan di samping sekret BEM lari berhamburan menjauh dari
tempat kejadian. Duel akan berlangsung seru. Sayyid Quthb VS Immanuel Kant.
Al Ghazali VS Descartes. David Hume VS Al Kindi. Islamisasi VS Dekonstruksi.



 Para mahasiswa ekstensi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang baru keluar
dari perkuliahan turun rembug melihat dua kelompok massa sudah saling
berhadapan. Mereka terpecah antara bergabung ke BEM dan masuk dalam
lingkuran FMM. Situasi ini mirip seperti momentum bentrok fisik setelah
Pemira pada tahun 2004 (sampai kini juga masih sering terjadi) silam antara
Partai Reformasi Mahasiswa dan Partai Persatuan Mahasiswa. Dua basis
kekuatan politik terbesar di UIN Jakarta.



Sementara elemen mahasiswa muslim yang tergabung dalam FMM terus mendesak,
“Buka…buka..buka.. buka *border*-nya.”



Arisiska terkepung, sedang Rahmat menoleh ke belakang meski tangannya
tergenggam kuat mempertahankan *border*.

“Tahan dirimu di dalam Siska. Aku akan menjagamu disini.”



Untuk menghindari konflik, Arisiska akhirnya menepis imbauan Rahmat. Ia
memberanikan diri keluar dari peraduannya, berjalan lembut sambil merapihkan
jaket hitam ketatnya persis Anna Freud keluar dari ruang prakteknya: Ayu dan
tampak tak berdosa. Arisiska mengangguk kepada teman-temannya agar tidak
terpancing emosi. Kini ia telah berada di depan Jaka, “Ya ini saya. Ada
perlu apa?”



Jaka tersenyum sungging, “Akhirnya keluar juga dalang dari semua skenario
ini. Pembual sejati. Mengaku bagian dari pengusung nirkekerasan (baca: ide
tanpa kekerasan). Ternyata tulisan-tulisanmu selama ini hanyalan isapan
jempol belaka. Murahan sekali kau Lenila. Cantik tapi berhati iblis. Berapa
dolar kau dibayar Eropa?”



Pemilik nama lengkap Arisiska Lenila Wahid itu mengeyampingkan wajahnya.
Kedua tangannya terlipat. Dengan tenang, ia balik tersenyum. “Selamat Datang
Skriptualis. Pecinta Teks. Pemikir Kolot Abad 21 yang hanya bisa menggerutu
tanpa ilmu. Tiranik abad pertengahan yang bangkit dari kuburnya. Maaf ini
bukan Vatikan. Aku bisa mengurus perizinanmu untuk pindah dari Indonesia.
Berapa hargamu?” balas Siska pedas.



“Ow.. bukankah kau yang selama ini punya standar bayaran wahai pelacur?”



Arisiska melepas lipatan tangannya. Kedua softlense oranye di matanya
tiba-tiba terdiam. Ia naik pitam mendengar stigma hina bagi seorang
perempuan itu terbentang di hadapannya. Ia menunjuk wajah Jaka dengan satu
telunjuk terpantau lurus, ”Jaga omonganmu. Hati-hati kalau bicara.”



“Kalau kau memang tidak merasa, kenapa harus marah?”



“Aku tidak pernah mencari uang haram demi kebutuhanku.”



“Owwh mendekat ke Negara adidaya itu dan meminta segenap dolar untuk
membunuh Islam kau pikir bukan pekerjaan haram? Owwh semoga aku tidak
menyesal kau telah menjadi Presiden BEM saat ini.” Jaka bertepuk tangan
seraya tersenyum lalu menoleh ke arah kerumunan kawan-kawannya.



“Hahahahaha…” Gantian Arisiska kini menjadi bahan tawa.



Arisiska sudah mati sabar, ia melempar dengan kencang sebuah buku ke wajah
Jaka,



“Bruuk..”



Jaka memegangi wajahnya. Ia tidak terima dilempar buku oleh Arisiska, “Dasar
jalang.”

Dan Jaka balik mengangkat tanganya ke langit dan siap menampar wajah kecil
Siska.



Arisika menutup muka dengan kedua tangan,



Saat tangan Jaka hampir tiba di muka Siska, tiba-tiba dari belakang Reza
menahan tangan Jaka, “Tahan emosimu, Jak. Kita boleh kesal. Tapi kita
selesaikan masalah dengan baik. Bagaimanapun Arisiska adalah adik dari
Almarhum Akh Ahmad.”



Melihat kehadiran Reza, Siska terdiam. Ia menaikkan wajahnya. Ia tahu betul
siapa pria yang di depannya ini. Pria satu-satunya yang menyanggah
tulisannya tentang Rasionalisme Descartes dengan genangan artikel dua puluh
lembar yang menyala-nyala. Berjudul terang tapi tetap lembut: Kesalahan
Saudari Arisiska Dalam Membandingkan Rasionalisme Descartes dan Al Ghazali.
Iya, dua kakak beradik dari orangtua kandung bernama ilmu.



Reza dan Siska beradu pandangan, dan Reza membenamkan wajahnya. Ujian ini
menyentuh titik terlemah seorang laki-laki sepertinya. Ia sadar bahwa ia
adalah seorang leader di FMM. Statusnya adalah ikhwan. Reza berada dalam
posisi dilemma.  Ia harus memilih antara hatinya dan prinsipnya. Ia tidak
sadar mana yang menjadi keladi rasa cintanya kepada Arisiska. Apakah
kepintarannya, kecintaannya terhadap ilmu, atau jelitanya. Namun yang pasti
ucapan almarhum Akh Ahmad sebelum wafat selalu mengiang di tiap
istikharahnya, “Akhi titip adik ana. Sadarkan ia. Nikahkan jika memang antum
ingin berdakwah kepadanya. Mungkin permintaan ini terasa aneh. Tapi
percayalah akhi, ini adalah suara lubuk hati dari nurani seorang kakak yang
tak tega melihat sang adik sedang terkena tipu daya dunia. Sungguh Arisiska
adalah adik perempuan kami satu-satunya pengemban amanah keluarga.
Berjanjilah Akh Reza, kitab Ma’alim fiththriqh ini menjadi saksi bahwa cinta
itu ada.”



 Reza ingin menangis menyadari betapa beratnya ujian Allah. Ya berat karena
tepat menghantam titik lemah dirinya. Penggiat Islamisasi Sains dan Sayyed
Naquib Al Attas Muda dari Ciputat itu akhirnya menangis dalam hatinya.
Mengungkapkan perasaan jauh lebih sulit ketimbang melukis pemikiran.



Reza mengambil buku yang dilempar Arisiska ke wajah Jaka. Ternyata kitab
Ma’alim Fiththoriqh itu. Dan Reza mengangkat kepalanya menghadap Siska.
“Andai kau tahu Siska apa yang diamanahkan amarhum kakakmu kepadaku”



*Bersambung*



*Penulis adalah alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semasa kuliah aktif
pada kajian-kajian Keislaman dan Filsafat di Ciputat, diantaranya HMI, Forum
Kota, dan Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Mantan Wakil Ketua Kongres (MPR)
UIN Jakarta dan Ketua BEM Bimbingan dan Konseling Islam. Selepas kuliah,
kini aktif pada diskusi sabtuan INSISTS, Kajian Zionisme Internasional, dan
Kuliah Peradaban Islam DISC UI.

--
Sesungguhnya, hanya dengan mengingat Allah, hati akan tenang.
now surely by Allah's remembrance are the hearts set at rest.
N'est-ce point par l'évocation d'Allah que se tranquillisent les coeurs.
im Gedenken Allahs ist's, daß Herzen Trost finden können.
>> al-Ra'd [13]: 28