Tuesday, September 27, 2016

Wakaf itu Memang Mengagumkan

Anda kagum dengan aset Djarum, Sampoerna, dll? Izinkan saya menyampaikan sesuatu.

64 tahun yang lalu, setelah Buya Hamka bekerjasama dengan Yayasan Al-Azhar Indonesia, kini telah memiliki 150 cabang masjid di Indonesia, belum lagi aset sekolah-sekolahnya: sekarang hampir di tiap provinsi ada Sekolah Al-Azhar. Siapa orang kaya di Indonesia, yang asetnya sebanyak dan semanfaat Al-Azhar?

90 tahun yang lalu setelah sang kiai menyerahkan seluruh tanahnya, dirinya, bahkan anaknya yang masih dalam kandungan, diwakafkan untuk agamanya, 90 tahun kemudian GONTOR punya 20 cabang dan 400 pondok alumni tersebar di seantero nusantara bahkan ada yang di luar negeri. Saya tidak tahu berapa ratus triliun asetnya. Bermula dari tiga orang bersaudara. Sebutkan kepada saya, orang Indonesia dari penjajahan hingga sekarang, yang asetnya sebanyak beliau? Baik secara nilai aset maupun secara manfaat.

Muhammadiyah? Jangan ditanya. 104 tahun yang lalu. KH, Ahmad Dahlan pernah keluar rumah, mengumumkan kepada semua orang, siapa saja yang mau membeli seluruh perabotan yang ada di dalam rumahnya, karena beliau kekurangan dana untuk menggaji guru-guru sekolah Muhammadiyah.

Kini, 104 tahun kemudian Muhammadiyah telah memiliki 10.000 lebih sekolah mulai dari PAUD hingga SMU, 170 lebih universitas, 104 rumah sakit, yang pemerintah Indonesia baru punya 48 rumah sakit vertikal, 300 klinik, 10 Fakultas Kedokteran, 700 dokter dikeluarkan setiap tahunnya. Dan hampir 1000 Triliun nilai aset Muhammadiyah yang baru bisa terhitung dalam bentuk barang dan masih banyak lagi yang tidak terhitung. Maaf, saya belum update data terbaru  amal usaha yang dimiliki ormas ini

NU? Ia sangat mengakar dan berbasis pada pesantren. Jangan tanya jumlah, karena yang pasti sudah tidak bisa dihitung lagi, meskipun data di Kemenag ada sekitar 27 ribu pesantren. Tapi, saya yakin lebih dari jumlah itu. Hampir semuanya tumbuh kembang dari wakaf-wakaf umat, mulai dari wakaf tanah 1 m, hingga ratusan hektar.

NU pun sejak satu dasawarsa terakhir ini giat membangun sekolah-sekolah modern, rumah sakit dan perguruan tinggi. Saya yakin dalam 20 tahun mendatang akan tumbuh ratusan perguruan tinggi dan rumah sakit NU di tanah air. Belum lagi jika kita bicara masjid-masjid yang dikelola ormas Islam yang didirikan oleh Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asyari ini, berapa nilai asetnya? Yang pasti akan fantastis.

Ada satu contoh lagi yang perlu kusebutkan di sini: Pesantren Darunnajah Jakarta, salah satu pondok alumni Gontor yang moncer. Baru-baru ini, dalam rangka miladnya yang ke-54 ia kembali mewakafkan tanah seluas 602 ha atau senilai Rp. 1,6 Triliun. Sebutkan padaku, siapa yang berani melepas asetnya sebesar 1,6 T dan diwakafkan pada umat? Gila? Tidak! Aku bahkan menyebutkan sangat waras! Saat banyak orang kaya menghamburkan triliunan rupiah untuk judi dan politik, sebuah pesantren berusia 54 tahun kembali mewakafkan angka yang fantastis.

Tahun 2015, aset tanah wakaf Darunnajah mencapai 677,5 hektar yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia seperti di Riau, Kalimantan, Bandung, Jakarta, Bogor, Banten, Lampung, Bengkulu,  dan lain-lain. Seperti induknya, Gontor yang tanah wakafnya telah mencapai ribuan hektar, dan juga mengelola unit usaha yang beragam.

Woouw, pesantren seperti perusahaan ya. Asetnya fantastis. Bedanya, pesantren berasal dari wakaf, perusahaan dari modal. Kalau begitu, berarti umat Islam ini umat yang besar dan kaya dong? Betul sekali! Yang luar biasa dengan aset yang fantastis itu, kiai pendiri, pengasuh dan keluarganya tidak memiliki satu sen pun, karena telah diwakafkan. Ada garis tegas pemisahan harta pribadi dengan harta pondok.

Maka, jangan under-estimate, bahwa pesantren tidak bisa apa-apa. Itu penilaian orang yang tidak paham, atau memang tidak mau paham.

Tazakka, 6 tahun yang lalu hanyalah hamparan tanah kosong yang tak berpenghuni. Dulu, ia adalah sebuah kebun cengkeh milik kakekku, hanya 1,6 ha luasnya yang setelah wafatnya pada 1988 nyaris tak terurus dengan baik. Tahun 2009, aku tekadkan untuk mengubahnya menjadi "kebun manusia"; bukan lagi cengkeh yang akan dipetik, tapi manusia-manusia masa depan yang akan dipanen, 10, 20, atau 30 tahun yang akan datang, bahkan, ya Rabb, mungkin satu abad, atau 10 abad seperti Universitas Al-Azhar di Kairo itu, tempatku dan adik-adikku nyantri.

Kini, wakaf Tazakka terus berkembang: tanah telah menjadi hampir 10 ha, masjid, gedung-gedung asrama santri, ruang-ruang kelas, aula pertemuan, dapur umum santri, kamar mandi, lapangan olah raga, perpustakaan, dan lain sebagainya. Ya Rabb, bisakah seperti Al-Azhar di Kairo, atau Gontor di Ponorogo? Ya Rabb. Entah, apakah aku masih hidup menyaksikannya ataukah aku telah tenang di alam kubur. Ya Rabb.

Buya Hamka seandainya masih hidup, KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asyari dan juga Kiai Ahmad Sahal, Kiai Fannanie dan Kiai Imam Zarkasyi, mungkin tidak pusing dengan tax amnesty, karena mereka punya rekening gendut di akhirat dan di dunia, biasa-biasa saja. Sementara yang punya rekening gendut di dunia, pusing di akhiratnya, pusing pula di dunianya.

Seperti yang saya ketahui ada sebuah Hadis Nabi SAW yang intinya: "Ada malaikat Allah yang siap mendoakan orang-orang yang ikhlas di jalan Allah yang tak terhitung jumlahnya."

Itulah jalan kemuliaan para ulama kita terdahulu. Mereka tidak saja mewariskan nilai-nilai kehidupan, tetapi juga mewariskan peradaban. Lalu, pertanyaannya, apa yang sedang dan akan wariskan kepada generasi yang akan datang?

Maka, para ulama kita itu abadi hingga kini. Setidaknya, nama, foto dan silsilahnya masih segar di ingatan seluruh umat dan bangsa ini. Dengan begitu, mereka selalu didoakan. Duh, nikmatnya mereka, tiap saat kuburnya basah dan _jembar_ (lapang) karena kiriman doa-doa umatnya yang terus-menerus tiada henti. Bisakah kita kelak seperti mereka? Ya Rabb!

Itulah jalan wakaf, membentang ke depan tak berujung. Wakaf itu seperti --meminjam istilah Taufik Ismail-- "Sajadah Panjang", tempat kita menghamparkan diri berinvestasi untuk akhirat yang abadi. Harta yang kita wakafkan tidak hilang, tapi tersimpan dalam rekening akhirat. Ibarat sebuah transaksi di bank, para malaikat itulah yang bertugas sebagai teller-tellernya.

Aku hanya bisa berdoa, semoga kita semua ini menjadi batu-batu pondasi untuk sebuah peradaban masa depan yang Islami. Apapun yang telah kita ikhlaskan dalam bentuk wakaf: aset, uang tunai, tenaga, pikiran, akses jaringan, keahlian, manfaat dan lain sebagainya, semoga itu semua menjadi catatan kebaikan dalam timbangan di akhirat kelak.

Aku tidak tahu berapa nama yang harus kusebut dalam terima kasihku atasnama umat, juga dalam doa-doa terbaikku dan doa-doa santri-santriku. Tapi, Allah Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui apa yang dikerjakan hamba-hamba-Nya. Ya Rabb.

Wakaf memang mengagumkan! Sayang, belum banyak yang mengerti dan melakukannya!

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

_Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan yang sempurna, sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya._ _(Qs. Ali Imran [3]: 92)_

_"Jika anak Adam mati, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak saleh yang mendoakannya."_ _(Muttafaqun Alaih)_

Ya Allah, terimalah ibadah dan amal saleh kami. _Ya Rabb, wa-taqabbal du'a._

يا رب. إلهي أنت مقصودي ورضاك مطلوبي.

Anang Rikza Masyhadi
Gambir, 26 Sept 2016

Wednesday, September 21, 2016

hari ini seseorang telah meninggal dunia.

Doa-doa mulai dilantunkan, semua yang hadir diam membisu, semua melafaskan do'a-do'a mengagungkan Sang Maha Perkasa.

Hari ini menjadi pembuktian dhoifnya seorang manusia, perjalanan kisah hidup yang akhirnya pasti, menjadi muara sejarah seorang anak manusia yang pernah melanglang buana dipentas dunia, bukan sebagai siapa-siapa hanya orang biasa. Anak-anaknya ada yang tersedu sedan, begitu juga seorang istri dipojok ruangan sambil menerima jabatan tangan dari orang-orang yang mengucapkan bela sungkawa.

Hanya sebuah dipan sederhana dilapisi kasur yang rendah diletakkan ditengah-tengah ruangan, siang itu terasa amat sedih sehingga terlihat mendung.
Beberapa ekor anak kucing tengah bermain-main dengan buntut induknya dikolong sebuah kursi tua, dan dari jauh seekor anjing memperhatikan tingkah laku anak-anak kucing itu sambil tetap waspada pada orang-orang yang datang melayat.

Sanak famili mulai berdatangan, ada yang biasa saja, ada yang terpaku memandang jasad si mayit, ada juga orang yang datang dengan sedu sedan bersedih mendalam ketika mencoba melihat kedalam sesosok yang ditutupi kain batik panjang dan wajah yang di tutupi selendang tipis berwarna putih.

Tetangga kiri dan kanan, warga kampung mulai memasang tenda, menggelar kursi-kursi lipat, sebagian ada yang tergopoh-gopoh menuju masjid untuk segera mengambil peralatan mandi jenasah, menyiapkan kurung batang yang nantinya menjadi kendaraan si mayit menuju peristirahatan terakhir.



Tamatlah riwayat hidup seorang manusia, habislah segala rezeki yang pernah dini'matinya, padamlah cahaya hidup yang selama ini menerangi dan menemaninya meniti kehidupan dunia hari demi hari.

Ketika seluruh urusan harus selesai tanpa menunggu kelanjutan lagi, ketika semua permasalahan akhirnya harus diakhiri tanpa menunggu solusi lagi masuk dalam sejarah dan kenyataan bahwa memang harus berakhir dengan datangnya kematian.

Tinggal lah kisah kebaikannya ketika hidup di dunia, keramahannya menyapa orang-orang yang lalu lalang dari hadapannya, atau malah cemberut dan masamnya terhadap orang yang tidak di ridhoinya...semua tinggal kenangan hidup yang mungkin juga sebentar lagi dilupakan orang-orang yang pernah bersinggungan dengannya.

Kuingin Anakku Mengikutimu

Ketika lahir, anak lelakiku gelap benar kulitnya, Lalu kubilang pada ayahnya:
“Subhanallah, dia benar-benar mirip denganmu ya!”
Suamiku menjawab:
“Bukankah sesuai keinginanmu? Kau yang bilang kalau anak lelaki ingin seperti aku.”
Aku mengangguk. Suamiku kembali bekerja seperti biasa.
Ketika bayi kecilku berulang tahun pertama, aku mengusulkan perayaannya dengan mengkhatamkan Al Quran di rumah Lalu kubilang pada suamiku:
“Supaya ia menjadi penghafal Kitabullah ya,Yah.”
Suamiku menatap padaku seraya pelan berkata:
“Oh ya. Ide bagus itu.”
Bayi kami itu, kami beri nama Ahmad, mengikuti panggilan Rasulnya. Tidak berapa lama, ia sudah pandai memanggil-manggil kami berdua: Ammaa. Apppaa. Lalu ia menunjuk pada dirinya seraya berkata: Ammat! Maksudnya ia Ahmad. Kami berdua sangat bahagia dengan kehadirannya.
Ahmad tumbuh jadi anak cerdas, persis seperti papanya. Pelajaran matematika sederhana sangat mudah dikuasainya. Ah, papanya memang jago matematika. Ia kebanggaan keluarganya. Sekarang pun sedang S3 di bidang Matematika.
Ketika Ahmad ulang tahun kelima, kami mengundang keluarga. Berdandan rapi kami semua. Tibalah saat Ahmad menjadi bosan dan agak mengesalkan. Tiba-tiba ia minta naik ke punggung papanya. Entah apa yang menyebabkan papanya begitu berang, mungkin menganggap Ahmad sudah sekolah, sudah terlalu besar untuk main kuda-kudaan, atau lantaran banyak tamu dan ia kelelahan. Badan Ahmad terhempas ditolak papanya, wajahnya merah, tangisnya pecah, Muhammad terluka hatinya di hari ulang tahunnya kelima.
Sejak hari itu, Ahmad jadi pendiam. Murung ke sekolah, menyendiri di rumah. Ia tak lagi suka bertanya, dan ia menjadi amat mudah marah. Aku coba mendekati suamiku, dan menyampaikan alasanku. Ia sedang menyelesaikan papernya dan tak mau diganggu oleh urusan seremeh itu, katanya.
Tahun demi tahun berlalu. Tak terasa Ahmad telah selesai S1. Pemuda gagah, pandai dan pendiam telah membawakan aku seorang mantu dan seorang cucu. Ketika lahir, cucuku itu, istrinya berseru sambil tertawa-tawa lucu:
“Subhanallah! Kulitnya gelap, Mas, persis seperti kulitmu!”
Ahmad menoleh dengan kaku, tampak ia tersinggung dan merasa malu.
“Salahmu. Kamu yang ingin sendiri, kan. Kalau lelaki ingin seperti aku!”
Di tanganku, terajut ruang dan waktu. Terasa ada yang pedih di hatiku. Ada yang mencemaskan aku.
Cucuku pulang ke rumah, bulan berlalu. Kami, nenek dan kakeknya, datang bertamu.
Ahmad kecil sedang digendong ayahnya. Menangis ia. Tiba-tiba Ahmad anakku menyergah sambil berteriak menghentak,
“Ah, gimana sih, kok nggak dikasih pampers anak ini!”
Dengan kasar disorongkannya bayi mungil itu.
Suamiku membaca korannya, tak tergerak oleh suasana. Ahmad, papa bayi ini, segera membersihkan dirinya di kamar mandi. Aku, wanita tua, ruang dan waktu kurajut dalam pedih duka seorang istri dan seorang ibu. Aku tak sanggup lagi menahan gelora di dada ini.
Pecahlah tangisku serasa sudah berabad aku menyimpannya. Aku rebut koran di tangan suamiku dan kukatakan padanya:
“Dulu kau hempaskan Ahmad di lantai itu! Ulang tahun ke lima, kau ingat? Kau tolak ia merangkak di punggungmu! Dan ketika aku minta kau perbaiki, kau bilang kau sibuk sekali. Kau dengar? Kau dengar anakmu tadi? Dia tidak suka dipipisi. Dia asing dengan anaknya sendiri!”
Allahumma Shali ala Muhammad. Allahumma Shalli alaihi wassalaam. Aku ingin anakku menirumu, wahai Nabi.
Engkau membopong cucu-cucumu di punggungmu, engkau bermain berkejaran dengan mereka Engkau bahkan menengok seorang anak yang burung peliharaannya mati.
Dan engkau pula yang berkata ketika seorang ibu merenggut bayinya dari gendonganmu,
“Bekas najis ini bisa kuseka, tetapi apakah kau bisa menggantikan saraf halus yang putus di kepalanya?”
Aku memandang suamiku yang terpaku.
Aku memandang anakku yang tegak diam bagai karang tajam.
Kupandangi keduanya, berlinangan air mata.
Aku tak boleh berputus asa dari Rahmat-Mu, ya Allah, bukankah begitu?
Lalu kuambil tangan suamiku, meski kaku, kubimbing ia mendekat kepada Ahmad. Kubawa tangannya menyisir kepala anaknya, yang berpuluh tahun tak merasakan sentuhan tangan seorang ayah yang didamba.
Dada Ahmad berguncang menerima belaian. Kukatakan di hadapan mereka berdua,
“Lakukanlah ini, permintaan seorang yang akan dijemput ajal yang tak mampu mewariskan apa-apa: kecuali Cinta.
Lakukanlah, demi setiap anak lelaki yang akan lahir dan menurunkan keturunan demi keturunan.
Lakukanlah, untuk sebuah perubahan besar di rumah tangga kita! Juga di permukaan dunia. Tak akan pernah ada perdamaian selama anak laki-laki tak diajarkan rasa kasih dan sayang, ucapan kemesraan, sentuhan dan belaian, bukan hanya pelajaran untuk menjadi jantan seperti yang kalian pahami. Kegagahan tanpa perasaan.
Dua laki-laki dewasa mengambang air di mata mereka.
Dua laki-laki dewasa dan seorang wanita tua terpaku di tempatnya.
Memang tak mudah untuk berubah. Tapi harus dimulai. Aku serahkan bayi Ahmad ke pelukan suamiku. Aku bilang:
“Tak ada kata terlambat untuk mulai, Sayang.”
Dua laki-laki dewasa itu kini belajar kembali. Menggendong bersama, bergantian menggantikan popoknya, pura-pura merancang hari depan si bayi sambil tertawa-tawa berdua, membuka kisah-kisah lama mereka yang penuh kabut rahasia, dan menemukan betapa sesungguhnya di antara keduanya Allah menitipkan perasaan saling membutuhkan yang tak pernah terungkapkan dengan kata, atau sentuhan. Kini tawa mereka memenuhi rongga dadaku yang sesak oleh bahagia, syukur pada-Mu
Ya Allah! Engkaulah penolong satu-satunya ketika semua jalan tampak buntu.
Engkaulah cahaya di ujung keputusasaanku.
Tiga laki-laki dalam hidupku aku titipkan mereka di tangan-Mu.
Kelak, jika aku boleh bertemu dengannya, Nabiku, aku ingin sekali berkata: Ya, Nabi. aku telah mencoba sepenuh daya tenaga untuk mengajak mereka semua menirumu!
Amin, Alhamdulillah


***
Ungkapan Dalam Mendidik Anak :
Jika anak di besarkan dengan celaan, ia belajar memaki Jika anak di besarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi Jika anak di besarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah Jika anak di besarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri Jika anak di besarkan dengan olok-olok, ia belajar rendah diri Jika anak di besarkan dengan dipermalukan, ia belajar merasa bersalah Jika anak di besarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri Jika anak di besarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri Jika anak di besarkan dengan pujian, ia belajar menghargai Jika anak di besarkan dengan penerimaan, ia belajar mencinta Jika anak di besarkan dengan dukungan, ia belajar menenangi diri Jika anak di besarkan dengan pengakuan, ia belajar mengenali tujuan Jika anak di besarkan dengan rasa berbagi, ia belajar kedermawaan Jika anak di besarkan dengan kejujuran dan keterbukaan, ia belajar kebenaran dan keadilan Jika anak di besarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan Jika anak di besarkan dengan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan Jika anak di besarkan dengan ketentraman, ia belajar berdamai dengan pikiran.