Monday, April 14, 2008

Quo Vadis


Ingat kisah pembantaian massal terhadap seluruh Kader dan Underbow Partai Komunis Indonesia? jika tidak biar saya ingatkan anda sekali lagi, sekedar berkaca bahwa apa yang dilakukan lawan politik menjadi sah dan legal untuk tujuan melanggengkan kekuasaan.
Pada saat itu kader PKI adalah merupakan kader paling terorganisir dan militan dijamannya, ideologi mereka satu, bahwa pemerataan adalah kunci kemakmuran dan kesejahteraan seperti yang digaungkan oleh Karl Marx bahwa azas sama rasa dan sama rata adalah sumber kejayaan dalam suatu negara. Semua spirit ini ditelan bulat-bulat oleh kader militan Partai Komunis Indonesia, mereka berharap suatu saat Indonesia tidak hanya dimiliki cukong tanah yang hanya bisa mengeruk keuntungan dari para buruh yang bekerja diatas ladangnya. Mereka berharap hasil jerih payah buruh penggarap dihargainya sebesar bagi hasil yang adil dengan tuan tanahnya.
Tapi apa kata lawan politik PKI saat itu yang terdiri dari orang-orang nasional kapitalis yang begitu membenci ideologi sama rasa dan sama rasanya Komunisme. Karena kebetulan orang Indonesia dalam keadaan gamang memilih ideologi negara antara pilihan Azas Islam, Nasional Kapitalis dan Komunisme dan kebetulan saat itu pula Masyumi telah dibekukan keberadaannya, maka yang menjadi musuh utama Nasional Kapitalis adalah Komunisme yang saat itu didukung sepernuhnya oleh Amerika Serikat. Mereka katakan Komunisme itu anti Tuhan semata-mata karena Karl Marx dan Komunisme berasal dari Rusia yang notebene memang kafir adanya.
Lalu gelombang pembantaian terhadap orang-orang "anti Tuhan" berlangsung, tak perduli seberapa sadis dan ganas kemanusiaan yang mendekati kebinatangan, pembantaian menjadi legal terhadap siapa saja yang berseberangan pendapat entah itu orang pribadi, segolongan komunitas politik dan para pesaing-pesaing yang sulit dijatuhkan dengan cara yang biasa. Tak peduli dengan kader yang tak tahu apa-apa tentang isu anti Tuhan padahal ada diantara mereka yang sangat religius beribadah, mereka dibantai sebelum tahu apa kesalahan mereka, yang mereka ketahui adalah karena mereka dicap sebagai kader dan anggota yang simpati terhadap perjuangan sama rasa sama rata.
Lalu banjir darah menggenang dimana-mana diseluruh aliran sungai yang ada di hulu dan hilir. Dan kemudian era kepemimpinan baru bangkit seiring dengan kisah partriotik yang begitu mengelu-elukan pahlawan yang digjaya sesakti garuda yang terbang diangkasa.
Itulah kisah sedih peradaban suatu komunitas bangsa bernama Indonesia.
Dan kini apa yang dibuat oleh setiap lawan politik mendekati persamaan.
Ketika seorang ustadz dalam ceramahnya berkata tak perlu bekerja sama dengan orang-orang yang anti tahlilan dan maulid karena mereka itu bukan golongan kita, semata-mata memancing perseteruan baru dengan model dan cara menjatuhkan lawan dengan gaya lama.
Motif politik sekedar mendiskreditkan lawan menjadi halal dan berpahala.
Apapun akan dilakukan demi menghancurkan lawan politik dengan cara apapun dan dengan dalih apapun sekedar mempertahankan kekuasaan yang hanya langgeng didunia saja...
Nisbi....

Jangan Rampas Hak Rakyat...

Pengalaman Seorang Hamba
"Zalimnya Pemerintahan Saat Ini"

Sepulang dari pengajian rutin beberapa hari lalu, saya berdiri di tepi
trotoar daerah Klender. Angkot yang ditunggu belum jua lewat, sedang
matahari kian memancar terik. Entah mengapa, kedua mata saya tertarik
utuk memperhatikan seorang bapak tua yang tengah termangu di tepi jalan
dengan sebuah gerobak kecil yang kosong. Bapak itu duduk di trotoar.
Matanya memandang kosong ke arah jalan.

Saya mendekatinya. Kami pun terlibat obrolan ringan. Pak Jumari,
demikian namanya, adalah seorang penjual minyak tanah keliling yang
biasa menjajakan barang dagangannya di daerah Pondok Kopi, Jakarta
Timur. "Tapi kok gerobaknya kosong Pak, mana kaleng-kaleng minyaknya?"
tanya saya.

Pak Jumari tersenyum kecut. Sambil menghembuskan nafas panjang-panjang
seakan hendak melepas semua beban yang ada di dadanya, lelaki berusia
limapuluh dua tahun ini menggeleng. "Gak ada minyaknya."

Bapak empat anak ini bercerita jika dia tengah bingung. Mei depan,
katanya, pemerintah akan mencabut subsidi harga minyak tanah. "Saya
bingung. saya pasti gak bisa lagi jualan minyak. Saya gak tahu lagi
harus jualan apa. modal gak ada.keterampilan gak punya.." Pak Jumari
bercerita. Kedua matanya menatap kosong memandang jalanan. Tiba-tiba
kedua matanya basah. Dua bulir air segera turun melewati pipinya yang
cekung.

"Maaf /dik/ saya menangis, saya benar-benar bingung. mau makan apa kami
kelak.., " ujarnya lagi. Kedua bahunya terguncang menahan tangis. Saya
tidak mampu untuk menolongnya dan hanya bisa menghibur dengan kata-kata.
Tangan saya mengusap punggungnya. Saya tahu ini tidak mampu mengurangi
beban hidupnya.

Pak Jumari bercerita jika anaknya yang paling besar kabur entah ke mana.
"Dia kabur dari rumah ketika saya sudah tidak kuat lagi bayar sekolahnya
di SMP. Dia mungkin malu. Sampai sekarang saya tidak pernah lagi melihat
dia.. Adiknya juga putus sekolah dan sekarang ngamen di jalan. Sedangkan
dua adiknya lagi ikut ibunya ngamen di kereta. Entah sampai kapan kami
begini ."

Mendengar penuturannya, kedua mata saya ikut basah.

Pak Jumari mengusap kedua matanya dengan handuk kecil lusuh yang
melingkar di leher. "/Dik/, katanya adik wartawan.. tolong bilang kepada
pemerintah kita, kepada bapak-bapak yang duduk di atas sana , keadaan
saya dan banyak orang seperti saya ini sungguh-sungguh berat sekarang
ini. Saya dan orang-orang seperti saya ini cuma mau hidup sederhana,
punya rumah kecil, bisa nyekolahin anak, bisa makan tiap hari, itu saja.
" Kedua mata Pak Jumari menatap saya dengan sungguh-sungguh.

"/Dik/, mungkin orang-orang seperti kami ini lebih baik mati... mungkin
kehidupan di sana lebih baik daripada di sini yah..." Pak Jumari
menerawang.

Saya tercekat. Tak mampu berkata apa-apa. Saya tidak sampai hati
menceritakan keadaan sesungguhnya yang dilakukan oleh para pejabat kita,
oleh mereka-mereka yang duduk di atas singgasananya. Saya yakin Pak
Jumari juga sudah tahu dan saya hanya mengangguk.

Mereka, orang-orang seperti Pak Jumari itu telah bekerja siang malam
membanting tulang memeras keringat, bahkan mungkin jika perlu memeras
darah pun mereka mau. Namun kemiskinan tetap melilit kehidupannya.
Mereka sangat rajin bekerja, tetapi mereka tetap melarat.

Kontras sekali dengan para pejabat kita yang seenaknya numpang hidup
mewah dari hasil merampok uang rakyat. Uang rakyat yang disebut
'anggaran negara' digunakan untuk membeli mobil dinas yang mewah,
fasilitas alat komunikasi yang canggih, rumah dinas yang megah, gaji dan
honor yang gede-gedean, uang rapat, uang transport, uang makan,
akomodasi hotel berbintang nan gemerlap, dan segala macam fasilitas gila
lainnya. /Mumpung ada anggaran negara maka sikat sajalah! /

Inilah para perampok berdasi dan bersedan mewah, yang seharusnya bekerja
untuk mensejahterakan rakyatnya namun malah berkhianat mensejahterakan
diri, keluarga, dan kelompoknya sendiri. Inilah para lintah darat yang
menghisap dengan serakah keringat, darah, tulang hingga sum-sum
rakyatnya sendiri. Mereka sama sekali tidak perduli betapa rakyatnya
kian hari kian susah bernafas. Mereka tidak pernah perduli. Betapa
zalimnya pemerintahan kita ini!

Subsidi untuk rakyat kecil mereka hilangkan. Tapi subsidi agar para
pejabat bisa hidup mewah terus saja berlangsung. Ketika rakyat antri
minyak berhari-hari, para pejabat kita enak-enakan keliling dalam mobil
mewah yang dibeli dari uang rakyat, menginap berhari-hari di kasur empuk
hotel berbintang yang dibiayai dari uang rakyat, dan melancong ke luar
negeri berkedok studi banding, juga dari uang rakyat.

Sepanjang jalan, di dalam angkot, hati saya menangis. Bocah-bocah kecil
berbaju lusuh bergantian turun naik angkot mengamen. Di perempatan lampu
merah, beberapa bocah perempuan berkerudung menengadahkan tangan. Di
tepi jalan, poster-poster pilkadal ditempel dengan norak. Perut saya
mual dibuatnya.

Setibanya di rumah, saya peluk dan cium anak saya satu-satunya. "Nak,
ini nasi bungkus yang engkau minta." Dia makan dengan lahap. Saya tatap
dirinya dengan penuh kebahagiaan. /Alhamdulillah/ , saya masih mampu
menghidupi keluarga dengan uang halal hasil keringat sendiri, bukan
numpang hidup dari fasilitas negara, mengutak-atik anggaran negara yang
sesungguhnya uang rakyat, atau bagai lintah yang mengisap kekayaan negara.

Saat malam tiba, wajah Pak Jumari kembali membayang. Saya tidak tahu
apakah malam ini dia tidur dengan perut kenyang atau tidak. Saya berdoa
agar Allah senantiasa menjaga dan menolong orang-orang seperti Pak
Jumari, dan memberi hidayah kepada para pejabat kita yang korup.
Mudah-mudahan mereka bisa kembali ke jalan yang benar. Mudah-mudahan
mereka bisa kembali paham bahwa jabatan adalah amanah yang harus
dipertanggungjawabk an di mahkamah akhir kelak. Mudah-mudahan mereka
masih punya nurani dan mau melihat ke bawah.

Mudah-mudahan mereka bisa lebih sering naik angkot untuk bisa mencium
keringat anak-anak negeri ini yang harus bekerja hingga malam demi
sesuap nasi, bukan berkeliling kota naik sedan mewah...

Mudah-mudahan mereka lebih sering menemui para dhuafa, bukan menemui
konglomerat dan pejabat... Mudah-mudahan mereka lebih sering berkeliling
ke wilayah-wilayah kumuh, bukan ke mal...

Amien Ya Allah.

Wednesday, April 09, 2008

Lolipop


Alkisah ada dua orang anak laki-laki, Bob dan Bib, yang sedang melewati lembah permen lolipop. Di tengah lembah itu terdapat jalan setapak yang beraspal. Di jalan itulah Bob dan Bib berjalan kaki bersama.

Uniknya, di kiri-kanan jalan lembah itu terdapat banyak permen lolipop yang berwarni-warni dengan aneka rasa.
Permen-permen yang terlihat seperti berbaris itu seakan menunggu tangan-tangan kecil Bob dan Bib untuk mengambil dan menikmati kelezatan mereka.

Bob sangat kegirangan melihat banyaknya permen lolipop yang bisa diambil.
Maka ia pun sibuk mengumpulkan permen-permen tersebut. Ia mempercepat jalannya supaya bisa mengambil permen lolipop lainnya yang terlihat sangat banyak didepannya. Bob mengumpulkan sangat banyak permen lollipop yang ia simpan di dalam tas karungnya. Ia sibuk mengumpulkan permen-permen tersebut tapi sepertinya permen-permen tersebut tidak pernah habis maka ia memacu langkahnya supaya bisa mengambil semua permen yang dilihatnya.


Tanpa terasa Bob sampai di ujung jalan lembah permen lolipop. Dia melihat gerbang bertuliskan "Selamat Jalan".

Itulah batas akhir lembah permen lolipop. Di ujung jalan, Bob bertemu seorang lelaki penduduk sekitar. Lelaki itu bertanya kepada Bob, "Bagaimana perjalanan kamu di lembah permen lolipop? Apakah permen-permennya lezat? Apakah kamu mencoba yang rasa jeruk? Itu rasa yang paling disenangi. Atau kamu lebih menyukai rasa mangga? Itu juga sangat lezat."

Bob terdiam mendengar pertanyaan lelaki tadi. Ia merasa sangat lelah dan kehilangan tenaga. Ia telah berjalan sangat cepat dan membawa begitu banyak permen lolipop yang terasa berat di dalam tas karungnya.

Tapi ada satu hal yang membuatnya merasa terkejut dan ia pun menjawab pertanyaan lelaki itu, "Permennya saya lupa makan!"


Tak berapa lama kemudian, Bib sampai di ujung jalan lembah permen lolipop.
"Hai, Bob! Kamu berjalan cepat sekali. Saya memanggil-manggil kamu tapi kamu sudah sangat jauh di depan saya."
"Kenapa kamu memanggil saya?" Tanya Bob.
"Saya ingin mengajak kamu duduk dan makan permen anggur bersama. Rasanya lezat sekali. Juga saya menikmati pemandangan lembah, Indah sekali!"
Bib bercerita panjang lebar kepada Bob.
"Lalu tadi ada seorang kakek tua yang sangat kelelahan. Saya temani dia berjalan. Saya beri dia beberapa permen yang ada di tas saya. Kami makan bersama dan dia banyak menceritakan hal-hal yang lucu. Kami tertawa bersama."
Bib menambahkan.


Mendengar cerita Bib, Bob menyadari betapa banyak hal yang telah ia lewatkan dari lembah permen lolipop yg sangat indah. Ia terlalu sibuk mengumpulkan permen-permen itu. Tapi pun ia sampai lupa memakannya dan tidak punya waktu untuk menikmati kelezatannya karena ia begitu sibuk memasukkan semua permen itu ke dalam tas karungnya.


Di akhir perjalanannya di lembah permen lolipop, Bob menyadari suatu hal dan ia bergumam kepada dirinya sendiri, "Perjalanan ini bukan tentang berapa banyak permen yang telah saya kumpulkan. Tapi tentang bagaimana saya menikmatinya dengan berbagi dan berbahagia."

Ia pun berkata dalam hati, "Waktu tidak bisa diputar kembali." Perjalanan di lembah lolipop sudah berlalu dan Bob pun harus melanjutkan kembali perjalanannya.


Dalam kehidupan kita, banyak hal yang ternyata kita lewati begitu saja. Kita lupa untuk berhenti sejenak dan menikmati kebahagiaan hidup. Kita menjadi Bob di lembah permen lolipop yang sibuk mengumpulkan permen tapi lupa untuk menikmatinya dan menjadi bahagia.


Pernahkan Anda bertanya kapan waktunya untuk merasakan bahagia?
Jika saya tanyakan pertanyaan tersebut kepada para klien saya, biasanya mereka menjawab, "Saya akan bahagia nanti... nanti pada waktu saya sudah menikah...nanti pada waktu saya memiliki rumah sendiri... nanti pada saat suami saya lebih mencintai saya... nanti pada saat saya telah meraih semua impian saya... nanti pada saat penghasilan sudah sangat besar... "


Pemikiran ?nanti' itu membuat kita bekerja sangat keras di saat ?sekarang'.
Semuanya itu supaya kita bisa mencapai apa yang kita konsepkan tentang masa ?nanti' bahagia.


Terkadang jika saya renungkan hal tersebut, ternyata kita telah mengorbankan begitu banyak hal dalam hidup ini untuk masa ?nanti' bahagia.
Ritme kehidupan kita menjadi sangat cepat tapi rasanya tidak pernah sampai di masa ?nanti' bahagia itu.
Ritme hidup yang sangat cepat... target-target tinggi yang harus kita capai, yang anehnya kita sendirilah yang membuat semua target itu... tetap semuanya itu tidak pernah terasa memuaskan dan membahagiakan.

Uniknya, pada saat kita memelankan ritme kehidupan kita; pada saat kita duduk menikmati keindahan pohon bonsai di beranda depan, pada saat kita mendengarkan cerita lucu anak-anak kita, pada saat makan malam bersama keluarga, pada saat kita duduk berdiam atau pada saat membagikan beras dalam acara bakti sosial tanggap banjir; terasa hidup menjadi lebih indah.


Jika saja kita mau memelankan ritme hidup kita dengan penuh kesadaran; memelankan ritme makan kita, memelankan ritme jalan kita dan menyadari setiap gerak tubuh kita, berhenti sejenak dan memperhatikan tawa Indah anak-anak bahkan menyadari setiap hembusan nafas maka kita akan menyadari begitu banyak detil kehidupan yang begitu indah dan bisa disyukuri.
Kita akan merasakan ritme yang berbeda dari kehidupan yang ternyata jauh lebih damai dan tenang.

Dan pada akhirnya akan membawa kita menjadi lebih bahagia dan bersyukur seperti Bib yang melewati perjalanannya di lembah permen lolipop.

Happy Birthday Har...semoga hidupmu penuh arti....