Wednesday, February 04, 2009

Hanya Pekikan Takbir .....

Palestina,..... ya,.. Alloh menghendaki aku terlahir di Palestina.
Negeriku, Palestina, darahku, Palestina. Aku terlahir di tengah desing
peluru dan aroma kematian. Aku tak tahu, mungkin saat aku dilahirkan,
tak jauh dari sisiku, ada saudaraku sesama anak Palestina yang meregang
nyawa dengan luka menganga di dada dan kepala akibat peluru yang
meghujam atau pecahan bom yang mendera.

Aku menangis saat dilahirkan, itulah garis hidupku, untuk menangis
diawal kehidupanku. Mungkin tak jauh dari sisiku, ada juga yang
menangis, ya, Ibu dari anak Palestina yang kehilangan anak akibat
kejamnya peperangan. Anak itu sudah tidak bisa lagi menangis, mana
mungkin, dia sudah terbujur kaku, tak berdaya dengan darah mengalir dari
luka yang pasti sakit tak terkira...

Ibuku, pasti tersenyum saat aku lahir ke dunia, meski aku yakin, ia tak
akan menampakkannya saat melalui lorong kematian di rumah sakit yang
penuh sesak dengan gelimpang korban anak Palestina. Ibuku, pasti
menangis jua, meski tertahan sesak di dada.

Ayahku, saat itu tak ada, kelak aku tahu bahwa saat aku memandang dunia,
dia tengah memandang kematian dengan sekedar batu melawan tank dan
tentara yang membabi buta, menyerang menggila. Aku beruntung, masih bisa
bertemu ayahku, meski pada akhirnya aku harus rela, ayahku kelak juga
terbujur di tengah deru pesawat tempur yang memuntahkan bom kemana saja,
di kota yang kucinta.

Gaza, itu tercatat dalam buku kelahiranku, aku terlahir di Gaza.

Masa kecilku, kulalui dengan mainan senjata dan perang-perangan, ya,
bagaimana tidak. Kotaku dikuasai pasukan asing bersenjata. Sesekali
kulihat senjata itu menyalak, memuntahkan isinya, ada gas air mata, dan
tentu ada yang peluru tajam meminta nyawa, warga Palestina, dan tak
jarang anak Palestina.

Aku melihat anak Palestina seusiaku, sudah berani melawan pasukan asing
meski hanya dengan ketapel kecil berisi sejumput batu yang tak berarti
apa jika mengenai tameng tentara atau besi kendaraan lapis baja. Mereka
berani tampil ke muka hingga ke dekat moncong senjata. Aku tak tahan,
akhirnya akupun ikut jua.

Aku senang, karena aku merasa sebagai pejuang, alias jagoan. Aku tak
takut, bukankah anak Palestina lain juga tidak takut ?

Aku belum berusia remaja sampai suatu saat kelak aku kehilangan kawanku
yang kulihat kerap melempar batu dan melontar ketapel tak
lelah-lelahnya, ya kelak ku tahu itu bernama Intifada. Kawanku menjadi
korban Intifada.

Lama kelamaan aku menjadi terbiasa, melihat dan mendengar kawan,
saudara, kerabat ataupun orang tak kukenal yang hilang atau tak tentu
semesta, kabarnya dibawa pasukan asing dimasukkan ke penjara gelap
gulita, atau tewas tak bernama. Aku terbiasa mengalami kehilangan, aku
terbiasa melihat dan merasakan derita, aku terbiasa melihat airmata dan
pasti aku terbiasa melihat warna merah mengalir dimana-mana.

Kata semua orang, kini kau sudah menjadi anak Palestina !.

Baru kutahu, anak Palestina berarti anak terjajah, yang harus
membebaskan negeri dari cerita kelam negeri yang terlunta. Dan baru
kutahu, Israel adalah negara yang dahaga atas tanah Palestina. Aku mulai
merasa, bahwa aku bermakna dan bangga menjadi anak Palestina.

___________________

Kini, di penghujung tahun, kudengar lagi deru mesin tempur berseliweran
di langit kotaku, kudengar dentuman membahana di sudut-sudut wilayah
permaiananku, kutatap kilatan cahaya mematikan menyilaukan pandangan
mataku disertai bunyi sirene di segala penjuru.

Pagi, siang dan malam terus berlanjut tak menentu, deru itu, dentuman
itu dan kilatan cahaya itu menyergap seluruh sisi hidupku. Kulalui hari
dengan berlari, berlindung dan bersembunyi dari serbuan tak menentu.

Aku tak tuli, kudengar tangisan dimana-mana, kudengar jerit teman
sebaya, Ibu-ibu Palestina menggendong anak dan orang tua paruh baya yang
terpaksa harus terpapah tanpa daya. Dan kudengar lenguh terakhir nyawa
di dada.

Aku tak buta, kulihat luka, kulihat jasad dimana-mana, kulihat merah itu
ada dan tak terkira, kulihat kotaku tak lagi indah mempesona. Dan
harapan itu sepertinya sirna.

Aku tak menangis, meski ayahku menjadi jasad tersisa di tengah gempuran
melanda kota. Tak ada lagi tangis, aku sudah terbiasa, seperti juga anak
Palestina lainnya.

Waktu itu tiba, kata orang mulai ada perang kota !

Aku berlindung dibalik reruntuhan bangunan rumah ibadah, aku lihat, ada
orang Palestina bersenjata, dengan tutup wajah dimuka, kutahu juga ada
remaja Palestina memanggul senjata. Mereka sigap, lincah, berlari ke
sudut-sudut tak terjamah, melawan pasukan asing yang menyerbu kedalam
kota. Aku tahu, mereka siap mati di tanah tercinta.

Ah, seandainya aku bisa melalui hari-hari ini, tanpa sebutir peluru
mengenai dada, tanpa pecahan bom menerpa kepala, mungkin aku tak-kan
lupa, ini catatan kelam manusia di tanah terjajah, Palestina.

Ya Rabbi, perkenankan aku menjadi remaja, agar aku bisa berlari membawa
bendera, berikat kepala, bolehlah juga bersenjata, apa adanya, melawan
pasukan asing sampai tetes terakhir itu tiba.

Kalau kau berbaik hati Ya Rabbi, ijinkan aku menjadi dewasa, agar aku
mengikat keras bendera di tiang dan sisa bangunan menjulang ke angkasa.
Kulekatkan ikat kepala, selekat jiwa dan raga, senjata, apapun bisa
kuguna, melawan hingga gelora di dada sirna bersamaan dengan hembusan
nafas yang tersisa.

Aku anak Palestina, selamanya Palestina...

Suara Hati Bocah Bocah Yang Terzalimi.....

Senyum Syuhada Gaza,










Alangkah agungnya seorang yang syahid… Di akhirat ia memperoleh kebesaran luar biasa. Dia tidak meninggalkan dunia ini kecuali dengan barisan yang mulia. Manusia menangis, sedangkan syahid tersenyum…

Kegembiraan melihat tempat tinggalnya di surga menyunggingkan senyum di bibir sang syahid, seperti yang kita lihat para Syuhada Gaza diatas berikut.

Faris Audah, Pelopor Perjuangan Anak-Anak




Siapa tak kenal Palestina. Negeri tersubur dengan darah syuhada. Sesubur minyak pohon zaitun, yang tumbuh di seantero negeri ini. Lebih dari tujuh dekade ( sejak tahun 1948 ) kafilah syuhada terus bertambah panjang, tiada henti di negeri para Nabi.

Berlembar-lembar cerita seputar syuhada, luka, duka, nestapa, air mata …. Ada yang tersimpan dan tercatat. Namun, jauh lebih banyak lagi yang tercecer. Hanya tercatat pada lembaran Mahkamah Ilahi.

Di antara jejak perjuangan Palestina yang terabadikan adalah sepak terjang Faris Audah. Bocah Palestina berusia 11 tahun ini dengan gagah melempari tank Israel dengan batu dalam jarak 10 meter persis di hadapan moncongnya. Tank Israel memang tidak rusak sedikitpun. Tapi bukan itu pesan bocah Palestina kepada Israel dan dunia. Pesannya adalah “Hanya ada satu kata: Lawan.”

Faris Audah pun menjemput syahadah pada malam harinya. Setelah komandan pasukan Israel memerintahkan menggeledah seluruh rumah untuk menangkap dan menghabisi Audah, sang bocah pemberani. Mereka berfikir panjang; membiarkan Faris tumbuh dewasa adalah memelihara bom waktu bagi Israel. Faris berpotensi menjadi sosok pejuang handal, seperti Imad Aqil, Yahya Ayyasy dan Mahmud Abu Hannud.

Foto Faris kini tersebar ke penjuru dunia. Ia menjadi salah satu tonggak perlawanan jihad anak-anak Palestina. Faris tidak sendiri. ‘Adik-adiknya’ pun melakukan langkah-langkah yang sama. Seperti satu kisah nyata lainnya. Sang kakak (5 tahun) diajak berdemo melempar batu oleh adiknya (berumur 3 tahun). Perlawanan Palestina memang tidak main-main.