Monday, July 10, 2017

Tentang Islam yg ditulis politisi Jerman

Penulis 10 tesis yang mencengangkan tentang Islam ini adalah seorang politikus dari partai CDU (Kristen-Demokrat) yang pernah 18 tahun duduk di parlemen Jerman, namanya Jürgen Todenhöfer. Dia telah membaca seluruh isi Al Quran, lalu kemudian membaca ulang, mengamati dan berpikir.

Todenhöfer lalu menulis sebuah buku bertajuk “Feinbild Islam – Zehn Thesen gegen Hass” (Potret Buruk Islam – Sepuluh Tesis Anti Kebencian”), yang terbit di akhir tahun 2011.

Berikut ringkasan dari 10 Tesis yang mencengangkan tentang Islam yang ditulisnya

1. Barat Lebih “Brutal“ dari Dunia Islam

Todenhöfer, dalam tesis pertama, mengingatkan fakta sejarah yang sering terlupa di dua abad terakhir. Barat jauh lebih brutal daripada dunia Muslim. Jutaan warga sipil Arab tewas sejak kolonialisme dimulai. Atas nama kolonialisasi, Prancis pernah membunuh lebih dari dua juta penduduk sipil di Aljazair, dalam kurun waktu 130 tahun. Atas nama kolonialisasi, Italia pernah menggunakan phosphor dan gas mustard untuk menghabisi penduduk sipil di Libya. Atas nama kolonialisasi, Spanyol juga pernah menggunakan senajata kimia di Marokko.

Tidak berbeda di era setelah perang dunia kedua. Dalam invansi perang Teluk kedua, semenjak tahun 2003, UNICEF menyebutkan, 1,5 juta penduduk sipil Irak terbunuh. Sepertiganya anak-anak. Tidak sedikit dari korban terkontaminasi amunisi uranium. Di Baghdad, hampir setiap rumah kehilangan satu anggota keluarganya.

Sebaliknya, di dua abad terakhir, tidak satu pun negara Islam menyerang, mengintervensi, mengkolonialisasi Barat. Perbandingan jumlah korban mati (dunia Islam: dunia Barat) adalah 10:1. Problema besar dunia, di dua abad belakangan ini, bukan kebrutalan Islam, tapi kebrutalan beberapa negara-negara Barat.

2. Mempromosikan Anti-Terorisme Justru Melahirkan Terorisme

Terorisme jelas tidak dibenarkan. Menilik secara objektif, terorisme justru lahir dari politik anti-terorisme Barat yang keliru.

“Seorang pemuda muslim,” tulis Todenhöfer, “yang secara rutin memantau berita di televisi, hari demi hari, tahun demi tahun, akan situasi di Irak, Afghanistan, Pakistan, Palestina dan di tempat lain, di mana perempuan, anak-anak dan penduduk sipil, dihabisi oleh Barat dengan brutal, justru diprovokasi untuk menjadi seorang teroris.”

Beruntung saja, sebagian besar pemuda Islam tidak terpancing. Mereka memilih jalan yang berbeda. Di Tunisia, Mesir, Libya, Marokko, dan negara-negara muslim lainnya, mereka menjawab ketidak-adilan yang menimpa mereka melalui jalan demokrasi dan teriakan kebebasan, bukan teror dan kekerasan.

3. Terorisme: Fenomena Dunia, Bukan Fenomena Islam

Pemeo favorit di setiap diskursi bertemakan terorisme: “Tidak setiap muslim teroris, tapi seluruh teroris adalah muslim.” Selain jauh dari benar, dengan data dan fakta, propaganda ini mudah dipatahkan.

Data resmi Badan Kepolisian Eropa, Europol, menyebutkan: Dari 249 aksi teror di tahun 2010, hanya tiga yang pelakunya berlatar belakang Islam. Bukan 200, bukan 100 – tapi tiga! Data di tahun-tahun sebelumnya, juga tidak kalah mengejutkan: Dari 294 aksi terror di tahun 2009, hanya satu yang berlatar belakang Islam. Hanya satu dari 515 aksi teror di tahun 2008. Hanya empat dari 583 di tahun 2007.

4. Hukum Internasional untuk Semua

Di hadapan hukum internasional, dunia Barat selalu mentematisir, dan merekam dengan baik, 3.500 korban terorisme yang jatuh atas nama “teror-Islam“ semenjak pertengahan 1990-an (termasuk korban WTC, pada 11/9). Tapi mengapa ratusan-ribu warga sipil yang terbunuh dalam intervensi di Irak tidak pernah ditematisir?

Lebih jauh, Todenhöfer bertanya kritis: “mengapa elite Barat, tidak pernah sekalipun menimbang; membawa George W. Bush dan Tony Blair ke hadapan mahkamah internasional, atas serangan sepihaknya ke Irak? Apakah hukum internasional hanya berlaku untuk orang-orang non-Barat?“.

Perang, bukan jawaban untuk aksi-aksi terorisme. Perang, hanya manis untuk mereka yang tidak mengenalnya. Teroris yang membunuh orang-orang tidak berdosa, bukanlah pejuang kebebasan, bukan pahlawan, bukan pula syuhada. Mereka mengkhianati agama mereka. Mereka adalah pembunuh.

5. Muslim, Toleransi dan “Perang Suci“

Bukan Muslim, yang atas nama kolonialisasi membunuh 50 juta nyawa di seantero Afrika dan Asia. Bukan Muslim, yang atas nama perang dunia pertama dan kedua menghabiskan 70 juta nyawa. Bukan pula Muslim, yang menggencarkan genosida terhadap 6 juta orang-orang Yahudi.

Islam tidak mengenal kata suci dalam kaitannya dengan perang. Jihad bermakna sungguh-sungguh di jalan Tuhan. Tidak ada satu tempat pun di Quran yang memaknakan jihad dengan perang suci. Karena perang tidak pernah suci, dan kesucian hanya ada di jalan perdamaian.

6. Kontekstual Quran dan Islam-Teroris

Permasalahan besar dalam perdebatan Quran di dunia Barat, adalah setiap orang bernafsu membicarakannya, sangat-sangat sedikit yang pernah membacanya.

Sebagian besar mereka tidak lagi rasional dan ilmiah. Hanya mengutip beberapa tekstual yang mengesankan islam pro “perang” tanpa pernah mau tahu konteksnya. Padahal pesan-pesan Quran yang dikesankan seperti itu, spesifik diterima Muhammad, dalam konteks perlawanan antara penduduk Mekkah dan Madinah, waktu itu.

Seperti Musa dan Isa, Muhammad tidak dilahirkan pada situasi dunia yang sedang vakum, apalagi damai. Mereka hadir pada saat moralitas dunia bobrok, penuh perang, perjuangan dan perlawanan. Adalah sangat lumrah beberapa tekstual yang terkesan pro “perang” itu bisa ditemukan di Quran, semudah bisa ditemukan di kitab Perjanjian Lama dan kitab Perjanjian Baru.

Secara semantis, diksi “islam-teroris”, “kristen-teroris” atau “yahudi-teroris” adalah sebuah penyesatan bahasa. Terorisme, menurut Todenhöfer, berdiri di atas instrumen setan, tidak boleh dikaitkan dengan kesucian Tuhan dan keagamaan. Memang benar, di dalam Islam, Kristen, atau Yahudi ada ideologi teror – tapi bukan ajaran agamanya. Ideologi ini tidak mengantarkan mereka ke surga, tapi ke neraka.

7. Fakta atau fake?

Kalimat andalan kritikus anti-Islam di barat: “siapa yang menginginkan panggilan azan terdengar di kota-kota kami, harus membiarkan juga lonceng gereja berbunyi di kota-kota mereka!” Padahal nyatanya: Di Teheran, semisal, berdiri banyak gereja. Loncengnya berbunyi tidak jarang, dan tidak pelan. Lebih jauh, anak-anak kristen memiliki pelajaran agamanya sendiri (sesuatu yang luxus untuk anak-anak muslim di Barat).

Barat mengidentifikasi jilbab sebagai simbol pengekangan dan ketertindasan. Dari survey resmi, wanita-wanita pemakai jilbab, yang begitu dipedulikan barat itu, justru berkata bukan (atas kesadaran pribadi). Sinisme jilbab, sebagian besar justru datang dari mereka yang tidak berjilbab dan anti-jilbab. Memaksa seseorang berjilbab, jelas menyalahi hak asasi. Tidak jauh berbeda, dari prosesi pemaksaan untuk melepasnya.

Barat menuduh perempuan-perempuan islam tidak berpendidikan. Fakta dari dunia islam menjawab lain. Secara statistis, perempuan di negara-negara mayoritas islam, justru lebih berpendidikan dibanding Barat: 30% Profesor di Mesir perempuan, padahal di Jerman jumlahnya hanya sekitar 20%. Lebih dari 60% mahasiswa di Iran adalah perempuan. Di Uni Emirat Arab, sudah semenjak tahun 2007, mahasiswa perempuan menginjak angka yang sulit dipercaya: 77%.

8. Seorang Muslim = Seorang Yahudi = Seorang Kristen

Tidak ada seorang bayi pun terlahir sebagai seorang teroris. Barat harus memperlakukan seorang Muslim, persis seperti seperti mereka memperlakukan seorang Kristen atau Yahudi.

Tidak jarang kita dengar politikus dan aktivis Barat, demonstratif, mengumbar kalimat penuh kebencian terhadap Islam. Frank Graham, penasehat George W. Bush, menyebut Islam sebagai “agama iblis dan sihir”. Politikus kanan Belanda, Geert Wilders, menyebut Islam sebagai “agama fasis”. Thilo Sarrazin, politikus Jerman memberikan thesis: “secara genetis, anak-anak dari keluarga Islam, dilahirkan di bawah tingkat kecerdasan rata-rata.”

Bayangkan sejenak, jika Frank Graham, Greet Wilders, dan Thilo Sarrazin mengganti objek tesis-nya bukan kepada “Islam”, tetapi menjadi “Yahudi” atau “Kristen”. Tidakkah ucapan seperti itu akan menjadi badai kemarahan yang dahsyat? Mengapa Barat boleh mengatakan hal-hal penuh fasistik dan rassist terhadap Islam, yang justru di kalangan orang-orang Kristen dan Yahudi sesuatu yang tabu? Barat harus mengakhiri demonisasi Islam dan Muslim.

9. Muslim Melawan Teror

Di tesis kesembilan, Todenhöfer mengajak umat Islam, melalui sebuah reformasi sosial, menjejak Nabi Muhammad yang berjuang untuk sebuah Islam yang beradab dan toleran. Untuk tatanan ekonomi dan politik yang dinamis, bukan statis – sambil mempertahankan identitas keagamaannya. Untuk persamaan yang penuh, pria dan wanita. Untuk kebebasan beragama yang nyata.

Tidak seperti politikus umumnya, Muhammad, bukan seorang reaksioner. Dia adalah seorang revolusioner, berani berpikir dan berani mematahkan belenggu tradisi. Islam di masa Muhammad bukanlah agama stagnan, apalagi regresif, tetapi pembaruan dan perubahan. Muhammad berjuang untuk perubahan sosial, ia pahlawan orang miskin dan orang lemah. Dia mengangkat hak-hak kaum perempuan, yang di periode sebelumnya nyaris tidak ada.

Muhammad bukan seorang fanatik atau seorang ekstrimis. Dia hanya ingin membawa orang-orang Arab, yang kala itu terjebak pada belenggu politeistik, untuk kembali ke sumber aslinya yang murni, agama Ibrahim, persis seperti yang disuarakan Musa dan Isa.

Terorisme, yang berada di sekelumit dunia Islam pada hari ini adalah distorsi ajaran Muhammad. Ini adalah kejahatan melawan Islam. Dunia Islam tidak boleh membiarkan citra baik Islam, yang dibangun Muhammad 14 abad yang lalu, dihancurkan seketika oleh ideologi kriminal ini. Dunia Islam perlu memerangi ideologi terorisme ini, persis seperti Muhammad memerangi berhala-berhala dari periode pra-Islam.

10. Politik Bukan Perang

Kalimat bijak pernah mengajarkan: “ketika kamu tidak bisa menaklukan musuhmu, peluk dia!”

Masalah kompleks di Timur tengah, hanya bisa diselesaikan dengan jalur politik, bukan dengan perang. Barat harus membuka pintu diskusi yang lebih lebar untuk dunia Islam. Barat harus membuka ruang bilateral dan unilateral lebih besar untuk negara-negara Arab. Kesatuan dan stabilitas yang perah terjadi di Uni Eropa, nyatanya, tidak berdiri di atas invansi senjata, tapi di atas politik diplomatisasi yang penuh visi.

Sebuah visi akan sebuah dunia, yang setiap negara di dalamnya dihargai. Sebuah penghargaan yang tanpa diskriminasi. Politik anti-diskriminasi yang dibangun di atas keadilan dan kebebasan, bukan perang, apalagi penindasan. [mc]

Oleh: Yudi Nurul Ihsan
Mahasiswa S3 di Jerman

http://www.ngelmu.id/10-tesis-mencengangkan-tentang-islam-yang-ditulis-politisi-jerman/#

Sunday, July 02, 2017

SIKAP PERTENGAHAN DAKWAH IKHWAN

(Tanggapan untuk Ustadz Syafiq Reza Basalamah)
Oleh: Muhammad Zulifan

Baru-baru ini ramai pernyataan Ust Dr. Syafiq Reza Basalamah, ustadz kondang Salafy yang menyebut ISIS lahir dari Jamaah Ikhwanul Muslimin (IM). Dalam ceramahnya yang disiarkan HanTV dan HangFM pada 18 Oktober 2016, ia menyatakan bahwa ISIS dulunya adalah Al-Qaidah. Sedang munculnya Al-Qaidah tidak jauh dari kelompok yang menjadi Ibu dari berbagai kelompok yakni Ikhwanul Muslimin.

Sontak pernyataan tersebut mendapat banyak kecaman dari aktivis dakwah di tanah air. Bagi mereka, ikhwan adalah model moderasi dakwah yang melebur ke dalam sistem sosial budaya dan ketatanegaraan. Aktivis dakwah ikhwan senantiasa aktif dalam kegiatan sosial masyarakat hingga banyak yang menjadi anggota parlemen, gubernur dan walikota serta memiliki jariangan organisasi social paling luas. Tentu jauh dari kata ekstrim.

Pernyataan ustadz Basalamah ini dinilai bernuansa politis sebab sudah beberapa lama sejak era Raja Abdullah berkuasa, Arab Saudi memasukkan Ikhwanul Muslimin dalam daftar organisasi teroris. Lebih-lebih peristiwa Embargo Arab Saudi dkk atas Qatar baru-baru ini dengan tuntutan utama mengusir aktivis ikhwan dari Qatar atas tuduhan  organisasi teroris.

Narasi Integral Dakwah Ikhwan

Ikhwanul Muslimin (popular dengan nama Ikhwan) merupakan salah satu gerakan Islam terbesar di dunia yang didirikan Hasan Al-Banna tahun 1928 di Mesir. Di tanah air, ideologi gerakan ini menjadi inspirasi kaum Tarbiyah yang aktivisnya menyebar di seluruh elemen masyarakat dan negara.

Gerakan Ikhwan mempunyai ideologi organisasi yang disebut Amin Rais (1987) sebagai the total conception of ideology. Menurut manhaj Ikhwan, Islam dipandang sebagai sistem serba inklusif yang mencakup realitas komprehensif; rangkaian yang penuh semangat dan tekad mengubah cara hidup yang menyeluruh. Islam sebagai ideologi meliputi seluruh kegiatan hidup manusia di dunia,  sehingga merupakan doktrin, ibadah, tanah air, kewarganegaraan, agama, negara, spriritualitas, aksi, al-Quran dan militer.

Doktrin kelengkapan dakwah (syumuliyah) gerakan Ikhwan lebih lanjut dapat dirujuk melalui buku Manhaj Ishlah (Dr. Mursiy Ramadhan, 2014). Disebutkan di dalamnya bahwa Ikhwan menegaskan dakwahnya sebagai Dakwah Salafiyah (mengikuti generasi salafusshalih), Thariqah Sunniyah (kelompok ahlussunnah), Hakikah Suffiyah (berjiwa sufi), Haiah Siyasiyah (lembaga politik), Jamaah Riyadhiyah (klub olahraga), Rabithah Ilmiyah Tsaqafiyah (lembaga wawasan ilmiah), Syarikah Iqtishadiyah (persyarikatan ekonomi), Fikrah Ijtima’iyah (pemikiran sosial).

Berdasar konsep inilah gerakan ikhwan berusaha mengumpulkan serpihan puzzle-puzzle kebaikan umat Islam yang terserak selama 14 abad keberadaannya ke dalam sebuah manhaj yang inklusif untuk bersatu membangun peradaban dunia yang lebih adil.

Menariknya, unsur ajaran sufi (tasawuf) diterima Ikhwan sebagai salah satu ijtihad ulama dalam upaya mensucikan jiwa dari penyakit hati dan kesombongan. Faktor inilah yang menjadikan dakwah Ikhwan lebih soft dan tidak mudah menyalahkan jamaah lain. Berbeda dengan gerakan Salafi dimana sufi dianggap sebagai unsur bidah yang merusak akidah, meski sebenarnya solusi sifat keras kaum Salafi berada di ajaran tasawuf.

Seorang muslim yang belajar tasawuf akan dididik untuk senantiasa berhati lembut dan merendah di hadapan muslim lain. Ia senantiasa menyadari dirinya penuh dosa, sehingga memandang orang lain lebih mulia darinya. Lain halnya dengan Salafi, ketika seseorang masuk ke pengajiannya, maka ia akan didoktrin bahwa manhaj merekalah yang paling lurus sesuai ajaran salafus shalih, sedang jamaah selain mereka bid’ah dan harus diluruskan. Alhasil, urusan melabel muslim lain menjadi salah satu spesialisasi dakwah Salafi. Wajar jika di lapangan akhirnya mereka cenderung menyalahkan meski hal itu sebenarnya perkara khilafiyah.

Sikap Ikhwan Terhadap Jamaah Lain

Bagi gerakan Ikhwan, keragaman jamaah minal muslimin dianggap sebagai keragaman yang bersifat variatif dan spesialisasi, bukan keragaman yang bersifat kontradiktif. Tidaklah ada kelebihan satu jamaah dengan jamaah lainnya, kecuali semuanya saling melengkapi. Ikhwan menegaskan bahwa jamaahnya adalah jamaah ijtihadiyah, sebagaimana jamaah-jamaah Islam lainnya yang mempunyai potensi benar dan salah yang sama dalam bertindak.

Konteks Indonesia, Ikhwan (lebih dikenal dengan kaum Tarbiyah) mempunyai kesamaan dengan Nahdatul Ulama (NU) dalam unsur tasawuf. Baik NU maupun Ikhwan, keduanya mengakomodir Aqidah, Fiqih dan Tasawuf dalam manhajnya. Sebagaimana Al-Azhar, Ikhwan menerima akidah Asyariyah dan fikih Syafi’i yang dianut NU. Bahkan Hasan Al-Banna sendiri mengikuti tarekat Sufi Hasafiyah di Mesir. Yang membedakan keduanya adalah sanad pemikiran. Ikhwan mempunyai sanad ulama Mesir Abad 20, sedangkan NU sanadnya ke Ulama-ulama di Makkah abad 18-19. Alhasil, bila corak keislaman Ikhwan cenderung ke salaf, maka corak keislaman NU cenderung ke tasawuf.

Kesamaan Tarbiyah dan Muhammadiyah lebih ke arah gerakan kemasyarakatannya (fikroh ijtimaiyyah) dimana keduanya mempunyai amal usaha sosial baik sekolah, Rumah sakit, lembaga Zakat hingga lembaga keuangan. Tidak seperti HTI ataupun Salafi yang menjauhi aktivitas sosial kemasyarakatan, Ikhwan (sebagaimana Muhammadiyah) giat menjadi penggerak utama sendi-sendi kehidupan bermasyarakat seperti menjadi pengurus RT, Karang Taruna, hingga jabatan sosial lainnya. Hal inilah yang menjadi sebab adanya gesekan antara keduanya, lebih-lebih dalam ranah politik praktis (demokrasi).

Yang membedakan dengan Muhammadiyah adalah faktor internasionalisme Islam. Faktor internasionalisme inilah yang menjadi titik persamaan Ikhwan dengan Hizbut Tahrir (HT). Meskipun Manhaj Ikhwan tidak secara spesifik merujuk salah satu bentuk negara maupun bentuk khilafah, Ikhwan mencita-citakan bahwa umat Islam di kemudian hari akan menjadi ustadziatul ’alam (pemimpin peradaban dunia).

Unsur pemahaman salaf menjadi kesamaan Ikhwan dengan kaum Salafi. Bedanya, Salafi tidak mempunyai doktrin sosial-politik atau metode mengishlah negara, namun sekedar penekanan untuk senantiasa taat pada ulil amri bagaimanapun keadaannya pemimpin, selama ia masih sholat dan apapun bentuk pemerintahannya. Corak ketaatan mutlak pada ulil amri tersebut terpengaruh oleh sejarah negara Saudi yang membagi otoritas agama untuk Muhammad ibn Abdul Wahhab (ulama) dan otoritas politik untuk Raja (Bani Saud).

Gerakan Salafi dinilai jumud karena mengadopsi pemahaman generasi salaf yang hidup di jazirah Arab ribuan tahun lalu tanpa memisahkan mana yang tsawabit (permanen) dan mana yang mutaghayyirat (dinamis) dalam konteks social-budaya masyarakat Indonesia. Mereka mempraktekkan secara letterlijk apa-apa yang ada di masa Salaf hingga ke ranah sosial budaya dan politik sekalipun. Dalam prakteknya, cara merujuk generasi Salaf tersebut didasarkan atas penafsiran para ulama Arab Saudi seperti Syaikh Nasiruddin al-Albani, Syaikh Bin Baz, Syaikh Utsaimin, Syaikh Fauzan, dst. Alhasil, pandangan Sosial-Politik kaum Salafi justru pada akhirnya mengikuti konteks masyarakat Arab Saudi yang sama sekali berbeda dengan kondisi sosial-politik Indonesia. Di Arab Saudi, seluruh aspek kehidupan di atur negara hingga imam masjid pun ditunjuk dan digaji kerajaan. Tugas rakyat hanya satu; patuh pada perintah Raja.

Tak heran jika pandangan sosial-budaya kaum Salafi menyalahi budaya Nusantara seperti penolakan mereka terhadap adat-istiadat masyarakat Indonesia, seni budaya termasuk tembang macapat (lagu), wayang dan sarana budaya lainnya yang digunakan Walisongo dalam mengislamkan pulau Jawa. Yang paling kentara adalah cara berpakaian mereka dengan berpakain ala Arab Saudi; gamis bagi laki-laki dan pakaian kurung panjang serba hitam bagi kaum wanitanya. Ikhwan lebih asertif terhadap budaya lokal. Doktrin sosial Ikhwan menjadikan mereka aktif di semua lini masyarakat dan negara, serta terbuka terhadap budaya lokal seperti membiasakan berpakaian batik dan peci dalam aktivitas keseharian para kaum tarbiyah di tanah air.

Dakwah Ikhwan mengadopsi unsur-unsur kebaikan yang ada di semua jamaah dan berusaha menjadi penengah. Tidak salah jika Ikhwan mendefinisikan gerakannya universal, komprehensif, manhajnya integral dan menyeluruh, senantiasa berusaha untuk menjauhi titik-titik khilafiyah, bersifat wasatiyah (pertengahan), positif terhadap alam, manusia dan kehidupan, Realistis ketika berinteraksi dengan individu dan masyarakat, mengutamakan akhlak dan kesantunan dalam tujuan-tujuan, misi dan sarana, serta dakwah yang logis dan diterima masyarakat (Manhaj Ishlah: 95-105).

Karena menganut dakwah yang logis inilah, gerakan Ikhwan akan bisa menerima demokrasi dan konsep nation state dan menganggapnya sebagai ijtihad ulama di negara bersangkutan.

Moderasi Ikhwan dalam Melihat Konsep Negara (Nation State)

Alkisah, ada kuda milik bersama penduduk desa yang terluka, mengamuk tak dapat dikendalikan hingga merusak lahan pertanian. Orang pertama bersikap ingin membunuh kuda itu segera meski kuda tersebut satu-satunya yang dimiliki warga satu desa. Orang kedua bersikap acuh tak acuh dengan membiarkan kuda berkeliaran dan merusak tanaman, karena ia senantiasa yakin perangkat desa dan pak hansip senantiasa sigap menangkap. Sedang orang ketiga ingin menangkap, mengobati, menjinakkan kuda hingga bisa dikendalikan untuk kembali bisa digunakan mengangkut beban warga dan untuk kemaslahatan seluruh penduduk desa, meski ia kadang harus terdepak kaki kuda, terciprat darah dan kotoran.

Orang pertama dalam kisah di atas mewakili kelompok HTI dalam melihat konteks nation state (NKRI), orang kedua adalah Salafi dan ketiga adalah kaum Tarbiyah (Ikhwan).

Sebagai gerakan yang memilih wasathiyah (pertengahan) dalam manhajnya, ikhwan senantiasa melihat konteks UU yang berlaku di sebuah Negara (Manhaj Ishlah: 104). Maka jika dilihat, gerakan ini adalah gerakan yang paling asertif menyikapi kondisi tiap negara. Mereka tidak akan teriak tegakkan syariat atau revolusi sekarang juga, karena hal tersebut bertentangan dengan manhaj dakwahnya yang mensyaratkan nilai logis dan diterima masyarakat. Dalam konteks ini, amat logis jika di daerah konflik seperti Palestina dan Suriah mereka akan mengangkat senjata (sebagaimana RI saat era kemerdekaan). Namun di negara-negara damai seperti Indonesia, mereka akan berjuang berdasarkan UU yang berlaku. Hal ini berbeda dengan HTI yang di tiap negara slogannya sudah satu: tegakkan khilafah. Sedang Salafi akan senantiasa menyerukan pemurnian akidah sebagai satu-satunya solusi umat.

Sebagaimana para pemikir politik Islam pada umumnya, Ikhwan tidak memberikan preferensi tententu apakah sebuah negara harus berbentuk khilafah, republik atau kerajaan. Asalkan nilai-nilai esensi ajaran Islam dapat direalisasikan, apapun bentuk pemerintahan dapat diterima secara syariah. Namun tetap adanya institusi negara yang pro Islam menjadi penekanan mereka. Sebagaimana disinggung Ibnu Taimiyah yang menyatakan bahwa nilai-nilai dan tata sosial Islam tidak akan terealisasi secara ideal tanpa negara.

Soal kudeta, Ikhwan memandang bahwa pembentukan pemerintahan Islam tidak bisa dilakukan dengan aksi kekerasan. Karenanya, Ikhwan menolak manhaj kudeta dan revolusi serta model manhaj memberontak terhadap pemerintah. Cara revolusi dekonstruksi dan meledaknya titik-titik tekanan, tersulutnya permusuhan dan pemberontakan antar kelompok hanya akan melumpuhkan potensi umat. Pada gilirannya yang akan menggulingkan pemerintah dan menguasainya orang yang punya kecederungan dan kekuatan paling besar dalam memanfaatkan situasi kacau dan persaingan (Manhaj Ishlah: 183).

Ikhwan juga menolak kelompok yang hanya melihat kekuatan militer sebagai obsesi yang paling besar untuk melenyapkan kebathilan, sebagaimana dianut HTI yang percaya bahwa thalabun nusroh yakni merebut kekusasaan dengan jalan revolusi dan kekuatan militer sebagai jalan menegakkan cita-cita mereka; khilafah. Perubahan yang diinginkan Ikhwan adalah perubahan yang alami, gradual, integral tidak parsial serta mematuhi undang-undang-undang di masyarakat. Karenanya Ikhwan menolak aktivitas politik praktis dengan penuh ambisi dan melupakan sisi-sisi yang lain yang jauh lebih penting yakni memulai dengan pembentukan, tarbiyah serta aktivitas pemikiran dan sosial. Bagi gerakan Tarbiyah, cita-cita menegakkan nilai-nilai Islam dimulai dengan memperbaiki individu, kemudian perbaikan keluarga, dari keluarga akan terbentuk masyarakat yang Islami, hingga ke ranah negara dan akhirnya terbentuk tatanan dunia yang lebih adil (Manhaj Ishlah:43). Dari sinilah nama Tarbiyah (pendidikan) berasal, dimana mereka memfokuskan pembentukan individu yang paripurna melalui serangkaian pembinaan terarah dan terstruktur secara rapi dan rigid.

Ikhwan juga menerima demokrasi sebagai sebuah ijtihad manusia dalam mengatur negara, meski dengan berbagai catatan. Tokoh Ikhwan terkemuka Dr. Yusuf Qaradhawi (1997) berpendapat bahwa substansi demokrasi sejalan dengan Islam karena Islam dan demokrasi sama-sama menolak diktatorisme. Dalam Islam terdapat konsep penyelenggaraan kekuasaan dengan prinsip amanah, musawah (persamaan), ‘adalah, syuro, ijma’, dan baiat. Prinsip demokrasi dalam al-Quran begitu kuat. Yang diperlukan adalah reformulasi dan reinterpretasi.

Argumen yang menunjukkan kesesuaian Islam dan demokrasi adalah penolakan Islam terhadap kediktatoran Namrudz dan Firaun (QS. al-Baqarah:258 dan ad-Dukhan:31); pemilu sebagai kesaksian rakyat (al-Baqarah 282-283), pengecaman terhadap rakyat yang hanya membebek saja (QS. Al-Qashash: 8, 24), negara Islam menjunjung tinggi toleransi dan pluralitas sebagai sunnatullah (QS. al-Baqarah 256, Huud:118 Yunus: 99).

Dr. Yusuf Qardhawi memandang sah aksi demostrasi sebagai sarana menyampaikan aspirasi masyarakat yang dijamin UU negara. Ia juga berfatwa bolehnya menurunkan pemimpin yang dzalim. Kedua sikap inilah yang kemudian hari menjadikan Arab Saudi melarang semua buku-bukunya karena mengancam eksistensi kerajaan.

Madzhab Kelima

Manhaj Ikhwan begitu asertif terhadap madzhab lain. Dakwahnya senantiasa berusaha untuk menjauhi titik-titik khilafiyah dan bersifat wasathiyah (pertengahan). Bahkan ada yang menyebut sikap keislaman kaum tarbiyah ini sebagai madzhab baru yang berusaha menyatukan perbedaan 4 madzhab yang ada, dimana ia sangat luwes akan keragaman madzhab fikih. Saat sholat di belakang imam yang membaca qunut, maka orang Tarbiyah akan mengikuti imam dengan menengadahkan tangan seraya membaca qunut. Jika bersama imam yang tidak qunut pun mereka tidak keberatan untuk mengikuti. Bandingkan dengan orang Muhamamdiyah yang saat sholat dibelakang imam yang baca qunut, ia tetap istiqomah untuk tidak membaca qunut.

Dalam sholat tarawih, jika NU dan Muhhammadiyah masih bersikeras soal jumlah rakaat tarawih, maka kaum tarbiyah menerima keduanya dan melaksanakan sholat sesuai kebiasaan masjid di lingkungannya. Sikap yang jauh dari fanatisme madzhab sesuai prinsip dakwahnya yakni dari permasalahan-permasalahan furu’ dan parsial menuju permasalahan mendasar dan universal, dari perpecahan dan perseteruan menuju persatuan dan perpaduan (Manhaj Ishlah: 106).

Lebih lanjut saat menjadi pengurus masjid, orang Tarbiyah lebih asertif terhadap berbagai kegiatan masyarakat lintas jamaah seperti acara tahlilan atau peringatan Hari Besar Islam. Hal yang sama tidak mungkin terjadi saat pengurus masjidnya orang Salafi. Semua kegiatan akan dilarang dengan dalil acara dan peringatan tersebut tidak diajarkan Nabi dan merupakan perkara bid’ah. Dakwah Tarbiyah menolak mengkafirkan manusia dan berlaku ekstrem kepada mereka dengan pengingkaran dan ancaman. Namun berupaya menjadi qudwah, berbuat baik kepada mereka dan melakukan perbaikan secara bertahap, berusaha menyatukan hati dan persatuan umat serta tidak menyulut kebencian diantara mereka. (Manhaj Ishlah:188)

Jika Muhammadiyah senantiasa bersikukuh atas metode hisab wujudul hilal -nya meski bertentangan dengan pemerintah dalam menentukan hari raya, maka tidak bagi kaum Tarbiyah. Mereka akan dengan setia menunggu pengumumam resmi dari pemerintah sebelum melaksanakan takbir dan berhari raya. Mereka memilih berlebaran bersama pemerintah dan mayoritas kaum muslimin. Hal ini sebagaimana doktrin gerakan Tarbiyah dimana Ikhwan menghormati aspirasi umat dengan sebenarnya, membiarkan ijtihad sesuai tuntutan zamannya, menjunjung tinggi keinginan umat walaupun berbeda dengan pandangan ikhwan, maka ikhwan memilih mengalah dan berjalan beriringan bersama umat (Manhaj Ishlah:200).

Antara Manhaj Salafi dan Manhaj Muluki

Salaf merupakan generasi Islam yang hidup pada tiga abad pertama Islam, dari para shahabat Rasulullah SAW, tabi’in (muridnya shahabat) dan tabi’ut tabi’in (muridnya tabi’in). Dalam sebuah hadits Nabi menyatakan, “Sebaik-baik umatku adalah pada masaku. Kemudian orang-orang yang setelah mereka (generasi berikutnya), lalu orang-orang yang setelah mereka.” (Shahih Al-Bukhari, No. 3650).

Sedangkan Salafi adalah sekelompok umat Islam (jamaah minal muslimin) yang terinspirasi oleh pemikiran seorang tokoh bernama Muhammad ibn Abdul Wahhab. Jamaah ini kemudian hari menisbatkan namanya pada generasi Salaf.

Penisbatan nama Salaf menjadi nama jamaah (Salafi) tersebut di kemudian hari menjadi masalah serius karena para pengikutnya memaknai kata Salafi secara diametral dengan nama jamaah di luar mereka; kami penerus generasi Salaf sedang yang lain tidak. Berbeda dengan jamaah Muhammadiyah misalnya (secara terminologi bermakna pengikut Nabi Muhammad), nama tersebut tidak menjadikan mereka menganggap jamaah lain bukan pengikut Nabi Muhammad SAW. Bagaimanapun, penamaan Salafi hanyalah ijtihadiyah yang bisa benar di satu hal, bisa pula tidak sesuai di hal lain. Begitu pula penamaan jamaah-jamaah Islam lainnya.

Turunan dari kesalahan paradigma eksklusif tersebut kemudian memunculkan fabrikasi istilah-istilah yang mendeskreditkan kaum muslimin di luar mereka. Sebagaimana yang ramai baru-baru ini kata “dakwah sunnah”, “ustadz sunnah”, dan “Kajian Sunnah” yang diklaim sepihak oleh mereka. Padahal oleh generasi Salaf, kata Sunnah dipakai sebagai pedoman untuk menentuan mana yang benar atau menyimpang dalam masalah-masalah pokok agama (ushuuddin), bukan untuk menentukan benar salah dalam masalah furu’ (khilafiyah). Yang benar disebut ahlus sunnah, sedang yang menyimpang disebut ahlu bidah. Terang saja hal ini menimbulkan kemarahan di kaum muslimin non salafy yang berbeda pemahaman dalam hal furu’.

Paradigma kedua yang keliru dari jamaah Salafi pada umumnya adalah menjadikan negara Arab Saudi sebagai rujukan dalam semua kebijakan jamaah termasuk urusan politik. Bagaimanapun Arab Saudi adalah sebuah entitas negara yang punya kepentingan pragmatis bidang politik yang kadang bertentangan dengan prinsip generasi Salaf itu sendiri. Sebagai misal hubungan erat yang terjalin sekian lama dengan AS tidak bisa dilepaskan dengan kepentinagan pragmatis kerajaan. Meskipun ada ayat yang melarang muslim menjadikan kaum kufar sebagai auliya atau teman dekat (Q.S. Al-Maidah ayat 51).

Pada kenyataannya, ustadz Salafi di Indonesia tidak bisa memilah mana fatwa agama dan mana kebijakan politk Raja. Bila di Saudi seorang ulama tidak punya pilihan untuk bersikap berbeda dengan kebijakan raja karena konsekuensinya pasti dipenjara, maka ustadz Salafi di Indonesia sebenarnya lebih leluasa untuk kritis dan tidak begitu saja mengikuti apapun agenda politik kerajaan. Lebih-lebih jika hal itu bertentangan dengan prinsip generasi Salaf.

Dalam kasus embargo Qatar oleh Saudi dkk yang didukung penuh AS misalnya, hal tersebut murni agenda politik Saudi dan bukan fatwa keagamaan apalagi sikap yang dicontohkan generasi Salaf. Salaf adalah generasi yang tegas dan tidak tunduk terhadap kufar namun senantiasa bersikap lemah lembut terhadap sesama kaum muslimin.

Wilayah Teluk telah sekian lama mempertahankan status quo sistem kerajaan dan emirat. Corak pemerintahan ini cenderung diktator dan sama sekali tidak memberi ruang bagi kekuatan penyeimbang untuk berkembang. Pengaruh dari luar yang dirasa mengancam stabilitas keamiran akan senantiasa dicurigai dan dipropagandakan sebagai ancaman. Untuk melegiitimasi ancama itu Saudi dkk barang tentu perlu justifikasi agar rakyat mengikuti propaganda mereka. Dipakailah cap teroris untuk membendung arus Arab Spring dan semangat perubahan yang dapat menjungkalkan kepentingan generasi Raja dan Emir di kawasan (selengkapnya baca: Membuat Takluk Qatar di Teluk).

Seorang muslim boleh saja tidak cocok dengan jamaah tertentu, namun tetap bersikap adil adalah ajaran Salaf. Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, NU, Muhamamdiyah, Persis, Al-Irsyad, dan jamaah minal muslimin lainnya adalah bagian dari ahlus sunnah wal jamaah yang berjuang menegakkan al-Islam. Semangat kebencian pada mereka adalah sumber kebinasaan. Membunuh karakter ulamanya sama saja membunuh umat Islam, di tengah merebaknya ideologi liberal-sekuler. Karenanya, tidak perlu ikut arus politisasi dan kebencian oleh kepentingan pragmatis sebuah negara dengan mencap mereka sebagai organisasi teroris apalagi menyebut sebagai jamaah ahlul bid’ah yang menyimpang.

Sumber Bacaan:

Ramadhan, Dr. Muhammad Abdurrahman Mursy. Manhaj Ishlah, terjemahan Manhaj Ishlah wa Al Taghyir ‘Inda Jama’ati Ikhwan Al Muslimin. Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2014.