Saturday, January 23, 2021

KEHEBATAN ISLAM dalam mengatur hidup BERMASYARAKAT ( Rahmatan Lil 'Alamiin )

Mengapa malah BANYAK DIPRAKTIKAN di negara mayoritas non - muslim ....?

"beda antara ISLAM dan ISLAMI "

Sekedar bacaan, gak usah baper.

ISLAM TAPI "TIDAK" ISLAMI..

Syaikh Muhamad Abduh...., ulama besar dari Mesir pernah geram terhadap dunia Barat...., yang mengganggap Islam kuno dan terbelakang.

Kepada Renan, filosof Prancis...., Abduh dengan lantang menjelaskan, bahwa agama Islam itu hebat....,

cinta ilmu....,pendukung kemajuan...,dan lain sebagainya.

Dengan ringan Renan...., yang juga pengamat dunia Timur itu mengatakan....:

“Saya tahu persis kehebatan semua nilai Islam dalam Al-Quran...., tapi tolong tunjukkan satu komunitas

Muslim di dunia yang bisa menggambarkan kehebatan ajaran Islam....”.

Dan Abduh pun terdiam.

Satu abad kemudian...., beberapa peneliti dari George Washington University ingin membuktikan tantangan Renan.

Mereka menyusun lebih dari seratus nilai-nilai luhur Islam...., seperti kejujuran (shiddiq)....,

amanah...., keadilan....,

kebersihan....,ketepatan waktu.....,empati..., toleransii.., dan sederet ajaran Al-Quran serta akhlaq Rasulullah SAW.


Berbekal sederet indikator yang mereka sebut sebagai 'islamicity index' ..., mereka datang ke lebih dari 200 negara untuk mengukur seberapa Islami negara2- tsb.

Hasilnya......?

Selandia Baru dinobatkan sebagai negara paling Islami.

Indonesia......?

Harus puas di urutan ke 140.

Nasibnya tak jauh dengan negara-negara Islam lainnya...., yang kebanyakan bertengger di 'ranking' 100-200.

Apa itu islam.....?

Bagaimana sebuah negara atau seseorang dikategorikan islami....?

Kebanyakan ayat dan hadits menjelaskan Islam dengan menunjukkan indikasi2-nya...., bukan definisi.

Misalnya hadits yang menjelaskan bahwa :

“Seorang Muslim adalah orang yang disekitarnya selamat dari tangan dan lisannya”.

Itu indikator.

Atau hadits yang berbunyi :

"Keutamaan Islam seseorang..., adalah yang meninggalkan sesuatu yang tak bermanfaat”.

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir...., maka hormati tetangga ... hormati tamu."

"Bicara yang baik atau diam”.

Jika kita koleksi sejumlah hadits yang menjelaskan tentang Islam dan Iman...., maka kita akan menemukan ratusan indikator ke-Islaman seseorang..., yang bisa juga diterapkan pada sebuah Kota..., bahkan Negara.

Dengan indikator2-

diatas...., tak heran ketika Muhamad Abduh melawat ke Prancis..., akhirnya dia berkomentar :

“Saya tidak melihat Muslim di sini...., tapi merasakan (nilai-nilai) Islam...; sebaliknya di Mesir saya melihat begitu banyak Muslim...., tapi hampir tak melihat Islam”.


Pengalaman serupa dirasakan Professor Afif Muhammad..., ketika berkesempatan ke Kanada..., yang merupakan negara paling Islami No.5.

Beliau heran melihat penduduk di sana..., yang tak pernah mengunci pintu rumahnya.

Saat salah seorang penduduk ditanya tentang hal ini...., mereka malah balik bertanya....: “mengapa harus dikunci....?”

Di kesempatan lain....., masih di Kanada....., seorang pimpinan ormas Islam besar pernah ketinggalan kamera di halte bis.

Setelah beberapa jam kembali ke tempat itu...., kamera masih tersimpan dengan posisi yang tak berubah.

Sungguh ironis jika kita bandingkan dengan keadaan di Negeri Muslim..., yang sendal jepit saja bisa hilang di rumah Allah yang Maha Melihat.

Padahal jelas-jelas kata “iman” sama akar katanya dengan aman.

Artinya...., jika semua penduduk beriman....., seharusnya bisa memberi rasa aman.

Penduduk Kanada menemukan rasa aman...., padahal (mungkin) tanpa iman.

Tetapi kita merasa tidak aman..., di tengah orang-orang yang (mengaku) beriman.

Seorang teman bercerita....: di Jerman..., seorang ibu marah kepada seorang Indonesia yang menyeberang saat lampu penyeberangan masih merah.

“Saya mendidik anak saya bertahun-tahun untuk taat aturan...., hari ini Anda menghancurkannya.

Anak saya ini melihat Anda melanggar aturan...., dan saya khawatir dia akan meniru Anda”.

Sangat kontras dengan sebuah video di Youtube..., yang menayangkan seorang bapak di Jakarta...., dengan pakaian jubah dan sorban naik motor tanpa helm.

Ketika ditangkap polisi karena melanggar...., si Bapak tersebut justru malah marah...dengan menyebutkan siapa dirinya...

Maksudnya agar Polisi melepaskan nya..., karena dia adalah orang suci (?)

Mengapa kontradiksi ini bisa terjadi.....?

Syaikh Basuni....., seorang Ulama...., pernah berkirim surat kepada Muhamad Rashid Ridha....., ulama terkemuka dari Mesir.

Suratnya berisi pertanyaan...:

"Limaadzaa taakhara muslimuuna wataqaddama ghairuhum....?"

( "Mengapa muslim terbelakang dan umat yang lain maju....?" )

Surat itu dijawab panjang lebar..., dan dijadikan satu buku dengan judul yang dikutip dari pertanyaan itu.

Inti dari jawaban Rasyid Ridha..:

Islam mundur karena meninggalkan ajarannya dan hidup dlm alam dalil-dalil...,

Sementara Barat maju karena mampu berpikir dan berbuat.

Umat Islam terbelakang ..., karena meninggalkan ajaran 'iqra' (membaca) dan cinta ilmu.

Sistem pengajaran Islam menjadi dogmatis....,

Apa kata ustad/ulama menjadi hukum yang harus di ikuti....; tidak kritis dan mendebat ustad/ulama untuk mencari kebenaran ....,

Karena ustadz/ulama juga manusia yang sumber kesalahan.

Akibatnya..., umat Islam sekarang cenderung anti kritik dan siap berperang....,

jika ada yang kritis mempertanyakan sesuatu.

Tidak aneh dengan situasi seperti itu....,

Indonesia saat ini menempati urutan ke-111 dalam hal tradisi membaca dan mencari ilmu.

Ajaran Islam hanya di tekankan pada hafalan dan mendengar semata....,

Bukan kritis dengan argumentasi serta menjadi paham.

Meninggalkan riset..., yang menjadi fondasi dasar berkembangnya IPTEK dan kemajuan peradaban.

Muslim juga meninggalkan budaya disiplin dan amanah....,

Sehingga tak heran negara2- Muslim terpuruk di kategori 'low trust society'..., yang masyarakatnya sulit dipercaya dan sulit mempercayai orang lain..., alias selalu penuh curiga.

Muslim juga meninggalkan budaya bersih yang menjadi ajaran Islam....,

Karena itu jangan heran jika kita melihat mobil-mobil mewah di kota-kota besar tiba-tiba melempar sampah ke jalan melalui jendela mobilnya.

Siapa yang salah....?

Mungkin yang salah yang membuat 'survey'...

Seandainya keislaman sebuah negara itu diukur dari jumlah jama’ah hajinya..., pastilah Indonesia ada di ranking pertama.

Andaikan hafalan Al Qur'an yang jadi ukuran...., Insyaa Allah negara2- Arab yang akan menempati rangking pertama.

Sayangnya..., parameter ke Islaman bukan hanya itu.

Saudaraku yang dirahmati Allah..❗

Mari kita hidupkan kembali ajaran Islam yang dibawakan Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam dan beliau sendiri akhlaknya Al Quran.

Teladan Rasulullah ini diikuti oleh para sahabat, tabiin dan ulama2 terdahulu yang sangat istiqomah....

Mari kita mulai dari diri kita masing2 kemudian dalam keluarga khususnya para balita generasi penerus, setelah itu hidup bertetangga dan selanjut dalam bermasyarakat. Insyaallah masyarakat yang islami akan terwujud dikemudian hari walaupun membutuh waktu yang lama dan diperlukan keteladanan pemimpin Islam terutama pemimpin rumah tangga.

Mari kita mulai dari diri sendiri, lalu keluarga..

Bismillah....

Thursday, January 14, 2021

Allahu Yarham, Syekh Ali Jaber, wafatnya Ulama Adalah Musibah


Kita semua mengakui bahwa wafatnya ulama adalah sebuah musibah bagi umat Islam. Karena ulama adalah pewaris Nabi. Wafatnya ulama berarti hilangnya pewaris Nabi.


Wafatnya ulama adalah musibah bahkan ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi sallam dalam sabdanya :


مَوْتُ الْعَالِمِ مُصِيبَةٌ لا تُجْبَرُ ، وَثُلْمَةٌ لا تُسَدُّ , وَنَجْمٌ طُمِسَ ، مَوْتُ قَبِيلَةٍ أَيْسَرُ مِنْ مَوْتِ عَالِمٍ


 “Meninggalnya ulama adalah musibah yang tak tergantikan, dan sebuah kebocoran yang tak bisa ditambal. Wafatnya ulama laksana bintang yang padam. Meninggalnya satu suku lebih mudah bagi saya daripada meninggalnya satu orang ulama” (HR al-Thabrani dalam Mujam al-Kabir dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman dari Abu Darda’).


Sebagai musibah dalam agama yang diibaratkan oleh Nabi laksana bintang yang padam, wajar bila kita bersedih ditinggal wafat seorang ulama.


Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi sallam sendiri menyatakan bahwa tidak bersedih dengan wafatnya ulama pertanda kemunafikan. Imam Al-Hafizh Jalaluddin bin Abdurrahman bin Abu Bakar As-Suyuthi dalam Kitab Tanqih Al-Qaul mengutip sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :


مَنْ لَمْ يَحْزَنْ لِمَوْتِ العَالِمِ، فَهُوَ مُنَافِقٌ مُنَافِقٌ مُنَافِقٌ


“Barangsiapa yang tidak sedih dengan kematian ulama maka dia adalah munafik, munafik, munafik”. 


Musibah ini akan dirasakan terutama oleh para pecinta ilmu, orang-orang yang peduli dengan warisan kenabian.


Seorang Tabi’in, perawi yang haditsnya tersebar di Kutubus Sittah, Imam Ayyub as-Sikhtiyani rahimahullah pernah berkata, sebagaimana dikutip Imam Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Awliya,


إني أُخبر بموت الرجل من أهل السنة وكأني أفقد بعض أعضائي


“Sesungguhnya aku diberitakan mengenai wafatnya seorang ahlus sunnah, seakan-akan aku kehilangan sebagian anggota tubuhku”.


Wafatnya Ulama Bermakna Diangkatnya Ilmu.


Kesedihan yang benar sebab ditinggal wafat seorang ulama bukanlah kesedihan berdasar nafsu karena kehilangan fisiknya. Kesedihan ini sejatinya adalah karena kehilangan orang yang mentrasfer warisan kenabian kepada umat. Kehilangan orang yang membimbing di jalan kebenaran sesuai dengan cahaya ilmu pengetahuan. Kehilangan orang yang dalam dadanya tersimpan bermacam ilmu yang diperlukan dalam menjalani kehidupan. Sehingga wafatnya ulama bermakna kehilangan ilmu pengetahuan.


Mengenai hal ini, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi sallam bersabda, sebagaimana diriwayatkan al-Imam al-Bukhari dan Muslim :


ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟﻌِﻠْﻢَ ﺍﻧْﺘِﺰَﺍﻋَﺎً ﻳَﻨْﺘَﺰِﻋُﻪُ ﻣﻦ ﺍﻟﻌِﺒﺎﺩِ ﻭﻟَﻜِﻦْ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟﻌِﻠْﻢَ ﺑِﻘَﺒْﺾِ ﺍﻟﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﺣﺘَّﻰ ﺇﺫﺍ ﻟَﻢْ ﻳُﺒْﻖِ ﻋَﺎﻟِﻢٌ ﺍﺗَّﺨَﺬَ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺭﺅﺳَﺎً ﺟُﻬَّﺎﻻً ، ﻓَﺴُﺌِﻠﻮﺍ ﻓَﺄَﻓْﺘَﻮْﺍ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍ ﻓَﻀَﻠُّﻮﺍ ﻭَﺃَﺿَﻠُّﻮﺍ


“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menggangkat ilmu dengan sekali cabutan dari para hamba-Nya, akan tetapi Allah menanggkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika tidak tersisa lagi seorang ulama pun, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu. mereka sesat dan menyesatkan.“


Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan makna hadits diatas sebagai berikut,


‏ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻳﺒﻴﻦ ﺃﻥ ﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﺑﻘﺒﺾ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻓﻲ ﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﺍﻟﺴﺎﺑﻘﺔ ﺍﻟﻤﻄﻠﻘﺔ ﻟﻴﺲ ﻫﻮ ﻣﺤﻮﻩ ﻣﻦ ﺻﺪﻭﺭ ﺣﻔﺎﻇﻪ ، ﻭﻟﻜﻦ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺃﻧﻪ ﻳﻤﻮﺕ ﺣﻤﻠﺘﻪ ، ﻭﻳﺘﺨﺬ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺟﻬﺎﻻ ﻳﺤﻜﻤﻮﻥ ﺑﺠﻬﺎﻻﺗﻬﻢ ﻓﻴﻀﻠﻮﻥ ﻭﻳﻀﻠﻮﻥ .


“Hadits ini menjelaskan bahwa maksud diangkatnya ilmu yaitu sebagaimana pada hadits-hadits sebelumnya secara mutlak. Bukanlah menghapuskannya dari dada para penghapalnya, akan tetapi maknanya adalah wafatnya para pemilik ilmu tersebut. Manusia kemudian menjadikan orang-orang bodoh untuk memutuskan hukum sesuatu dengan kebodohan mereka. Akhirnya mereka pun sesat dan menyesatkan orang lain”.


Wafatnya Ulama Pertanda Kiamat Sudah Dekat.


Ketika ilmu pengetahuan tentang ajaran agama diangkat Allah dari muka bumi, maka ini pertanda usia bumi tidak lama lagi. Satu persatu ulama diwafatkan adalah pertanda keping-keping bumi mulai dirontokkan.


Beberapa penafsir al-Qur’an dari kalangan sahabat Nabi dan Tabi’in, mengatakan bahwa yang dimaksud dalam ayat berikut ini adalah kehancuran bumi dengan diwafatkan para ulama,


أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا نَأْتِي الأرْضَ نَنْقُصُهَا مِنْ أَطْرَافِهَا 


Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi bumi, lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya? (Al-Ra’d: 41).


Tafsiran ini semakna dengan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi sallam yang diriwayatkan al-Imam al-Bukhari,


ﻣﻦ ﺃﺷﺮﺍﻁ ﺍﻟﺴﺎﻋﺔ ﺃﻥ ﻳُﺮْﻓَﻊَ ﺍﻟﻌﻠﻢ، ﻭﻳَﺜْﺒُﺖَ ﺍﻟﺠﻬﻞُ


“Termasuk tanda-tanda hari kiamat adalah diangkatnya ilmu dan teguhnya kebodohan“.


Ketika ilmu diangkat, kebodohan merajalela, maka dari situlah kehancuran bermula. Karena manusia tidak lagi menjalani kehidupan berdasarkan ajaran agamanya. Diriwayatkan al-Imam Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi sallam bersabda,


ﻳَﺘَﻘَﺎﺭَﺏُ ﺍﻟﺰَّﻣَﺎﻥُ ﻭَﻳُﻘْﺒَﺾُ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢُ ﻭَﺗَﻈْﻬَﺮُ ﺍﻟْﻔِﺘَﻦُ ﻭَﻳُﻠْﻘَﻰ ﺍﻟﺸُّﺢُّ ﻭَﻳَﻜْﺜُﺮُ ﺍﻟْﻬَﺮْﺝُ


“Zaman saling berdekatan, ilmu dihilangkan, berbagai fitnah bermunculan, kebakhilan dilemparkan (ke dalam hati), dan pembunuhan semakin banyak”.


Bagaimana Sikap Kita Seharusnya memaknai wafatnya ulama?


Apakah dengan bergaya lebay seperti orang-orang yang kehilangan artis idola?


Benar, bahwa wafatnya ulama adalah bermakna kebocoran dalam agama, sebagaimana dalam hadits yang disebutkan diatas. Bahkan kebocoran ini tidak bisa ditambal sepanjang masa, sebagaimana diungkapkan seorang sahabat Nabi bernama Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anh,


موت العالم ثُلْمَة في الإسلام لا يسدُّها شيء ما اختلف الليل والنهار


"Kematian seorang ulama adalah kebocoran di dalam Islam dan tidak bisa ditutup meskipun malam dan siang datang silih berganti”.


Namun, apakah dengan melampiaskan duka cita tanpa memikirkan solusinya adalah bukti kita bersedih atas wafatnya ulama dengan kesedihan yang sesuai dengan aturan agama?


Sayyidina Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anh memberikan solusinya,


ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺑﺎﻟﻌﻠﻢ ﻗﺒﻞ ﺃﻥ ﻳﺮﻓﻊ ﻭﺭﻓﻌﻪ ﻣﻮﺕ ﺭﻭﺍﺗﻪ، ﻓﻮﺍﻟﺬﻱ ﻧﻔﺴﻲ ﺑﻴﺪﻩ ﻟﻴﻮﺩّﻥّ ﺭﺟﺎﻝ ﻗﺘﻠﻮﺍ ﻓﻲ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﺷﻬﺪﺍﺀ ﺃﻥ ﻳﺒﻌﺜﻬﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻤﺎﺀ ﻟﻤﺎ ﻳﺮﻭﻥ ﻣﻦ ﻛﺮﺍﻣﺘﻬﻢ، ﻓﺈﻥ ﺃﺣﺪﺍ ﻟﻢ ﻳﻮﻟﺪ ﻋﺎﻟﻤﺎ ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺑﺎﻟﺘﻌﻠﻢ


“Wajib atas kalian untuk menuntut ilmu, sebelum ilmu tersebut diangkat/dihilangkan. Hilangnya ilmu adalah dengan wafatnya para periwayatnya/ulama. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh orang-orang yang terbunuh di jalan Allah sebagai syuhada, mereka sangat menginginkan agar Allah membangkitkan mereka dengan kedudukan seperti kedudukannya para ulama, karena mereka melihat begitu besarnya kemuliaan para ulama. Sungguh tidak ada seorang pun yang dilahirkan dalam keadaan sudah berilmu. Ilmu itu tidak lain didapat dengan cara belajar .”


Iya, kesedihan yang benar itu adalah dengan cara kita menyiapkan diri kita untuk juga menjadi pengemban warisan ulama, pelanjut estafet mempertahankan keberlangsungan transfer ilmu agama. Kita harus menyiapkan generasi selanjutnya agar jangan terjadi kekosongan ulama.


Hal inilah yang dimaksud Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah, sebagaimana dikutip Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya,


إذا مات العالم ثلم في الإسلام ثلمة لا يسدها الا خلف منه


Jika satu ulama wafat, maka ada sebuah lubang dalam Islam yang tak dapat ditambal kecuali oleh generasi penerusnya.


Kita harus mengambil ilmu sebelum ia pergi seluruhnya. Selagi masih ada ulama-ulama lain yang tersisa, kita harus manfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk belajar kepada mereka. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi sallam,


خُذُوا الْعِلْمَ قَبْلَ أَنْ يَذْهَبَ، قَالُوا : وَكَيْفَ يَذْهَبُ الْعِلْمُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ، قَالَ:إِنَّ ذَهَابَ الْعِلْمِ أَنْ يَذْهَبَ حَمَلَتُهُ


“Ambillah (pelajarilah) ilmu sebelum ilmu pergi!” 


Sahabat bertanya, “Wahai Nabiyullah, bagaimana mungkin ilmu bisa pergi (hilang)?” 


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, 


إِنَّ ذَهَابَ الْعِلْمِ أَنْ يَذْهَبَ حَمَلَتُهُ 


“Perginya ilmu adalah dengan perginya (wafatnya) orang-orang yang membawa ilmu (ulama)”


Inilah cara memaknai kesedihan ditinggal wafat ulama yang sesuai dengan ajaran agama kita. Bukan seperti orang-orang yang kehilangan artis idola. Seorang bijak pernah mengatakan, “It’s better to light a candle than curse the darkness”, menyalakan lilin lebih baik daripada mengutuk kegelapan.

Friday, January 08, 2021

INDEKS, Antara Label dan Totalitas Keberimanan

AM & FH

Sebagai sebuah partai politik yang berazaskan Pancasila, Gelora tetap menjadikan nilai Islam sebagai sumber inspirasi perjuangan. Tidak ada dikotomi antara azas Pancasila dengan Islam sebagai sumber nilai perjuangan.


Dalam konteks Kaderisasi, maka INDEKS (Islam, Nasionalisme, Demokrasi, dan Kesejahteraan) sebagai jargon perjuangan partai menjadi tolok ukur outcome yang diperjuangkan. Terutama nilai Islam sebagai sumber inspirasi menjadi dasar pembentukan kualitas kader khususnya dan sumber daya manusia umumnya.


Berbicara kualitas, tidak lepas dari "label" yang tersematkan terhadap individu, bahwa keunggulan, keutamaan adalah fitrah penciptaan. Bahwa kualitas seseorang menjadikan seseorang layak menempati pos pos amanah dan tugas sesuai kapasitas dan kualitasnya. Bukan tentang kedudukan, kelas dan level atau jenjang, tapi tentang penempatan kontribusi amal sesuai kemampuan kapasitas yang dimiliki.


Sebagaimana dalam Sirah Nabawiyah, bahwa generasi asabiqunal awwalun, tentu berbeda dengan generasi sesudahnya. Demikian generasi sebelum futuh Makkah,  dan setelah Futuh Makkah, memiliki kualifikasi yang juga berbeda. Dan seterusnya, hingga di masa sahabat, berlanjut ke generasi tabi'in, tabi'it tabi'in, dan generasi sesudahnya. Masing-masing menempati kualitas dan daya pengaruh yang berbeda.


Menempatkan generasi awal Islam sebagai generasi terbaik, bukan tanpa sebab. Merekalah generasi yang telah berkorban lahir bathin demi tegaknya awal dakwah Islam, dengan segala tantangannya. Maka menempatkan mereka di posisi penghormatan adalah sebentuk penghargaan, meski tetap mengacu kepada seberapa kontribusinya. Namun di sisi lain, Rasulullah SAW melihat dari sisi sebuah keberkahan.


Dalam suatu kondisi disaat menyiapkan peperangan, di masa sahabat, maka pertanyaan yang dilontarkan adalah, "Adakah diantara mereka yang pernah bertemu Rasulullah SAW?" Jika jawabannya ada, maka peperangan akan membawa keberkahan, dan berakhir kemenangan. Jika jawabannya tidak ada, maka pertanyaan berikutnya, "adakah diantara mereka ada yang pernah bertemu dengan orang yang bertemu Rasulullah SAW?" Jika jawaban ada, maka peperangan akan membawa keberkahan. Demikian terus pertanyaan berlanjut hingga generasi tabi'it tabi'in ke bawah. Bahwa generasi yang lebih awal, akan berdampak terkait keberkahan dalam perjuangan.


Mengapa demikian? 


Suatu hari, Rasulullah SAW mensifati kualitas iman Abu Bakr Ash Shidiq RA dalam sabdanya, "Seandainya iman Abu Bakr Ash Shidiq ditimbang dengan keimanan seluruh manusia, maka akan lebih berat keimanan Abu Bakr Ash Shidiq." Ini berarti termasuk keimanan 3 khalifah setelahnya dan semua manusia setelahnya, tetap tidak bisa menandingi keimanan Abu Bakr Ash Shidiq.


Duhai, kualitas iman yang seperti apa yang dimiliki seorang Abu Bakr Ash Shidiq?


Mari kita ambil ibrah diantara kisah berikut.


Setelah Rasulullah SAW wafat, hampir seluruh Jazirah Arab semuanya murtad, kecuali wilayah Madinah, Makkah, dan Tha'if. Dan bagaimana para sahabat mensikapi para murtadin? Hampir semua sahabat bersikap lunak, cenderung memilih damai dengan membayar jizyah, tak terkecuali sekelas sahabat Umar Al Faruq pun demikian. Tapi tidak dengan Abu Bakr ash Shidiq. Beliau keras dalam memerangi para murtadin. Hingga Umar pun akhirnya mengikutinya.


Kisah ini mennyiratkan bahwa generasi di era khalifah Abu Bakr Ash Shidiq adalah era krusial keberadaan Islam tetap bertahan. Hingga ada ulama yang berpendapat, andai Abu Bakr Ash Shidiq tidak bersikap keras kepada para murtadin, entahlah bagaimana kondisi Islam hingga kini. 


Kisah berikut, adalah gambaran begitu lekatnya Abu Bakr Ash Shidiq di hadapan Nabi SAW.


Pada suatu hari, Rasulullah SAW sedang berkumpul dengan para sahabat. Lantas beliau bersabda, "Ada hamba Allah yang diminta memilih, dunia atau Tuhannya?" Maka si hamba memilih Tuhannya. Lantas Abu Bakr menangis. Hanya beliau yang menangis. Karena faham betul dengan makna tersirat dari sabda Nabi SAW. 


Di sebalik sabda tsb bermakna, bahwa hamba tsb adalah diri Rasulullah SAW. Dimana Allah memberi pilihan kepada Nabi SAW, memilih dunia dengan terus memimpin dan membersamai umatnya, atau kembali kepada Allah dengan menjadi kekasihnya. 


Tentu Rasulullah SAW lebih memilih berjumpa dengan Rabbnya. Hal inilah yang membuat Abu Bakr menangis. Yang sahabat lainnya tidak memahami hakikat dari sabda Nabi SAW tsb.


Inilah totalitas keimanan. Terunggul yang dimiliki sahabat utama, Abu Bakr Ash Shidiq RA, dan generasi sahabat, dan dilanjut generasi sesudahnya.


Totalitas keimanan yang meliputi totalitas qalbiyah, nafsiyah, fikriyah, dan amaliyah generasi sahabat awal, yang tidak bisa dilampau oleh generasi sesudahnya.


Inilah hakikat dari kualitas manusia yang diharapkan. Totalitas keimanan yang berbanding lurus dengan kontribusi amaliyah dalam tataran  kemanfaatan dan kemaslahatan lebih luas secara kemanusiaan. 


Allahu A'lam


Disarikan dari taujih Ust Musyaffa Ahmad Rachim, Lc. 

Ketua Bidang Kaderisasi DPN Gelora