Sunday, March 28, 2021

*MANUSIA YANG TIDAK PERNAH "PEDE"*

1. Dia dijamin masuk surga,
2. Dia tak pernah minum khamr ketika jahiliyah
3. Dia tak pernah sujud satu kalipun di hadapan berhala.
4. Diriwayatkan Nabi berkata tentangnya: "tidak pernah aku mengajak manusia untuk masuk islam kecuali pasti masih ada keraguan dihatinya kecuali dia", 
5. Dia satu-satunya yang dijuluki ash-shiddiq di zamannya
6.dia satu-satunya manusia yang menemani nabi di dalam gua dan Hijrah.
7. dia yang dikatakan nabi:  "fil jannah".
8. Jika dia ditimbang dengan seluruh ummat nabi maka dia lebih berat dari ummat islam semuanya.
9. Dia adalah manusia terbaik seseudah para nabi dan para rasul yang mulia itulah aqidah ahluss sunnah wal jamaah tentangnya
10. Dia selalu terdepan dalam kebaikan dari pada sahabat nabi semuanya.
11.Dalam islam dia adalah khalifah pertama.
12. Dia yang paling dicintai nabi dari pada manusia semuanya.
13. Dia tidak pernah tertinggal 1 kali pun dari peperangan yang dihadiri baginda nabi yang mulia.
14. Dia lah yang memberantas para nabi palsu dan penghancur kaum murtad durjana
15. Dialah manusia yang dikatakan oleh Abu hurairah: "seandainya dia tidak diangkat sebagai khalifah, niscaya Allah tidak disembah lagi di dunia".
16. Dia adalah Ayah dari kekasih rasulullah yang mulia. 
17. Dia adalah mertua dari hawary rasulullah.
18. Dia adalah ayah dari wanita kuat pemilik ikat pinggang dua.
19. Dia adalah kakek dari Ksatria pembunuh raja Barbar afrika utara.
20.Dia adalah kakek dari salah satu fuqoha sab'ah
21. Karena dia Rasulullah memarahi manusia yang syetan lari darinya.
22. Dialah yang memberangkatkan pasukan usamah ketika para sahabah meragukannya.
23. Dia tidak pernah setengah hurufpun menyelisihi perkara nabi yang mulia...bahkan dalam hari kematianya pun dia ingin mati seperti hari wafatnya baginda nabi yang mulia 

Meskipun itu semuanya..
(dan ini masih belum semua keutamaannya)

dia tidak pernah PEDE dengan keimanannya, dia selalu menangis dalam sholatnya, dia selalu berdiri di tengah malam, rukuk dan sujud sedang dadanya bergemuruh takut akan dosa.

Jaminan nabi bahwa dia masuk surga tak membuat dia tenang, dia selalu merasa gelisah dan berkata:

"Andai saja aku menjadi pohon yang ditebang dan dimakan". Tak ada hisab dan tak ada adzaab.

Dia lah sayyiduna Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu.

=====

Ya Allah aku meminta kepadamu, kumpulkan aku bersamanya, hingga ku lepas semua rindu ini kepadanya...

Ya Allah jadikan rinduku ini, jembatan yang mengantarkan aku bersua dengannya...ku simpan rapat rindu ini di hatiku terdalam, hingga tiba waktunya engkau izinkan aku bertemu dan memeluknya...setelah bertemu baginda.

Taqobbal ya Rabb...kabulkan ya Allah...

Solo, Ma'had Imam Bukhori
Kamis, 6 Feb 2020 (20:38 WIB)
Ustadz Fadlan Fahamsyah hafizhahullahu
〰〰〰〰〰〰〰
〰〰〰〰〰〰〰
📡 Disebarkan dan diedit oleh :
Grup📱WA • MNG•
(Moslem & Moslemah Next Generation)
مــــجموعــــة شـــباب الــــغد

Thursday, March 18, 2021

LOGIKA SEDERHANA IMAM HASAN AL-BANNA

Hasan Al-Banna punya sebuah majelis taklim. Majelis ilmu itu dilaksanakan di sebuah masjid pada malam hari. Jama'ah. pengajian itu semakin hari semakin membludak saja. Maklum, tutur kata ustadz muda itu begitu menyentuh jiwa.

Suatu hari, Hasan Al-Banna merasakan adanya nuansa aneh di majelis taklimnya. Jama'ah pengajiannya duduk berkelompok. Ada dua kelompok besar. Masing-masing mengambil jarak.

Sebelum lagi Hasan Al-Banna memulai acara taklimnya, tiba-tiba sebuah pertanyaan mengejutkannya. Sebenarnya nada pertanyaan itu datar saja, tapi hati Hasan Al-Banna yang begitu peka menangkap sebuah pesan yang besar dalam pertanyaan itu.

"Bagaimana pendapat ustadz mengenai tawassul?" Sang guru yang ditanya terdiam sejenak. Ditatapnya si penanya. Disapunya satu per satu hadirin yang menatapnya dengan raut wajah menunggu.

"Wahai saudaraku," sapa Hasan Al-Banna jernih kepada si penanya. "Saya yakin engkau tidak hanya bertanya tentang tawasul saja. Engkau juga ingin bertanya tentang membaca salawat setelah azan, membaca Al Kahfi di hari Jumat, mengucap kata sayyidina dalam tasyahud, juga tentang membaca Alquran yang pahalanya ditujukan untuk mayit seseorang."

Jama'ah majelis taklim itu kaget. Guru mereka bisa membaca isi pikiran mereka. Dan Hasan Al-Banna memang sengaja mengungkap beberapa masalah khilafiyah yang sedang mereka ributkan. Masalah itulah yang membuat murid-muridnya duduk berkelompok-kelompok.

"Ya, benar. Saya memang ingin jawaban tentang itu semua," ujar si penanya tadi. Hasan Al-Banna menatapnya lembut. "Wahai saudaraku, saya ini bukan ulama. Hanya guru biasa yang hafal sebagian ayat-ayat Alquran, hadits, dan hukum-hukum agama yang saya baca dari beberapa kitab, lalu saya mengajarkannya kepada kalian. Jika engkau membawaku keluar dari lingkup itu, berarti kalian telah membuatku mengalami kesulitan," ungkap Hasan Al-Banna jujur.

"Oleh karenanya, jika apa yang akan saya katakan dapat memuaskanmu, itulah yang saya inginkan dan silakan mendengarkan. Namun, jika engkau menginginkan jawaban dan pengetahuan yang lebih luas, maka tanyakanlah kepada selainku. Tanyakan kepada para ulama yang ahli. Merekalah yang mampu memberikan fatwa kepadamu mengenai apa yang engkau inginkan itu. Adapun saya, hanya inilah kapasitas keilmuan yang saya miliki. Allah tidak membebani seorang hamba melainkan sebatas kesanggupannya," lanjut Hasan Al-Banna.
Rupanya, ungkapan merendah Hasan Al-Banna itu berhasil mencairkan suasana kaku yang tercipta di antara hadirin. Mereka tampak lega dengan apa yang dikatakan guru mereka.
Melihatnya, diam-diam Hasan Al-Banna bertahmid kepada Allah swt. Nalurinya sebagai pendidik tergugah. Ini saat yang tepat untuk memberi pelajaran yang lebih kepada murid-muridnya.

"Wahai saudaraku sekalian, saya sebenarnya tahu betul kemana arah pertanyaan tadi. Kalian ingin tahu saya ini termasuk kelompok Syeikh Musa atau Syeikh Sami. Ketahuilah, hal ini sama sekali tak bermanfaat bagi kalian. Kalian sudah tenggelam dalam iklim fitnah selama selama delapan tahun ini. Itu sudah cukup, " ucap Hasan Al-Banna memecah di keheningan masjid.

"Masalah-masalah yang kalian perselisihkan sebenarnya sudah diperselisihkan oleh kaum muslimin selama ratusan tahun lamanya. Dan mereka masih saja berselisih. Meski demikian Allah swt. tetap ridha apabila kita saling mencintai dan saling menjalin persatuan. Allah swt. benci apabila kita berselisih dan berpecah belah. Oleh karena itu, saya berharap, kalian bisa berjanji kepada Allah untuk meninggalkan persoalan-persoalan semacam ini sekarang. Lalu kita bersungguh-sungguh untuk bersama-sama mempelajari dasar-dasar agama dan kaidah-kaidahnya, mengamalkan anjuran anjuran agama yang kita sepakati bersama, serta kita amalkan kewajiban-kewajiban dan sunah-sunahnya sekaligus. Kita tinggalkan sikap takalluf (mengada-ada) dan ta'ammuq (terlalu dalam menyelami persoalan) agar jiwa kita jernih. Dengan begitu, kita semua bisa mempelajari berbagai persoalan dalam naungan rasa cinta, saling percaya, persatuan, dan keikhlasan. Saya berharap agar kalian dapat menerima pendapatku ini dan agar hal ini menjadi suatu janji di antara kita," tutur Hasan Al-Banna panjang dan mendalam. Semua terdiam. Tampaknya mereka butuh contoh konkret atas uraian tadi.

Hasan Al-Banna kembali menghentak keheningan itu.

"Siapa di antara kalian yang bermazhab Hanafi?" Seseorang mengacungkan jari. "Kemari!"

"Siapa di antara kalian yang bermazhab Syafi'i?" Satu orang lagi maju, mendekat ke guru muda itu.

"Saya akan shalat dan mengimami kedua saudara kita ini," kata Al-Banna kepada jama'ah majelis taklimnya.

"Apa yang kamu lakukan saat saya sedang membaca Al-Fatihah?" tanya Hasan Al-Banna kepada muridnya yang mengaku bermazhab Hanafi. "Saya akan diam saja dan tidak membaca apa-apa."

"Saudaraku yang bermazhab Syafi'i, apa yang kamu lakukan?" "Saya tetap harus membaca AlFatihah!" jawabnya tegas. Hadirin mendengar jawaban kedua itu.

Hasan Al-Banna kembali melemparkan pertanyaan. "Jika kita telah selesai shalat, bagaimana pendapatmu, wahai saudaraku yang bermazhab Syafi'i, tentang shalat saudaramu yang bermazhab Hanafi?"

"Shalatnya batal karena tidak membaca AlFatihah yang merupakan salah satu rukun shalat."

Hasan Al-Banna melontarkan pertanyaan yang sama ke murid yang satunya lagi. "Lalu bagaimana pendapatmu, wahai saudaraku yang bermazhab Hanafi tentang shalat saudaramu yang bermazhab Syafi'i?". "Ia telah melakukan tindakan makruh yang bersifat haram."

Mendengar kedua jawaban itu, Hasan Al-Banna segera mempertajam pertanyaannya. "Apakah karena alasan itu salah seorang dari kalian mengkafirkan yang lain?" "Tidak!" jawab keduanya cepat.

Hasan Al-Banna kemudian berpaling ke seluruh hadirin. "Apakah ada di antara kalian yang mengkafirkan satu dari mereka karena bacaan Al-Fatihahnya?" .

Tidak," kata seluruh jamaah majelis taklim tegas.

"Aduhai, Maha Suci Allah. Kalian bisa diam dan memaklumi permasalahan seperti ini padahal ini menyangkut sah atau batalnya shalat. Tapi, mengapa kalian berselisih tak kunjung usai hanya karena ucapan Allahumma shalli `ala Muhammad atau Allahumma shalli `ala sayyidina Muhammad dalam tasyahud?"

Jama'ah majelis taklim itu tercengang. Ya, mengapa mereka bisa terjebak dalam perselisihan yang tak perlu.

Dan logika sederhana guru mereka telah membongkar tempurung yang menutupi cakrawala berpikir mereka selama ini. Malam itu mereka mendapat pelajaran yang sangat berharga dari guru mereka, Hasan Al-Banna.

*Dari berbagai sumber

Wednesday, March 17, 2021

Hasan Al-Bashri dan Seorang Gadis Kecil

Sore itu Hasan al-Bashri sedang duduk-duduk di teras rumahnya. Rupanya ia> sedang bersantai makan angin. Tak lama setelah ia duduk bersantai, lewat jenazah dengan iring-iringan pelayat di belakangnya. Di bawah keranda jenazah yang sedang diusung berjalan gadis kecil sambil terisak-isak. 

Rambutnya tampak kusust dan terurai, tak beraturan.
Al-Bashri tertarik penampilan gadis kecil tadi. Ia turun dari rumahnya dan turut dalam iring-iringan. Ia berjalan di belakang gadis kecil itu.

Di antara tangisan gadis itu terdengar kata-kata yang menggambarkan kesedihan hatinya.
"Ayah, baru kali ini aku mengalami peristiwa seperti ini." 
Hasan al-Bashri menyahut ucapan sang gadis kecil, "Ayahmu juga sebelumnya tak mengalami peristiwa seperti ini."

Keesokan harinya, usai salat subuh, ketika matahari menampakkan dirinya di ufuk timur, sebagaimana biasanya Al-Bashri duduk di teras rumahnya.
Sejurus kemudian, gadis kecil kemarin melintas ke arah makam ayahnya. "Gadis kecil yang bijak," gumam Al-Bashri. "Aku akan ikuti gadis kecil itu."

Gadis kecil itu tiba di makam ayahnya. Al-Bashri bersembunyi di balik
pohon, mengamati gerak-geriknya secara diam-diam. Gadis kecil itu berjongkok di pinggir gundukan tanah makam. Ia menempelkan pipinya ke atas gundukan tanah itu. Sejurus kemudian, ia meratap dengan kata-kata yang terdengar sekali oleh Al-Bashri.

"Ayah, bagaimana keadaanmu tinggal sendirian dalam kubur yang gelap gulita
tanpa pelita dan tanpa pelipur? Ayah, kemarin malam kunyalakan lampu
untukmu, semalam siapa yang menyalakannya untukmu? Kemarin masih
kubentangkan tikar, kini siapa yang melakukannya, Ayah? Kemarin malam aku
masih memijat kaki dan tanganmu, siapa yang memijatmu semalam, Ayah?

Kemarin aku yang memberimu minum, siapa yang memberimu minum tadi malam? Kemarin malam aku membalikkan badanmu dari sisi yang satu ke sisi yang lain agar engkau merasa nyaman, siapa yang melakukannya untukmu semalam, Ayah?"

"Kemarin malam aku yang menyelimuti engkau, siapakah yang menyelimuti
engkau semalm, ayah? Ayah, kemarin malam kuperhatikan wajahmu, siapakah yang memperhatikan tadi malam Ayah? Kemarin malam kau memanggilku dan aku menyahut penggilanmu, lantas siapa yang menjawab panggilanmu tadi malam

Ayah? Kemarin aku suapi engkau saat kau ingin makan, siapakah yang menyuapimu semalam, Ayah? kemarin malam aku memasakkan aneka macam makanan untukmu Ayah, tadi malam siapa yang memasakkanmu?"

Mendengar rintihan gadis kecil itu, Hasan al-Bashri tak tahan menahan tangisnya. Keluarlah ia dari tempat persembunyiannya, lalu menyambut kata-kata gadis kecil itu.

"Hai, gadis kecil! jangan berkata seperti itu. Tetapi, ucapkanlah, "Ayah, kuhadapkan engkau ke arah kiblat, apakah kau masih seperti itu atau telah berubah, Ayah? Kami kafani engkau dengan kafan yang terbaik, masih utuhkan kain kafan itu, atau telah tercbik-cabik, Ayah? Kuletakkan engkau di dalam kubur dengan badan yang utuh, apakah masih demikian, atau cacing tanah
telah menyantapmu, ayah?"

"Ulama mengatakan bahwa hamba yang mati ditanyakan imannya. Ada yang menjawab dan ada juga yang tidak menjawab. Bagaimana dengan engkau, Ayah?
Apakah engkau bisa mempertanggungjawabkan imanmu, Ayah? Ataukah, engkau tidak berdaya?"

"Ulama mengatakan bahwa mereka yang mati akan diganti kain kafannya dengan kain kafan dari sorga atau dari neraka. Engkau mendapat kain kafan dari mana, Ayah?"

"Ulama mengatakan bahwa kubur sebagai taman sorga atau jurang menuju
neraka. Kubur kadang membelai orang mati seperti kasih ibu, atau terkadang menghimpitnya sebagai tulang-belulang berserakan. Apakah engkau dibelai atau dimarahi, Ayah?"

"Ayah, kata ulama, orang yang dikebumikan menyesal mengapa tidak memperbanyak amal baik. Orang yang ingkar menyesal dengan tumpukan maksiatnya. Apakah engkau menyesal karena kejelekanmu ataukah karena amal baikmu yang sedikit, Ayah?"

"Jika kupanggil, engkau selelu menyahut. Kini aku memanggilmu di atas gundukan kuburmu, lalu mengapa aku tak bisa mendengar sahutanmu, Ayah?"

"Ayah, engkau sudah tiada. Aku sudah tidak bisa menemuimu lagi hingga hari kiamat nanti. Wahai Allah, janganlah Kau rintangi pertemuanku dengan ayahku di akhirat nanti."

Gadis kecil itu menengok kepada Hasan al-Bashri seraya berkata, "Betapa indah ratapanmu kepada ayahku. Betapa baik bimbingan yang telah kuterima.
Engkau ingatkan aku dari lelap lalai."

Kemudian, Hasan al-Bashri dan gadis kecil itu meninggalkan makam. Mereka  pulang sembari berderai tangis.