Friday, March 11, 2011

Bungkam...

Jujur saja, aku telah jauh melangkah dari ini semua, dari segala cita-cita iman yang pernah aku idamkan, dari setiap hidayah yang tetap ada walaupun sedikit.
Aku mengingkari segala keluguanku kini, yang ada hanya sombongnya langkah.
Entah mulai dari mana untuk merestart semangatku, entahlah
Aku sudah mulai melupakan masa kecilku, melupakan asalku yang berangkat dari kesendirian optimisme. Bahkan aku lupa dengan jiwa yang dulu begitu peka melihat setiap fenomena, mungkin ini akibat idealisme yang dulu kukubur dibelakang rumahku sesaat hendak berangkat meraih dunia.
Semua berjalan cepat sekali dan tiba-tiba aku melihat rambut putih yang tumbuh dekat pelipisku.
Dan aku mentertawakan itu semua. Seakan memang tak ada lagi sosok yang bisa aku teladani untuk benar menghadapi kesalnya hati.
Cermin yang dulu aku lihat kini berubah menjadi sosok yang mati hati.

Milenium yang beranjak Pulang

Jagad ini mungkin sudah tua, sesuai dengan peradaban yang disandangnya. Aku bermimpi melihat cakrawala yang membiru diufuk sana, tapi tak tau apa artinya. Aku baru merancang hidup dengan segala suka dukanya. Menuju kefanaan yang berarti kematian. Semua merasa akan hidup selamanya demikian juga aku.
Di jagad yang semua orang hidup ini, aku merasa tidak sendiri, berteman malaikat maut yang setiap saat mengintai langkah-langkahku.
Masih saja orang-orang berjalan menuju kuburnya masing-masing demikian juga aku.
Entah dijagad mana aku mati dan yang kutahu pasti kembali menuju kampung halaman yang sejati...akhirat.
Aku masih punya seribu harapan dan mimpi, dan salah satunya berdiri diujung cincin saturnus yang bergerak perlahan.
Aku tahu persis itu pasti terjadi, tapi mungkin tidak dengan raga kasar ini, mungkin dengan nyawa yang tak pernah bisa diam dan selalu dinamis ini, tidak.
Mungkin tidak dengan dunia yang hingar bingar ini....tidak.
Mungkin disunyinya laut dalam yang bergerak perlahan menuju surutnya.
Mungkin tidak dengan benakku yang berisi pasir penuh debu bulan yang lebur.
Seluruh buku-buku tanganku mencoba untuk membentuknya, tapi mungkin tidak dengan caraku tapi cara-Nya.
Dan aku berlalu dengan kesedihan akan hilangnya tatapan tajam dari seorang pembunuh.
Yang selalu saja berdiri diatas bayang-bayang yang aku duduki.
Dialah masa laluku.....