Tuesday, January 31, 2017

Dilarang Bicara Politik!!

Biarkan sekularisme dan liberalisme melanggeng bebas di sistem kurikulum kita yang sudah sangat minim porsi ilmu agama kita sendiri. Biarkan generasi kita tumbuh da maju tanpa ilmu agama yg baik.

Jangan masuk politik!
biarkan para kaum liberal dan sekuler menguasai parlemen untuk menghapus UU penodaan agama dan menggantinya dengan kebebasan membuat aliran baru di negeri ini.
Agar gerakan seperti GAFATAR, Syi'ah dan Ahmadiyah bisa leluasa dalam mengekspresikan kepercayaan mereka.

Jangan masuk politik!
biarkan para LGBT bebas mengkondisikan para pejabat di parlemen demi melegalkan diri mereka di negeri ini.
Agar mereka bebas mempropagandakan gerakan mereka.

Jangan pusing mikirin politik!
biarkan UU Anti Pornografi-Pornoaksi itu dibuang dari konstitusi negeri ini oleh PDI Perjuangan dan para anteknya.

Jangan mau masuk politik!
biarkan para kapitalis asing mengkondisikan parlemen kita demi memuluskan korporasi-korporasi mereka menguasai ekonomi negeri ini.

Jangan pusing-pusing lah mikirin politik!
biarkan para sekuler asing merubah negeri ini seperti Turki yang diubah Kemal Attaturk menjadi sebuah negara yang Adzan pun tak boleh pake bahasa arab.

Jangan bicara politik yang gak penting itu!
biar kaum komunis yang menghabiskan waktu mereka membahas strategi politik demi menguasai parlemen dan menjadikan negeri ini sesuai konsep kenegaraan komunis.

Jangan urusi politik nan busuk ini!
biarkanlah para pemilik modal bebas menguasai sumber daya alam negeri ini. Biarkan TV-TV mereka bebas menayangkan tayangan-tayangan perusak moral untuk generasi bangsa ini. Tidak usahlah ada oknum yang bawa bawa agama Islam masuk ke dunia politik untuk mengkondisikan Komisi Penyiaran Indonesia tetap pada koridor budaya timur nan Islami ini.

Janganlah sesekali masuk politik nan pragmatis ini!
biarkan perda-perda diubah dan disesuaikan dengan keinginan para musuh Islam.
Agar orang bebas berjualan makanan di siang hari bulan Ramadhan misalnya.

Jangan masuk politik untuk mengotori dirimu!
biarkan kolonialisme gaya baru negeri seberang melenggang bebas mengkondisikan UU negeri ini demi menguasai dan mengeksploitasi seluruh kekayaan bangsa yang tak terhingga ini.

Jangan masuk politik!
biarkan aparat-aparat negara diisi oleh musuh-musuh Islam sehingga tak perlu kita ribut menindak para penista agama kita yang mulia ini.

Jangan masuk dan ambil bagian di pesta demokrasi segala lah!
Karena tidak perlu kita sok pahlawan seperti *Erdogan yang membangkitkan ummat muslim dunia.* Yang mampu mengubah Republik Turki sekuler menjadi Turki yang mulai nampak kembali keIslamannya.

Benarkah?
Jangankah?
Jauhikah?
Apa betul?
Politik itu kebusukan yang harus kita hindari?

Jika betul, untuk apa para ulama mondar mandir melaksanakan konsolidasi di Jakarta demi mempersatukan suara ummat Islam menuju pilkada DKI ?
Apa mungkin, sekelas Ustadz Bachtiar Natsir, Habib Rizieq Shihab, Aa Gym, Abu, Jibril, Didin Hafizuddin, Ustadz Zaitun, Tengku Zulkarnaen, Ustadz Yusuf Mansur, dan para ulama lainnya mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran mereka untuk hal yang tidak penting tadi?

Kalo politik gak penting, untuk apa HAMAS berjuang mati matian di parlemen palestina demi kemerdekaan palestina?

Kalo politik gak penting kenapa Raja Salman sang penjaga 2 tempat mulia dan suci (Mekkah dan Madinah ) melakukan konsolidasi pembentukan koalisi militer negara negara muslim dengan Psiden Turki?

Kasus ahok menista Alquran baru kita marah dan sadar
padahal salah satu penyebab ahok bisa berada di Balaikota DKI beberapa tahun silam merupakan hasil kebodohan dan ketidak pedulian ummat terhadap politik itu sendiri.

Renungkan saudaraku seiman.
Dalam kaidah ushul fiqh ada istilah
" maa laa yudroku kulluh laa yutroku kulluh "
(Jika tidak memperoleh semuanya, jangan tinggalkan semuanya)
*Yang busuk itu sistemnya, bukan politiknya. Masuk, rapihkan dan bersihkan sistemnya. Bukan malah kau tinggalkan.*

Salam Persatuan Umat Islam Bangsa Indonesia.

Sunday, January 22, 2017

Rindu Buya Hamka pada Bung Karno

Presiden pertama, founding father-nya negara inipun pernah menyerang seorang ulama besar.

Dianggap melawan pemerintah (yang menurut saya sebenarnya pemerintah waktu itu tak ingin mendapat kritikan yang cerdas), M. Yamin dan Soekarno berkolaborasi menjatuhkan wibawa Buya Hamka melalui headline beberapa media cetak yang diasuh oleh Pramoedya Ananta Toer.

Berbulan-bulan Pramoedya menyerang Buya Hamka secara bertubi-tubi melalui tulisan di koran (media yang paling tren saat itu), Allahuakbar! sedikitpun Buya Hamka tak gentar, fokus Buya tak teralihkan, beliau terlalu mencintai Allah dan saudara muslimya, sehingga serangan yang mencoba untuk menyudutkan dirinya tak beliau hiraukan, Buya Hamka yakin jika kita menolong agama Allah, maka Allah pasti menolong kita. Pasti!

Oh! Buya Hamka terlalu kuat dan tak bisa dijatuhkan dengan serangan pembunuhan karakter melalui media cetak yang diasuh oleh Pram, tak sungkan-sungkan lagi, Soekarno langsung menjebloskan ulama besar tersebut ke penjara tanpa melewati persidangan.

Seperti doa nabi Yusuf as. ketika dipenjara: Yusuf berkata, “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (QS. Yusuf, 33)

Yah! Saat itu penjara jauh lebih baik bagi Buya Hamka, jauh lebih baik daripada menyerahkan kepatuhannya terhadap Allah kepada orang-orang yang hanya mengejar dunia.

2 tahun 4 bulan di dalam penjara tak beliau sia-siakan dengan bersedih, malah Buya Hamka bersyukur telah dipenjara oleh penguasa pada masa itu, karena di dalam penjara tersebut beliau memiliki lebih banyak waktu untuk menyelesaikan cita-citanya, merampungkan tafsir Al-Qur’an 30 juz, yang sekarang lebih kita kenal dengan nama kitab tafsir Al-Azhar.

Lalu bagaimana dengan ketiga tokoh tadi?

Ternyata Allah masih sayang kepada Pramoedya, M. Yamin dan Soekarno. Karena apa yang telah dilakukan oleh ketiga tokoh bangsa tersebut terhadap Buya Hamka, tak harus diselesaikan di akhirat, Allah telah mengizinkan permasalahan tersebut untuk diselesaikan di dunia saja.

Di usia senjanya, Pramoedya akhirnya mengakui kesalahannya dimasa lalu dan dengan rendah hati bersedia “meminta maaf” kepada Buya Hamka, ya! Pramoedya mengirim putri sulungnya kepada Buya Hamka untuk belajar agama dan men-syahadat-kan calon menantunya.

Apakah Buya Hamka menolak? Tidak! Dengan lapang dada Buya Hamka mau mengajarkan ilmu agama kepada anak beserta calon menantu Pramoedya, tanpa sedikitpun pernah mengungkit kesalahan yang pernah dilakukan oleh -salahsatu penulis terhebat yang pernah dimiliki indonesia- tersebut terhadap dirinya. Allahuakbar! Begitu pemaafnya Buya Hamka.

Ketika M. Yamin sakit keras dan merasa takkan lama lagi berada di dunia ini, beliau meminta orang terdekatnya untuk memanggilkan Buya Hamka. Saat Buya Hamka telah berada di sampingya, dengan kerendahan hati M. Yamin (memohon maaf dengan) meminta kepada Buya Hamka agar sudi mengantarkan jenazahnya untuk dikebumikan di kampung halaman yang telah lama tak dikunjungi Talawi, dan di kesempatan nafas terakhirnya M. Yamin minta agar Buya sendiri yang menuntunnya untuk mengucapkan kalimat-kalimat tauhid.

Apakah Buya Hamka menolak? Tidak! Buya Hamka menuluskan semua permintaan tersebut, Buya Hamka yang “menjaga” jenazah -tokoh pemersatu bangsa- tersebut sampai selesai dikebumikan dikampung halamannya sendiri.

Namun, lain hal dengan Soekarno, malah Buya Hamka sangat merindukan proklamator bangsa Indonesia tersebut, Buya Hamka ingin berterima kasih telah diberi “hadiah penjara” oleh Bung Karno, yang dengan hadiah tersebut Buya memiliki lebih banyak waktu untuk menyelesaikan tafsir Al-Azharnya yang terkenal, dengan hadiah tersebut perjalanan ujian hidup Buya menjadi semakin berliku namun indah, Buya Hamka ingin berterima kasih untuk itu semua.

Lalu kemana Soekarno? Kemana teman seperjuangannya dalam memerdekakan bangsa ini menghilang? Dalam hati Buya Hamka sangat rindu ingin bertemu lagi dengan -singa podium- tersebut. Tak ada marah, tak ada dendam, hanya satu kata “rindu”.

Hari itu 16 Juni 1970, ajudan presiden Soeharto datang kerumah Buya, membawa secarik kertas, kertas yang tak biasa, kertas yang bertuliskan kalimat pendek namun membawa kebahagian yang besar ke dada sang ulama besar, pesan tersebut dari Soekarno, orang yang belakangan sangat beliau rindukan, dengan seksama Buya Hamka membaca pesan tersebut:

“Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku.”

Buya Hamka bertanya kepada sang ajudan “Dimana? Dimana beliau sekarang?” Dengan pelan dijawab oleh pengantar pesan “Bapak Soekarno telah wafat di RSPAD, jenazahnya sedang dibawa ke Wisma Yoso.”

Mata sayu Buya Hamka mulai berkaca, kerinduan itu, rasa ingin bertemu itu, harus berhadapan dengan tubuh kaku, tak ada lagi pertemuan yang diharapkan, tak ada lagi cengkrama tawa dimasa tua yang dirindukan, hanya hamparan samudera maaf untuk saudaranya, mantan pemimpinnya, pemberian maaf karena telah mempenjarakan beliau serta untaian lembut doa dari hati yang ikhlas agar Bung Karno selamat di akhirat, hadiah khusus dari jiwa yang paling lembut sang ulama besar, Buya Hamka.



Dizaman sekarang, Mulai terasa sejarah itu kembali terulang, dimana para penguasa mulai berusaha menyudutkan para ulama, menyerang para ulama melalui media-media pendukung mereka, menebar kebencian kepada para ulama melalui penulis-penulis pendukung mereka.

Lalu ada yang berkata, “ulama sekarang tak sehebat buya Hamka.” Tanya lagi hati kecil kita, apakah mereka yang tak hebat, ataukah kita yang ingin menolak pesan kebenaran itu sendiri.

Pertanyaannya:
– Di pihak siapa kita?
apakah di pihak para penguasa yang jelas sedang memuaskan nafsu duniawi mereka?
Ataukah di pihak para ulama yang menyampaikan kebenaran karena Allah, Tuhannya, Tuhan kita semua?

– Akankah para penguasa yang memfitnah para ulama saat ini, diberi kesempatan oleh Allah untuk meminta maaf sebelum ajal menjemput mereka? Semoga saja, semoga kesalahan mereka tak harus diselesaikan yaumul hisab. Aamiin ya Robbal’alamin 👍👍 luar biasa saudaraku,, mg Allah memberi petunjuk kpd kita sklian,, Allahuakbar

HAFIDZ QURAN ITU BERNAMA NURUL FAHMI (PEMUDA YANG DITANGKAP KARENA TULISAN BENDERA TAUHID DI BENDERA INDONESIA)

Sungguh, Allah Tidak Pernah Keliru Menunjuk TentaraNya

Hari ini saya bersama teman saya berkunjung ke rumah orangtua dan istri Bang Nurul Fahmi (NF) untuk sekedar memberi dukungan moril. Masya Allah, betapa saya berkali-kali merinding mendengar cerita sang ibu dan istrinya.

Ya, sebagaimana penuturan kuasa hukum Bang Fahmi, Kamil Pasha, bahwa memang benar bendara merah putih yang bertuliskan kalimat tauhid itu telah dibawanya dalam setiap aksi Bela islam. Dan pada senin (16 Jan) pun bendara ini dia bawa ketika longmarch al-azhar ke mabes polri. Sang Ibu menuturkan bahwa bang fahmi bercerita kalau sepulang longmarch dia merasa ada orang-orang yang memotonya. Tapi dia tak berpikir macam-macam.

Keesokan harinya, mulailah sosmed dihebohkan oleh berita bahwa kapolri akan mengusut pelecehan bendera merah putih yang dituliskan bahasa arab. Bang Fahmi pun kaget. Sebab dia benar-benar baru tahu bahwa ada pasal terkait dengan hal itu. Dia murni melakukan hal itu karena ketidaktahuannya dengan pasal tersebut. Ini jelas wajar, sebab kita bukan pertama kali melihat ada bendera merah putih digambar dan ditulis, bukan? Telah begitu banyak bendera merah putih yang diukirkan gambar dan tulisan oleh berbagai oknum dan itu tidak pernah dipermasalahkan apalagi sampai dipolisikan. Kalau lah memang menulisi bendera adalah bentuk kriminal tentu bang Fahmi bukan orang pertama yang ditangkap. Maka ini jelas sekali ada bentuk ketidakadilan aparat kepolisian terhadap umat islam.

Kemudian Bang Fahmi pun mengabari Ibunya tentang berita tersebut dan menghubungkannya dengan peristiwa sepulang longmarch saat dia merasa ada orang-orang yang memoto dirinya.

Wallahi, pernyataan Ibunya inilah yang membuat saya benar-benar terharu sekaligus merinding, "kamu harus tegar. Kita ada di jalan yang benar. Orang hebat memang harus ada ujiannya. Semangat!" Demikian kata sang Ibu saat mendapati berita pengusutan itu.

Ya Robb...

Pada hari kamis, Bang fahmi mendapat panggilan kerja di sekolah alam sebagai guru tahfidz dan rencananya akan aktif mengajar senin besok. Ba'da itu, Bang Fahmi konsultasi kepada Ust. Munawir terkait berita tersebut. Ust. Munawir pun menyarankan agar dia meminta bantuan kepada LBH Munarman. Bang Fahmi baru berencana akan kesana esok pagi (jumat). Dan kamis sore itu ia memutuskan untuk menginap di rumah kakaknya di Cilandak. Saat itu dia mulai merasa bahwa ada orang-orang yang mengikutinya. Tapi dia tetap tenang.

Dini hari, pukul 01.00 polisi datang menggerebek rumah itu dan menangkap bang Fahmi. Dari penuturan sang Ibu jumlah polisi itu 23 orang. "Mereka menangkap anak saya seperti menangkap seorang gembong narkoba". Dari Cilandak itu, para polisi pun datang ke kediaman orangtua Bang Fahmi di Tanah 80 untuk mencari barang bukti.

Demikian sampai saat ini Bang Fahmi masih ditahan. Tapi masya Allah betapa indah persaudaraan dalam islam, sang Ibu menuturkan begitu banyak pengacara yang menawarkan bantuan sukarela untuk membebaskan Bang Fahmi. Sekitar 20 orang. Sampai akhirnya dibuatlah sebuah Tim. Doakan ya saudara sekalian, semoga bang Fahmi cepat dibebaskan.

Saat hendak berpamit pulang, sang Ibu mengantar kami menuju kediaman mertua bang Fahmi, tempat sementara dimana Istri dan anak Bang fahmi yang baru lahir tinggal. Ya, 8 Januari lalu, Hafidza Nur Qaila, baru saja dilahirkan. Saat pertama melihatnya, mata saya tertuju pada sebuah Al-Qur'an yang terletak tepat di atas kepala Dede Hafidza. "Biasanya, abinya mengajikan dia setiap pagi sebelum berangkat kerja." Cerita sang Istri. Mungkin dia melihat kemana arah mata saya memandang. Allah... betapa terharunya saya. Wahai Nak, kamu pasti rindu kan mendengar tilawah abimu? Bersabar sebentar ya sayang, Abimu sedang berjuang melawan ketidakadilan!

Mendengar berbagai tutur kata sang istri tentang suaminya, saya menarik satu kesimpulan. "Wahai Allah, kini saya tahu mengapa Engkau memilihnya!"

Ternyata Bang Fahmi telah merampungkan program tahfidz Qur'an di Masjid Qiblatain, Arab Saudi. Ya, dia seorang hafidz Qur'an. Dadanya penuh dengan ayat-ayat Allah. Pantas, sangat pantas jika dia marah ketika seorang Ahok menghina ayat suciNya. Pantas jika dia kemudian tidak pernah absen sekali pun dalam aksi-aksi Bela islam ini. Karena dia memang mencintai Al-Qur'an. Mencintai Islam. Dia sedang menunjukkan keberpihakannya. Dan Allah menguji cintanya... Apa dia menyerah? Tentu tidak. Saat ditanya kuasa hukumnya apakah dia kapok? Jawabannya, "TIDAK." Dan dia menghadapi ini semua dengan tenang. Sampai Pak Polisi heran dan berkomentar... "kok tenang banget sih." Wahai Pak Polisi, bagaimana ia bisa gelisah sementara hatinya penuh dengan Al-Qur'an? Sementara jiwanya sarat dengan cinta pada Allah? Kau mungkin bisa memenjarakan fisiknya, tapi tidak dengan semangatnya! tidak dengan cintanya! Sungguh kasus yang menimpanya justru semakin meningkatkan pendirian kami (umat islam) bahwa kami akan tetap memperjuangkan keadilan. Bahwa keadilan ini adalah HAK kami yang telah kalian rampas dan campakkan!

Jangan takut, wahai umat islam. Ini kutitipkan foto bayi mungil yang tetap bisa tertawa meski ayahnya kini ada dibalik jeruji penjara.

Thursday, January 19, 2017

Selamat Ulang Tahun PDIP Perjuangan

*PENDUKUNG BASUPI KAHAYA CURNAMA DAN BANTENGWATI*

Jika mereka berada dalam pertempuran Aceh versus Belanda di awal abad XX dulu, mereka tak beda dengan serdadu Ambon, Manado, atau Bali (pasukan Marsose Belanda) yang menjadi tenaga kepruk atas prajurit Aceh. Merekalah yang mengejar-ngejar yang mulia Cut Nyak Dien di belantara.

Jika mereka berada dalam pertempuran Pelembang vs Belanda, mereka tak beda dengan juru kepruk Belanda (serdadu pribumi dari Nusantara Timur) untuk menghantam Sultan Badaruddin II.

Jika mereka berada dalam pertempuran Imam Bonjol vs Belanda (1815 - 1837), mereka tak beda dengan tenaga bayaran dari pedalaman Jawa Selatan untuk bergabung dengan kaum Adat untuk membela Belanda melawan Imam Bonjol dan para ulama lainnya.

Jika mereka berada dalam Perang Jawa (Pangeran Diponegoro vs Belanda, 1825 - 1830) , mereka adalah barisan pasukan Patih Danurejo, antek Belanda momor wahid, yang ditampar sang pengeran,  yang senantiasa memburu pasukan Diponegoro dan Kyai Modjo demi dapat bayaran. Butuh keyakinan terhadap hari akhir untuk berada dalam barisan Diponegoro. Itu tidak gampang karena harus berkelana bertahun-tahun di antara desa dan rimba. Lagi pula apa enaknya upaya mendirikan tegaknya syariat di tanah Jawa buat orang-orang yang sibuk berpikir dunia.

Jika mereka berada dalam pertempuran Tuntang (Inggris vs Sultan Hamengku Buwono II), di awal abad XIX, maka mereka adalah barisan pasukan Noto Kesumo yang mengkhianati Sang Sultan. Ikut Inggris itu enak. Lebih instan untuk dapat harta, tahta, dan wanita. Tak perlu membuka sawah untuk swa sembada pangan. Cukup kontrakkan lahan bangsawan untuk perkebunan Eropa dan jadikan rakyat sebagai budak mereka. Perkara tanaman tak dibutuhkan penduduk itu bukan urusan mereka. Perkara rakyat lapar itu urusan nomor berapa.

Jika mereka berada dalam Perang Suksesi Jawa, mereka ingin agar Pangeran Sambernyowo dan Pangeran Mangkubumi segera berdamai dengan Belanda. Melawan Belanda itu tidak enak. Bisa jadi tak lagi mengharap dunia. Yang ada adalah siap mati. Untuk itu juga harus punya keyakinan pada indahnya surga. Hanya dengan itulah kesabaran tercipta. Hanya itu yang bisa diberikan para ulama pendukung pangeran berdua.

Jika mereka berada dalam Perang Banten di akhir abad XVII, maka mereka segera ikut Pangeran Haji untuk memihak Belanda dan mengkhianati Sultan Ageng Tirtayasa, Syaikh Yusuf, dan Pengeran Purbaya. Ikut Belanda lebih instan untuk dapat berbagai hal duniawi. Tak butuh idealisme. Daripada sibuk membangun kepemimpinan lokal, mending mencangkokkan pemimpin asing atau aseng. Tinggal  impor dari Batavia, deket, di seberang timurnya.

Jika mereka berada dalam Perang Amangkurat II vs Pangeran Trunojoyo (1672 - 1680), mereka bersorak ria ketika Amangkurat II menusuk lambung Trunojoyo tanpa sikap ksatria dan mencincang tubuhnya. Trunojoyo membuat Mataram terlalu berpikir harga diri negara dan agama, tidak prakmatis, sehingga mengganggu opini ekonomi jangka pendek. Lagi pula mengapa harus ikut para ulama di Giri dan Kajoran, para “peramal masa depan yang juga belum melihat ramalannya”.

Jika mereka berada dalam Perang Makassar, maka mereka ikut bergabung dengan pengkhianatan sebagian penguasa Sulawesi dan Maluku untuk melawan Sultan Hasanuddin. Lebih cepat dapat kekuasaan dan kehartaan. Tak perlu lagi bicara siri (harga diri) karena toh tak ada siri terhadap Belanda.

Jika mereka berada dalam pemerintahan Amangkurat I, mereka begitu bergembira ketika Sang Amangkurat membantai ribuan ulama. Para ulama terlalu ribet. Mereka terlalu membela kebijakan sang ayah, Sultan Agung Hanyokrokusumo Maulana Matarami, yang anti Belanda.

Jika mereka hidup pada masa Demak Bintoro di abad XVI, mereka begitu sibuk membela Blambangan dan Pajajaran yang lebih memilih bersekutu dengan Portugis, yang pragmatis, praktis, dan memberikan keuntungan jangka pendek. Mereka akan membela para antek Portugis itu untuk melawan Sultan Trenggono dan para wali di Pasuruan atau Pangeran Fatahillah di Sunda Kelapa.

Jika mereka hidup dalam tahun 1965, merekalah yang bersorak gembira dengan pembantaian PKI atas para ulama dan provokasi PKI untuk membantai tokoh-tokoh Angkatan Darat. Merekalah yang bergembira dan meneriakkan agama adalah candu. Mereka gembira, bisa bebas meneriakkan bahwa hari akhir hanyalah ramalan tak berguna.

Silakan jika ada yang mau meneruskan...

Jika anda pengikut Nenek Bantengwati dan Mr. Basupi, tapi tidak terima dengan tuduhan ini, gampang saja. Keluar saja anda dari barisan mereka. Ikutlah para ulama dan panglima perjuangan Islam. Merekalah pahlawan sesungguhnya negeri ini. Jika anda merasa berjuang dan merasa perjuangan anda telah munuju optimal, maka bersyukurlah dengan sikap anda yang mengundurkan diri ini. Karena optimal hanya layak di bawah kebenaran. Lalu adakah kebenaran jika anda melawan para penyampai Al-Qur'an? Keluar dari pimpinan yang mengajak mengingkari hari akhir itu membahagiakan. Apakah orang yang hanya sibuk berpikir materi dan korupsi serta mengingkari hari akhir akan mungkin ikut ulama melawan penjajah? Apalagi penjajah menjanjikan dunia sementara ulama “hanya” bisa memberi peta jalan menuju surga?

Terhadap saudaraku TNI, betapa mulia sikap anda yang melihat kematian sebagai pengabdian tertinggi. Itulah sikap Islam. Itulah prinsip jihad. Tetapi marilah kita sadari, dulu pengabdian tertinggi ini dalam bimbingan ulama. Pihak yang bisa membimbing pengabdian itu lurus, tak ada penyimpangan sedikitpun, kecuali menuju surga.

Marilah kita bangsa Indonesia semuanya bertobat. Kita telah mengkhianati ulama dan para senopati ulama. Kita menjadikan mereka pahlawan tetapi mengikuti cara hidup para antek dan tuannya, Belanda, pihak yang menghunuskan keris dan bedil kepada para ulama dan senopati ulama.

Jika kita ingin Indonesia ini benar-benar merdeka dan jaya, hargai para pahlawan dengan tak hanya mempahlawankannya, tetapi juga mengikuti perjuangan mereka.

Hanya tegaknya agama dan syariatnya lah yang membuat berbagai penduduk di wilayah Nusantara ini dulu masih ada gerak melawan penjajahan. Tanpa itu apa? Bukankah yang ada hanya para antek Belanda?

Bukankah tanpa Islam kita sudah melihat buktinya? Hutang Indonesia sekarang 3.800 trilyun rupiah masih ditambah penggarongan Freeport, Century, BLBI, gas Tangguh, Indosat dll. Tanpa Islam setiap pemimpin dipaksa jadi panglima perampokan atas negeri sendiri. Semua itu karena kita berpikir dunia. Serta mendiskreditkan surga sebagai ramalan tak berguna !!!

✍🏼 *Ust. Husain Matla*


*#JasMerah.. Jangan sekali-kali melupakan sejarah..!!!*
*Sebarkan !*

Buat Musuhmu Gentar

*Gentarkan Musuhmu*

Musuh tidak gentar jika kita hanya duduk bersila mencukupkan diri dengan ilmu saja.

Musuh tidak gentar jika kita hanya menjadi ahli ibadah yang tidak menghiraukan keadaan saudaramu

Musuh tidak gentar jika kita hanya mengajak manusia pada pendapatmu dan
berlisan tajam pada yang di luar kelompokmu

Musuh tidak gentar jika kita hanya mendakwahi manusia ke tauhid menurut
tafsiranmu, yaitu "tauhid" yg menjadikan lisan tajam terhadap ulama dan ahli
kiblat.

Akan tetapi yg menjadikan musuh gentar adalah ketika kita mulai bersatu,
merangkul satu sama lain serta tidak merasa diri paling benar.

Musuh akan gentar ketika umat Islam kembali mendidik generasinya seperti didikan salafussholeh, yaitu didikan yg akan menghasilkan manusia-manusia
seperti Khalid bin Walid, Qa'qa', Mutsanna, Shalahuddin Al Ayyubi, Sultan Al Fatih, Khairuddin Barbarosa, Zombie dan lainnya

Musuh akan gentar ketika umat Islam sudah mulai bersatu menggalang kekuatan untuk kembali membangun khilafah yg telah runtuh pada tahun 1924 lalu.

Musuh akan gentar ketika umat Islam mengikuti sifat salafussholeh yg Allah
gambarkan dalam surat Al Fath ayat 29, bahwa mereka keras terhadap org kafir dan
lembut terhadap orang mukmin, bukan sebaliknya.

Tanyakan pada sejarah ttg kejayaan umat Islam dahulu, apakah ia tercapai hanya
mencukupkan diri dgn mengkaji kitab saja ?

Tanyakan pada sejarah ttg pahlawan mujahid yg "menjadikan" khilafah Islam
menjadi bangsa terkuat pada masanya, apakah cukup dengan menghadiri ta'lim saja? kemudian suka menyalahkan yg lainnya ?

Jikalau seandainya kita mau inshaf, sungguh jawabannya adalah bahwa mereka di
didik untuk mempunyai ghirah terhadap agamanya.

Tertanam dalam diri mereka jiwa perjuangan dan pantang mundur, bukan jiwa
"Saluli" yaitu pengikut Abdullah bin Ubay bin Salul yg suka berpaling dari medan juang serta menggembosi perjuangan kaum muslimin.

Hanya saja jika hati sudah tertutup dgn fanatik buta maka sulit menerima
kebenaran dari yg lainnya.

Hadanallaahu wa iyyaakum.

Tuesday, January 17, 2017

FATAHILLAH ( TUBAGUS PASAI ) BAPAK PENDIRI IBUKOTA JAKARTA keturunan Nabi Muhammad ke 23

NASABNYA

Dalam disertasi yang disusun oleh Abu Bakar al-Mascati yang berjudul “Ketika Pasai menaklukkan Majapahit” dikatakan bahwa Fatahillah dilahirkan di Pasai pada tahun 1471, beliau terlahir dengan nama Maulana Fadhillah. Gelar Maulana diperoleh karena ia masih keturunan Nabi Muhammad, SAW ( dari golongan Sayyid atau Syarif atau Habib ). Menurut Saleh Dana Sasmita sesorang sejarawan Sunda yang menulis sejarah Pajajaran dalam bab Surawisesa beliau adalah Putra Mahdar Ibrahim bin Abdul Ghofur bin Zainul Alam Barokat bin Jamaludin Husein al-Akbar yang lebih dikenal dengan nama gelarnya yakni Shekh Maulana Jumadil Kubro. Tulisan sejarawan Saleh Dana Sasmita ini bersesuaian dengan Kitab Sejarah Melalu “Sulalatus Salatin” karya Tun Sri Lanang, bersesuaian pula dengan  catatan para keturunan Shekh Jumadil Kubro baik yang di Malaysia, Cirebon, Banten dan Palembang yang mana catatan-catatan tersebut juga telah diakui oleh Robitoh Fatimiyyah/Nakobah Azmatkhan, sehingga tidak perlu diragukan lagi keabsahannya.

Berdasarkan catatan-catatan tersebut di atas, maka Fatahillah termasuk keturunan Nabi Muhammad ke 23 dengan urutan sebagai berikut :

Fadhillah / Fatahillah ibn Mahdar Ibrahim Patakan ibn Abdul Ghafur ibn Barokat Zainul Alam ibn Jamaludin Husein ibn Ahmad Syah Jalaludin ibn Abdullah Azmatkhan ibn Abdul Malik Azmatkhan ibn Alwi ( Ammu Faqih ) ibn Muhammad (Shahib Marbath ) ibn Ali Qoli’u Qosam ibn Alawi Tsani ibn Muhammad ibn Alawi Awal ibn Ubaidillah/Abdullah ibn Ahmad ( Muhajir ilalloh ) ibn Isa Ar-Rummi ibn Muhammad Anakib ibn Ali ‘Uraidi ibn Ja’far Sidiq ibn Muhammad Baqir ibn Ali Zainal Abidin ibn Husein ibn Ali Murtadlo / Fatimah Az-Zahro binti Muhammad SAW.

PERJALANAN HIDUPNYA

Terlahir di lingkungan kesultanan Pasai dengan nama Fadhillah atau Maulana Fadhillah dari ibu Syarifah Siti Musalimah binti Maulana Ishak dan Ayah Mahdar Ibrahim Patakan bin Abdul Ghofur, Mufti kesultanan Pasai yang terkenal sangat alim dan menguasai ilmu-ilmu agama antara lain, ilmu alat ( nahwu, shorof dan balaghoh ), Fiqih, Usul Fiqih, Tafsir, Hadits dan juga Tasawuf, sehingga Mahdar Ibrahim juga diberi gelar Sayyid Kamil.
Mahdar Ibrahim juga dikenal sebagai penerjemah kitam “Daroil Mazlum” karya Muhammad Ishak, ulama Mekah, penerjemahan ini atas permintaan Sultan Mahmud Syah dari kesultanan Malaka.
Sebagai anak yang terlahir di lingkungan kesultanan Pasai, Fadhillah memperoleh pendidikan kemiliteran terutama kemiliteran laut, hal ini sesuai dengan kedudukan Kesultanan Pasai yang terletak di Selat Malaka yang merupakan jalur strategis yang menghubungkan dua pusat perdagangan yakni China dan India.
Namun demikian, sebagai anak dari ulama besar Fadhillah juga memperoleh pendidikan ilmu-ilmu agama yang mumpuni sehingga dari kedua jenis ilmu ini ( kemiliteran dan agama ) kelak menempatkannya dalam kedudukan yang terhormat. Bekal ilmu kemiliteran menempatkan dirinya sebagai panglima tertinggi   pasukan gabungan tiga kerajaan, sedangkan bekal ilmu agama mendudukkannya sebagai anggota Walisongo generasi ke IV bersama-sama dengan Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, Raden Fatah, Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Drajad dan Sunan Kalojogo  (lihat buku Haul Sunan Ampel ke 555, tulisan KH. Muhammad Dahlan, terbitan Yayasan Makam Sunan Ampel 1979 ).

Pada usia 24 tahun tepatnya pada tahun 1495, pemuda Fadhillah meninggalkan kampung halamannya untuk merantau menambah pengalaman, dan tempat yang dipilih adalah kesultanan Malaka yang pada saat itu yang berkuasa adalah Sultan Mahmud Syah yang nota bene adalah sahabat ayahnya ( Mahdar Ibrahim ) sehingga Fadhilah langsung mendapat kedudukan sebagai Tumenggung. Konon dalam perjalanan pelayarannya melalui selat malaka ia sempat membuat decak kagum Laksamana Hang Tuah ( pemimpin tertinggi Angkatan Laut ) kesultanan Malaka, karena atas laporan anak buahnya ketiga menyaksikan kepiawaian pemuda Fadhillah dalam menghalau para bajak laut selat Malaka yang waktu itu memang banyak dan kebanyakan adalah pelaut-pelaut dari China. Oleh karena itu ketika Laksamana Hang Tuah lengser, kedudukan sebagai Laksamana dipercayakan kepadanya dengan gelar “Laksamana Khoja Hasan"
Kepiawaian Fadhillah sungguh tidak mengecewakan, ia mampu menjadi pengganti Laksamana Hang Tuah, meskipun namanya tidak sepopuler pendahulunya itu, namun sebagai Pangti AL ia mampu mengamankan selat Malaka, sehingga perniagaan melalui jalur ini aman dan tentu saja hal demikian sangat menguntungkan kerajaan.
Fadhillah mengabdi selama 15 tahun tepatnya pada tahun 1510 ia berhenti dan kembali ke Pasai. Terdapat beberapa versi mengenai lengsernya Laksamana Khoja hasan ini, satu
Versi mengatakan bahwa ia dipecat lantaran fitnahan dari orang Tamil Muslim sehingga terbunuhlah 4 orang pejabat kerajaan yaitu :
1.    Tun Mutahir
2.    Tun Hasan
3.    Tun Ali
4.    Seri Nara Diraja

Dalam peristiwa ini Laksamana Khoja Hasan dipersalahkan karena lalai sehingga ada pejabat kerajaan yang terbunuh, kemudian ia dipecat dan diperintahkan meninggalkan Malaka. Dalam versi lain dia mengundurkan diri karena merasa cukup pengalaman dalam bidang kemiliteran dan bermaksud kembali ke Pasai untuk memperdalam lagi ilmu dibidang keagamaan. Setelah Laksamana Khoja Hasan mengundurkan diri,  jabatan Laksamana dijabat oleh Hang Nadim ( yang juga menantu Hang Tuah ).

Singkat cerita setelah 1 tahun mengundurkan diri yakni pada tahun 1511 Malaka diserang dan berhasil diduduki oleh Portugis, Sultan Mahmud Syah terpaksa mengungsi ke pulau Bintan. Dari pengungsiannya ini beliau meminta bantuan, karena untuk meminta bantuan ke Turki ( Pusat Islam ) terlalu jauh, maka pilihan jatuh ke Demak. Atas permintaan ini armada Demak Bintoro dengan dipimpin oleh Sultannya sendiri yakni Pati Unus pada tahun 1512/1513 menyerang Portugis di Malaka, tapi karena kurang persiapan maka kehabisan perbekalan sehingga pasukan ditarik mundur kembali ke Demak. Konon dalam penyerangan oleh armada Demak ini Fadhillah turut bergabung, tapi ketika armada Demak mundur Fadhillah tidak ikut ke Demak melainkan kembali ke Pasai. Di Pasai kegagalan serangan Demak ramai dibicarakan oleh para pejabat kesultanan maupun para ulama dan tokoh-tokoh masyarakat. Menurut analisa mereka kegagalan serangan Demak bukan semata-mata kurangnya perbekalan saja, tetapi juga kalah dalam teknologi persenjataan (ketika itu pasukan Demak belum memiliki meriam) serta belum memahami betul strategi perang menghadapi bangsa Eropa.
Berdasarkan saran para ulama, tokoh masyarakat serta para pejabat kerajaan yang takut serangan Portugis berlanjut ke Pasai maka berangkatlah Fadhillah merantau guna mempelajari teknologi pembuatan senjata api (meriam) dan strategi perang menghadapi bangsa Eropa yang lebih maju. Pilihan pertama yang dituju adalah negeri leluhurnya yakni daerah Nasrabat, India ( tempat asal Maulana Jamaludin Husein/Shekh Jumadil Kubro). Di Nasrabat setelah ia bertemu sanak kerabatnya dianjurkan menggunakan marga keluarganya yaitu Azmatkhan, sehingga namanya menjadi Fadhillah Azmatkhan, namun entah kenapa ia lebih populer dengan nama Fadhillah Khan saja yang orang Portugis melafalkannya menjadi Falatehan. Setelah selesai nmempelajari teknik pembuatan senjata api dan meriam, Fadhillah Khan melanjutkan perjalanan ke Turki guna mempelajari strategi perang melawan bangsa Eropa.
Konon kabarnya ketika di Turki Fadhilah Khan berhasil menjadi salah seorang perwira dan turut membantu Sultan Muhammad II (al-Fatih ) menaklukkan dan merebut Bisantium/Konstantinopel dari kekaisaran Romawi Timur yang kemudian dirubah namanya menjadi kota Istambul. Berita ini begitu melegenda di kalangan masyarakat Sumatra dan Malaysia, namun menurut Pengamatan penulis ini hanyalah mitos, karena penaklukkan Konstantinopel terjadi pada tahun 1453 ( ketika itu Fadhillah belum dilahirkan karena Fadhillah lahir tahun 1471 di Pasai ) sedangkan Fadhillah Khan berangkat ke Turki dari Nasrabat, India, sekitar tahun 1513 / 1514. Pada saat itu yang berkuasa di Turki adalah Salim I ( berkuasa tahun 1512 – 1520  sebelum digantikan oleh Sulaiman I yang berkuasa tahun 1520 – 1566 ).

 Pada tahun 1519 ketika Fadhillah bermaksud kembali ke Pasai, ternyata kapalnya tidak dapat memasuki selat Malaka karena sudah dikuasai Portugis yang pada tahun 1513 juga telah menguasai Pasai ( pada tahun 1525 wilayah Pasai berhasil direbut dari ribu Portugis oleh Kesultanan Aceh Darussalam dan dijadikan wilayahnya ). Karena tidak dapat masuk ke selat Malaka maka Fadhillah membelokkan kapalnya menuju Palembang kemudian diteruskan ke Cirebon guna menjumpai kerabatnya/pamannya yang menjadi penguasa Cirebon, yaitu Sunan Gunung Jati ( Sunan Gunung Jati putra Syarif Abdullah ibn Ali Nurul Alam / Maulana Israil. Ali Nurul Alam atau Kakek Sunan Gunung Jati ini adalah saudara kandung dari Zainul Alam Barokat kakek buyut dari Fadhillah Khan). Mengingat pada waktu itu kesultanan Demak Bintoro bermaksud mengadakan serangan kedua ke Malaka, maka oleh Sunan Gunung Jati, Fadhilah Khan diajak menghadap ke Demak  menemui Sultan Pati Unus ( Pati Unus menggantikan Raden Fatah yang meninggal pada tahun 1518 M ).
Kehadiran Fadhillah yang datang dari Turki dengan membawa teknologi perang yang baru tentu saja membesarkan hati pihak kerajaan Demak, oleh karena itu Fadhillah Khan langsung diangkat sebagai wakil pimpinan pasukan tertinggi, sedangkan pimpinan pasukan tertinggi dijabat oleh Pati Unus dengan gelar Senapati Sarjawala.
Serangan kali ini boleh dibilang besar-besaran, karena selain dipimpin oleh Sultan Demak sendiri penyerangan ini menggunakan sekitar 400 kapal dan membawa lebih dari 10 prajurit gabungan 3 kerajaan, sehingga sempat membuat Portugis was-was, tetapi sial, perang baru berlangsung tiga hari ada peluru nyasar menghantam Kapal yang berakibat gugurnya Pati Unus, maka untuk menghindari kehancuran total Fadhillah Khan segera mengambil alih pimpinan pasukan dan menarik mundur sambil menyelamatkan jenasah Pati Unus untuk dibawa kembali ke Jawa.

Kegagalan penyerangan besar-besaran ini membuat petinggi tiga kesultanan dan para Wali berhitung,  jika harus mengulangi serangan ke Malaka tentu membutuhkan biaya besar serta persiapan yang lama, maka atas saran Sunan Gunung Jati strategi dirubah, kali ini bukan menyerang ke Malaka tapi dengan memancing Portugis keluar dari Malaka. Untuk itu perlu membatasi ruang gerak sekutu Portugis di Jawa, yaitu kerajaan Pajajaran.  Secara kebetulan pula pada ketika itu kerajaan Pajajaran telah mengundang Portugis untuk membuat Benteng di Sunda Kelapa yang merupakan satu-satunya pelabuhan milik kerajaan Pajajaran yang tersisa setelah Cirebon dan Banten menjadi kerajaan Islam.
Kehadiran Armada Portugis ini telah ditungu-tunggu oleh pasukan gabungan di bawah pimpinan Fadhillah Khan. Dengan bekal teknologi persenjataan dari negeri leluhurnya ( Nasrabat India ) dan ilmu strategi menghadapi Eropa yang dipelajarinya dari Turki, maka Armada Portugis berhasil diluluhlantakkan pada tanggal 22 Juni 1527 M.
Pasca keberhasilan  menghancurkan Portugis di Sunda Kelapa, Fadhillah Khan beroleh Gelar baru Yakni Fatahillah yang artinya kemenangan dari Alloh, sedangkan tanggal 22 Juni ditetapkan sebagai hari jadi ibukota Jakarta.

Pada tahun 1568, Sunan Gunung Jati wafat, sedangkan cucu beliau yang direncanakan untuk mengganti kedudukannya ( Pangeran Adipati Cirebon ) justru telah meninggal lebih dahulu, oleh karena itu, Fatahillah diangkat menjadi Sultan Cirebon dan masyarakat Cirebon sering menyebutnya sebagai Sunan Gunung Jati II. Mungkin karena itulah orang sering keliru dan beranggapan bahwa Fatahillah dan Sunan Gunung Jati adalah orang yang sama, padahal mereka jelas berbeda.

Thursday, January 05, 2017

Atjeh Darussalam, Kakak Kandung Perjuangan

*TRANSKRIP HABIB MOHAMMAD RIZIEQ SYIHAB DI ACEH YANG MENGGETARKAN JIWA*

*Nusantarasatu.net* - Ketua Dewan Pembina Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI Habib Rizieq Syihab menyerahkan bantuan senilai 2 miliar dari Front Pembela Islam (FPI) seluruh Indonesia kepada korban gempa di Kabupaten Pidie Jaya Aceh.
Sebelum bertolak ke Medan Sumatera Utara, Habib Rizieq Syihab menyampaikan ceramah keagamaan dan kebangsaan. Di akhir ceramah yang dihelat di Banda Aceh tersebut, Habib Rizieq menyampaikan amanat.
Meski hanya 5 menit, amanat ini sangat menggetarkan jiwa. Tentang Islam, persatuan, perjuangan, dan bela Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berikut transkrip lengkap amanat Habib Rizieq Syihab di Banda Aceh.

"Saya punya satu amanat penting. Aceh adalah Serambi Mekah.
Aceh adalah Darussalam. Aceh adalah kakak tertua bagi Bangsa Indonesia. Islam pertama kali masuk ke Indonesia lewat Aceh.
Kerajaan Islam yang pertama ada di Perlak Aceh. Maka dari itu, Aceh harus memimpin Indonesia.
Aceh harus ‘menjajah’ Indonesia.
Maka saya meminta sekali lagi, Aceh adalah modal dan model bagi Bangsa Indonesia.
Kenapa saya katakan modal, Saudara?
Anda tahu, waktu perjanjian Internasional tentang kemerdeakaan Indonesia, salah satu syaratnya, kalau suatu Negara sudah dijajah seratus lima puluh tahun tanpa henti oleh Negara lain maka Negara tersebut menjadi milik Negara penjajah.
Saat itu semua wilayah Indonesia sudah dijajah. Hampir 350 tahun.
Tapi ada Aceh yang maju ke depan, Saudara. Apa kata Aceh?
Apa kata Aceh, Saudara? Aceh bilang, siapa bilang Indonesia dijajah Belanda? Aceh tidak pernah tunduk kepada Belanda.
Akhirnya tuntutan Belanda batal dan kemerdekaan Indonesia diakui secara Nasional bahkan Internasional.

Begitu merdeka, Indonesia belum punya kapal terbang. Yang pertama beli kapal terbang siapa? Aceh.
Yang pertama beli siapa? Aceh.
Yang modali kemerdekaan siapa? Aceh.
Yang jadi contoh siapa? Aceh.
Maka itu, dari hati saya yang paling dalam, Saudara, Saya menghendaki Aceh mulai dari hari ini sampai seterusnya ke depan harus menjadi lokomotif perjuangan Islam di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Harus menjadi lokomotif penerapan syariat Islam di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Maka itu, Anda jangan salah paham, Saudara;
kenapa Saya tidak setuju kalau Aceh lepas dari Indonesia?
Kalau Anda melepaskan diri dari Indonesia, Saudara, akibatnya ibarat kereta Indonesia kehilangan lokomotif, Indonesia kehilangan kakak tertua. Anda jangan tinggalkan Kami. Anda jangan tinggalkan saya dan kawan-kawan. Mari kita berjuang bersama-sama memerdekakakn Indonesia dari segala kemungkaran dan kezhaliman.
Sudah saatnya Aceh kembali ke sejarahnya dahulu, agar tidak hanya memikirkan Aceh. Pejuang-pejuang Aceh dahulu tidak hanya memikirkan nasib Aceh, tapi pejuang-pejuang Aceh dulu memikirkan agar seluruh Nusantara merdeka dari kebathilan, kezhaliman, dari penjajahan.
Saya berharap, Aceh ke depan bukan hanya menguasai dari Sabang sampai Merauke, tapi ke depan menguasai dari Sabang sampai Maroko.
Siap Islam bangkit dari Indonesia? Siap. Siap Islam bangkit dari Aceh? Siap. Siap bangkit? Siap. Siap satukan Indonesia? Siap.
Pokoknya Saudara, kalau ada satu wilayah mau berpisah dari Indonesia seperti Papua, tidak boleh kita izinkan. Kalau Papua mau merdeka, rame-rame kita ke Papua, rebut dan satukan Papua ke Indonesia. Jadi orang Aceh bukan hanya menguasai Aceh, tapi orang Aceh harus menguasai setiap jengkal di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
71 tahun kita merdeka, sudah cukup Islam dipinggirkan. Betul?
71 tahun kita merdeka, sudah cukup Aceh dibikin susah. Betul?
71 tahun kita merdeka, sudah cukup Bangsa kita dibuat susah. Betul?
Sekarang saatnya kita bangkit.
Mulai dari Aceh, lokomotif perjuangan. Selamatkan Indonesia dari semua jenis penindasan.
Siap bersatu?
Siap Siap berjuang?
Siap Siap cinta agama?
Siap Siap bela Allah?
Siap Siap bela Rasul?
Siap Siap bela Nabi?
Siap Siap bela Qur’an?
Siap Siap bela Islam?
Siap Siap bela Negara?
Siap Siap bela NKRI?
Siap Siap bela Aceh?
Siap Takbir! Sholluu ‘alan Nabii."

Dari Aceh,
Habib Rizieq Syihab mengunjungi Medan Sumatera Utara.

Sunday, January 01, 2017

Kita Adalah Musafir

Oe Mita ,-Syameela Channel:
Kita adalah Musafir

Safar yang ditempuh setiap manusia bercabang menjadi dua macam safar... Safar pendek dan safar panjang

Safar yang pendek ialah ketika kita berpindah dari satu tempat ke tempat lainya dengan mampu diperkirakan jarak dan temponya

Adapun safar yang jauh adalah safar yang ditempuh dari peralihan dunia menuju barzakh dan akherat

Batasan antara keduanya begitu tipis dan teramat tipis, bisa jadi dipagi hari memakai sepatu dalam safar yang pendek tapi di waktu sore yang melepaskan sepatunya orang lain ketika telah berpindah ke safar yang panjang... Siapapun yang takut kepada Alloh pada safar yang pendek, maka ia akan tenang safar yang panjang... Siapapun yang letih beribadah pada safar yang pendek maka ia akan istirahat tanpa finish pada safar yang panjang

Letihlah.....
Sedihlah....
Menangislah.....
Kecewalah...... Dalam safar yang pendek,

Dengan keihlasan beribadah dan ridho menerima apapun taqdir Nya

Kelak letih berganti rehat
Kelak sedih berganti gembira
Kelak tangis berganti ceria
Kelak kecewa berganti suka cita

Pada safar yang panjang.... Semua hanyalah masalah waktu, layaknya orang yang berpuasa menunggu waktu berbuka

Sabarkanlah wahai jiwa... Oemar mita
Laa tansana min duaikum