Friday, March 08, 2019

Terus Terang

Harga tiket untuk moda transportasi canggih baru di Jakarta: MRT dan LRT telah diusulkan. Untuk *MRT* harganya *Rp 10.000,-* untuk *LRT* harganya *Rp 6.000.-*

Sebelum kita semua bersorak senang melihat harga ini, mari kita bentangkan faktanya dulu, biar semua bisa terus-terang. *Bahwa untuk setiap lembar tiket LRT tersebut, pemerintah akan mensubsidi Rp 35.655,- sedangkan untuk setiap lembar tiket MRT tersebut, pemerintah akan mensubsidi Rp 21.659.-* Kenapa disubsidi ? Karena memang adalah faktanya, pembangunan moda transportasi canggih ini mahal. Jika tiket yang dikenakan full sesuai skala ekonomisnya Rp 30.000,- - Rp 40.000,- sekali jalan, itu MRT dan LRT tidak ada penumpangnya. Itu bisa jadi aib raksasa. Susah2 dibangun ternyata sepi. Toh, subsidi boleh2 saja.

Maka, mari kita berhitung dengan angka-angka. Jika dalam sehari (asumsi) ternyata jumlah penumpang LRT adalah 500.000 orang, itu artinya pemerintah membayar subsidi sebesar 17,8 Milyar setiap harinya. Berapa setahun? Rp 6,5 trilyun. Jika MRT juga punya penumpang yang sama sebanyak 500.000 per hari, subsidinya setiap hari adalah Rp 10,8 Milyar, setahun totalnya Rp 3,9 Trilyun. Dikombinasikan, MRT dan LRT itu berarti setiap hari pemerintah mensubsidi Rp 28,6 milyar, dalam setahun Rp 10,439 Trilyun. Tentu jumlah subsidi tidak akan sebesar ini jika ternyata penumpang hanya 100.000 orang per hari, atau lebih kecil.

Tapi berapapun jumlah penumpang, semua orang harus tahu persis bahwa:

1. Setiap lembar tiket yang digunakan naik LRT dan MRT itu ada subsidinya. Dan itu tidak kecil. Jika kalian pergi ke toko buku, lantas dibilang, setiap buku pendidikan yang kalian beli akan disubsidi sebesar Rp 35.000, wow, bayangkanlah seperti itu situasinya. Mau sejuta orang yang beli buku, semua dapat subsidi RP 35.000 setiap bukunya. Jika kalian pergi ke warung, diberitahu bahwa setiap susu, daging, makanan bergizi buat anak2 kita disubsidi RP 35.000  setiap kantong kresek, wow, kita juga akan berseru girang. Tapi sorry, pemerintah dalam urusan ini lebih memilih mensubsidi orang naik LRT dan MRT. Bukan yang lain.

2. Jika kalian naik LRT dan MRT, siapapun kalian, ingatlah, kalian disubsidi banyak orang. Penduduk di kampung kumuh, pedagang kaki lima, orang2 yang tinggal di bantaran kali, orang2 miskin, anak2 putus sekolah, mereka semua ikut mensubsidi kalian. Well yeah,  jangan merasa bersalah juga, santai saja, karena orang2 miskin ini sudah dapat kartu tunjangan loh, mereka dapat bansos, kartu keluarga sejahtera, jumlahnya katakanlah Rp 110.000/bulan. Mereka sebulan dikasih Rp 110.000 sebulan untuk susah payah menyambung hidupnya, kalian pengguna LRT dan MRT Rp 35.000 setiap perjalanan naik (kalau kalian sehari naik 4-5 kali, hitung sendiri subsidinya). Jadi semua telah disubsidi. Masalah adil atau tidak, well, yang pakaiannya keren, sepatu kinclong, kerja di kantor ber-AC, naik LRT, MRT, memang berhak disubsidi lebih keren. Orang2 miskin ini kan tidak bayar pajak juga, mereka seharusnya diusir dari Indonesia. Perusak pemandangan. Gusur! Gusur! Gusur!

3. Cam-kan di kepala kalian, catat baik2, setiap kali kalian mau melangkah naik MRT dan LRT, setiap tiket kalian disubsidi. Omong kosong soal nasihat lama itu. Sebaliknya yang ada, jangan tanyakan apa yang kita berikan kepada negara, tapi tanyakanlah apa yang diberikan negara kepada kita. Toh, yang kita terima dari subsidi MRT dan LRT ini masih keciiil saja dibanding yang diberikan negara kepada pejabat2 sana. Mereka terbang naik kelas bisnis, hotel berbintang, mobil dinas, dll, dll, dll. Jadi ngapain juga kita harus merasa terbebani dengan fakta itu.

4. Apakah orang2 kampung kumuh menikmati LRT dan MRT? Apakah jutaan penduduk Indonesia lain menikmati LRT dan MRT? Apakah ratusan juta penduduk Indonesia menikmatinya? Tanyakan pada rumput yang bergoyang. Lagian salah mereka sendiri, kenapa tidak ikutan naik saja. Kan tinggal siapkan uang 6.000 sudah bisa naik. Ow, mereka bahkan tidak punya uang 6000 untuk menikmati LRT, MRT, ampun dah, uang segitu saja tidak punya?

Kurang lebih demikian keterusterangan ini ditulis. MRT dan LRT sudah jadi. Mari bersulang memuja kehebatannya. Mari kita puja-puji semua kehebatannya. Lupakan soal trilyunan uang yang dibakar untuk membangun dan kemudian mensubsidi mobilitas orang2. Di negeri ini, kita memang lebih memilih membakar uang demi perjalanan, dibanding susu buat anak2 kita, buku buat anak2 kita, dan hal2 sejenis lainnya.

Tidak usah buru2 marah2 membaca tulisan ini. Saya ini tidak membenci siapapun. Rugi benci-membenci. Toh, Tere Liye itu penulis abal2 saja. Dia kalau nulis, datanya ngaco, tak paham sejarah, dan semua kejelekan lainnya. Jadi kalian tidak perlu marah. Tulisan ini cuma untuk membuat sedikit keseimbangan. Biar kita bisa melihat banyak hal dari banyak sisi pula. Tidak hanya mampet di sisi itu saja. Cinta buta, atau benci buta.

Tere Liye

No comments: