Monday, April 08, 2019

Al Hambra...

Sore itu menjelang Maghrib datang, saya termangu di depan masjid raya Granada Spanyol.

Di kiri tatap mata saya, searah jarum jam di angka sebelas, Sierra Nevada mengintip sayu berlumur salju, nemantulkan cahaya yang melemah ditimpa mentari senja nan kuyu.
Dia selalu begitu.
Bertahun-tahun...berabad-abad menjadi saksi bisu.
Tentang kekuatan dan kelemahan.
Tentang kekejaman dan kebijaksanaan
Tentang kekuasaan yang dipergilirkan.
Tentang sejarah yang diputar balikkan.

Di seberang lembah,  istana Al Hambra masih berdiri gagah di antara rintihan maut ke maut yang menguasai kecongkakan mahkota yang direbut.

Saya tak habis pikir, bagaimana 8 abad kejayaan Islam habis raib. Dan kini tinggal cerita lara yang tak dipeduli kaum muda.

Saya membayangkan bagaimana suasana hati  Abu Abdillah Muhammad Ash-Shagir dari Bani Al-Ahmar saat menyerahkan kekuasaan yang diamanahkan kepadanya turun temurun dari nenek moyangnya.
Dalam sekejap mata harus diserahkan kepada si rakus Ferdinand dan  Isabella yang licik luar biasa.

Saya tak tahu, apakah tempat yang saya pijak ini merupakan bukit tempat  Aisyah Al-Hurrah ibunda Shagir Sang Raja terakhir itu berdiri membentak anaknya; “Kini kau menangis seperti seorang perempuan, padahal kau tak pernah melakukan perlawanan layaknya seorang lelaki sejati".

Bayangkan 800 abad Al Andalus berjaya.
Lihatlah jejak peradaban yang ditinggalkannya di Sevilla, Cordoba, Granada, Malaga, dan sebagainya.
Saat itu Cordoba bahkan jadi pusat peradaban Eropa. Semua ilmu pengetahuan dan teknologi Eropa berkiblat ke sana.
Istana-istana, benteng-benteng, masjid-masjid dan gereja, beserta gedung-gedung tua bercita selera tinggi adalah salah satu bukti yang tak terbantahkan.

Lalu bandingkan
Dengan Republik Indonesia yang baru berusia menjelang 74 tahun.

Siapa bilang mustahil Indonesia akan punah?
Bukankah itu kepedean atau memang nalar dan hati sudah tak berfungsi?

Mari belajar dari kehancuran Andalus yang dulu sesungguhnya sudah diduga dan dirisaukan para pemimpin Islam di  Ottoman.

Alam selalu memberikan tanda-tanda sebelum bencana datang.

Dan itu juga terlihat di bumi pertiwi ini kini.
Negeri yang baru berumur setampuk jagung dan belum ada apa-apanya jika dibanding dengan kejayaan Andalus.

Andalus hancur karena generasi mudanya tak peduli politik, mabuk dalam gemerlap dunia, sibuk membangun fisik tapi lupa mengokohkan MENTAL dan SPIRITUAL.  Maksiat yang dianggap biasa, dan menjauh dari ibadah  yang menghimpun segenap kebajikan.

Nak menangislah kini karena LELAH dalam kerja keras dan memperjuangkan nasib orang susah.

Nak..menangislah kalian saat ini karena begitu beratnya melawan godaan untuk taat beribadah.

INGAT
JANGAN sampai nanti baru menangis saat tanah airmu dirampok orang.

Menangislah kini...
Jangan tunggu saat kekalahan itu tiba nanti.

Jangan ulangi ratapan cengeng Abu Abdillah Ash Shagir.

Karena tangis penyesalan sungguh tak berarti sama sekali.

Tatty Elmir
Granada Awal Maret 2019.

No comments: