Monday, January 21, 2008

Suara Hati Petani Kedelai


Suara Hati Petani Kedelai

Oleh :

Anton Apriyantono
Menteri Pertanian RI

Menjadi petani kedelai awalnya karena aku lahir dari keluarga petani
kedelai. Memanfaatkan lahan dan iklim yang sesuai dengan kebutuhan
tanaman kedelai merupakan tradisi lama turun-temurun. Pilihan ini
bagiku merupakan keputusan yang mulia, setingkat dengan dokter yang
mengobati orang sakit, guru yang mencerdaskan rakyat, dan pemuka agama
yang menyebarkan ajaran-NYA.

Aku berusaha menjadi pekerja keras, banting tulang di terik matahari
yang panas untuk mengemban tugasku. Di bawah terik matahari aku
mengolah tanah, menanam, dan merawat kedelai yang nota benenya tanaman
subtropis, yang tentu memerlukan teknologi yang tepat agar
produktivitasnya masih bisa tinggi walau ditanam di daerah tropis.

Alhamdulillah dengan ketekunan dan sentuhanku, kedelai dapat
diselamatkan dari serangan hama dan penyakit yang jumlahnya sangat
banyak. Juga dapat diselamatkan dari kondisi curah hujan yang sering
tidak menentu karena tanaman kedelai ini rentan terhadap curah hujan
tinggi.

Aku merasa bahagia dan bangga sekalipun secara ekonomi usaha taniku
pas-pasan. Menjadi kaya hanya angan-angan, naik pesawat hanya impian,
kalau makan cukup saja sudah bersyukur. Kepuasanku manakala aku dapat
berkontribusi menyediakan makanan sehat kegemaran saudara sebangsa dan
setanah airku, yaitu tempe, tahu, kecap, dan tauco.

Saat panen raya, harga meluncur jatuh, aku hanya menangis seorang
diri. Jerih payah dan pengorbananku memang tidak sia-sia, tetapi tidak
mendapatkan penghargaan yang sepadan dari mitraku.

Dalam pikiran sederhanaku, mengapa harga tahu dan tempe tidak pernah
turun, tetapi harga kedelai naik dan turun? Mungkinkah pengrajin tahu
dan tempe sangat bergantung pada importir kedelai sebagai akibat
importir membanjiri produk sejenis dari impor sehingga harga kedelaiku
jatuh? Aku tidak peduli, mau pedagang dan pengrajin kedelai mengimpor
kedelai dengan harga semu lebih murah, aku tetap bertanam kedelai.

Sekalipun produk kedelaiku dicerca mutunya kurang baik, warnanya
kurang bersih, harganya mahal, pasokannya tidak kontinu, aku tidak
peduli. Sekali berproduksi, tetap berproduksi, aku yakin pasti ada
pengadilan yang paling tinggi, tidak bisa diintervensi, apalagi disogok.

Dalam kondisi tertekan, aku tetap tegas dan berprinsip: siapa yang
menanam pasti memanen, siapa berbuat baik maka merekalah yang akan
memetik hasilnya kelak di kemudian hari. Bertahun-tahun prinsip itu
aku pegang, sambil berusaha dan terus berdoa agar nasibku dan
keluargaku dimuliakan.

Sekalipun aku dizalimi bertahun-tahun, aku tidak pernah protes,
apalagi berdemo sampai Istana Presiden. Selain tidak punya biaya,
buang-buang waktu, aku tahu diri karena belum banyak yang bisa aku
perbuat untuk negeri ini. Masak minta-minta terus, aku malu sekalipun
rakyat miskin dan tidak mampu.

Aku selalu tulus, berprasangka baik kepada siapa pun termasuk kepada
pedagang kedelai dan pengrajin tahu tempe yang beberapa kali
menjatuhkan harga kedelaiku. Aku tetap pasrah atas nasib setelah
berusaha dan berdoa sesuai kemampuanku.

Aku percaya sepenuhnya bahwa di atas pengadilan pasti ada pengadilan
yang paling adil dan tidak dapat dipengaruhi atau diintervensi siapa
pun, apa pun pangkat, posisi, dan kekuatan finansialnya. Aku juga
sadar kebanyakan masyarakat masih miskin dan memerlukan pangan bergizi
tinggi yang murah, pangan berbahan baku kedelai adalah pilihannya.

Kesabaranku berbuah ketika tahun 2007, harga jagung melonjak akibat
trade off dengan penggunaan bioenergi. Lahan potensial pertanaman
kedelai baik di Indonesia maupun di Amerika dialihkan menjadi lahan
jagung. Pasokan kedelai nasional turun, konsumsi tetap bahkan ada
kecenderungan meningkat seiring dengan pertambahan penduduk, harga
kedelai impor melonjak tidak tertahankan. Pedagang, pengrajin tahu dan
tempe menjerit dan panik karena harga kedelai melonjak melebihi ambang
psikologis.

Memanfaatkan jejaringnya, mereka membangun opini publik, protes,
berdemo ke Istana Presiden dan DPR untuk memprotes kenaikan harga
kedelai dalam negeri seakan hanya mereka yang terzalimi, lupa jika
petani kedelai sudah jauh lebih lama terzalimi. Bahkan, secara terbuka
mereka mengancam mogok produksi sampai ada keputusan pemerintah untuk
menurunkan harga kedelai.

Mereka lupa, kalau aku mogok juga, memang mereka bisa dan bakal jadi
apa? Mereka lupa berpuluh tahun petani kedelai tetap setia bertani dan
tidak pernah mogok. Andai petani mogok satu musim saja, apa yang akan
terjadi di negeri ini?

Pemerintah terpaksa menurunkan bea masuk impor kedelai untuk sedikit
meringankan beban pengrajin tahu dan tempe. Pengrajin lupa kondisi
chaos ini produk resultante perlakuan mereka terhadap aku dalam waktu
yang lama.

Tanpa disadari mereka melupakan keringat petani yang sudah miskin dan
tidak punya kemampuan untuk demo sekalipun. Mereka memanfaatkan
mahalnya harga komoditas strategis kedelai untuk memperoleh perhatian
dan dukungan masyarakat. Apalagi, saat ini tahu dan tempe merupakan
makanan dengan spektrum konsumen luas dan fanatik, termasuk keluarga
kaya, terdidik, perkotaan.

Ada yang memanfaatkan
Keresahan itu tanpa disadari terus di blow up dan dimanfaatkan oleh
sebagian kalangan untuk mendiskreditkan pemerintah. Mereka hanya ingat
nasib mereka, bagaimana dengan nasibku dan jutaan petani sepertiku?

Mereka lupa untuk mendapatkan pangan bergizi yang murah itu diraih
dengan mengorbankan nasib petani yang harus mendapatkan keuntungan
yang sangat kecil dari hasil usahanya. Mereka tak sadar kedelai impor
yang murah itu bukan karena usaha pertanian di negara pengekspor
(Amerika) lebih efisien, tapi lebih karena petani di negara tersebut
disubsidi dan ekspor kedelai mereka ke negara lain juga disubsidi
dengan berbagai fasilitas.

Andai subsidi itu tidak ada maka aku berani bersaing dengan mereka.
Sekarang terbukti, begitu lahan kedelai mereka berkurang, harga
kedelai mereka lebih mahal dari harga kedelai lokal, apalagi jika
subsidi dicabut.

Belajar dari pengalaman pahit ini, maka aku mengimbau agar pengrajin
tahu dan tempe serta pedagang kedelai harus mau bermitra dengan petani
kedelai sepertiku. Mari saling bersinergi, saling menghidupi, dan
hubungan mutualistik ini harus kita jaga keberlanjutannya. Jangan
silau dengan godaan kedelai impor karena harganya semu dan mungkin
saja muslihat asing untuk menghancurkan pengembangan kedelai nasional
agar Indonesia selalu bergantung pada negara maju tertentu.

Jika pengrajin tahu dan tempe membutuhkan kepastian usaha dengan harga
kedelai yang stabil dan terjangkau maka aku juga butuh kepastian usaha
dengan harga kedelai yang memberi keuntungan usaha yang layak. Aku
berharap mereka serta pedagang kedelai mau membuat kontrak denganku
dan dengan petani kedelai lainnya agar yang aku usahakan ini mendapat
jaminan pemasaran dengan harga yang layak.

Mari perbaiki keadaan ini mitraku, agar azab yang lebih besar tidak
datang lagi. Kalau itu terjadi, kita akan hancur bersama. Peringatan
dan pelajaran dari kejadian akhir-akhir ini harus diambil hikmahnya,
jangan sampai jatuh dan celaka pada masalah yang sama.

http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=320267&kat_id=16

No comments: