Friday, June 25, 2021

KOMPAS ETIS KEPEMIMPINAN

Oleh: YUDI LATIF




Hanya karena panggilan sejarah yang tak terelakkan, demi menghindari perpecahan bangsa yang baru merdeka, pemimpin besar perang kemerdekaan Amerika Serikat George Washington mau menerima pengangkatannya sebagai presiden AS yang pertama. Setelah masa jabatan kepresidenan pertamanya berakhir, dia berniat kembali ke kompleks peternakannya. Namun, niat itu terpaksa ia urungkan, mengingat kondisi republik muda yang masih goyah dirundung konflik elit kekuasaan.




Setelah masa jabatan keduanya berakhir, dia bisa saja berkuasa lagi hingga kapan ia mau. Tapi, kompas etis kepemimpinannya mengatakan "enough is enough". Keberlangsungan republik tak boleh bergantung pada seseorang sebesar dan sehebat apapun orang itu. Tunas-tunas baru harus meneruskan tongkat estafet kepemimpinan.




Praktik kekuasaan Washington itu kemudian menjadi konvensi, standar etis masa bhakti kepresidenan, Meski Konstitusi AS aslinya tidak memberikan batasan berapa kali seseorang bisa memegang jabatan Presiden, namun setiap ada orang yang berhasrat mencalonkan lagi setelah dua kali terpilih, kepekaan rasa mahunya selalu tak sanggup menghadapi pertanyaan gaib nurani publik. "Apakah anda merasa lebih hebat dari Washington?"




Demikianlah, warisan terhebat dari seorang pemimpin adalah standar dan visi etis yang ditinggalkannya. Sumbangsih kepemimpinan tidak ditentukan oleh seberapa lama seseorang berkuasa, melainkan nilai apa yang dibudayakannya selama berkuasa. Kepemimpinan negara ini pusat teladan, ibarat mata air yang darinya mengalir sungai-sungai kehidupan yang memasok air ke hilir. Seperti apa mutu air di hulu akan memengaruhi mutu kehidupan di hilir.







Dalam demokrasi luhur adab, hukum berenang di lautan etika. Defisit institusi dan peraturan selalu bisa ditutupi oleh kedalaman moralitas penyelenggara negara dan warganya. Dalam demokrasi rendah adab, surplus pasal konsitusi dan undang-undang tak membuat kepastian dan tertib hukum, melainkan selalu dicari celahnya untuk disiasati demi kepentingan sesaat. Setiap ada usulan untuk mengembalikan konsitusi ke rel yang benar, selalu ada penumpang gelap yang membonceng di belakangnya.




Berbagai ekspresi ketidakpatutan etis dalam ruang publik kita mengindikasikan rendahnya literasi moral di lingkungan elit negeri. Seperti tak punya rasa malu, saut tingkat keterpaparan Covid-19 melonjak dan keterpurukan sosial-ekonomi memagut, elit politik masih berlomba mendendangkan lagu keberhasilan dalam adu pencitraan. Seperti tak bisa merasa, tingginya kedudukan dan pengaruh dulan politik seolah bisa menerabas apapun ambang kepatutan.







Tinggi rendahnya keadaban elit politik itu bisa bisa dilihat dari caranya menghormati dan memajukan dunia pendidikan. Bahkan semasa perang dunia sekalipun, lumbung ilmu seperti Universitas Heidelberg dan Sorbonne tak disentuh serangan militer.




Kebiadaban suatu bangsa terlihat dari usaha politisasi dan eksploitasi dunia pendidikan untuk tujuan tujuan pragmatis. Elit politik di negeri ini malah berlomba meraih gelar-gelar akademis dengan cara-cara yang dapat merendahkan standar mutu dan wibawa dunia akademis.




Yang lebih memprihatinkan lagi, para ilmuwan dan dunia pendidikan sendiri sebagai benteng nalar dan moral juga hanyut dalan arus pengkhianatan intelektual. Bukan bicara benar pada kekuasaan, tetapi membungkuk pada kekuasaan. Para spin doctors (konseptor, surveyor, influencer politik) menjadi instrumen rekayasa penyimpangan politik.




Para rektur perguruan tinggi tega merendahkan martahat dunia pendidikan dengan "menjual" bangku dan gelar akademik dengan harga yang murah.







Tak ada konstitusi yang bisa dipenuhi imperatifnya tanpa basis moral. Seperti diingatkan John Adams pada para milisi Massachusetts, "Konsitusi kita dibuat hanya bagi orang-orang religius dan bermoral." Pasal konstitusi terus ditambah, berbagai undang-undang terus diproduksi, namun tak membuat negara ini berjalan di atas rel yang benar, karena kita mengalami defisit keteladanan dan semangat moral penyelenggara negara.




Jauh-jauh hari Mr. Soepomo telah mengingatkan: "Paduka Tuan Ketua, yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hidup negara ialah semangat, semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan. Meskipun kita membikin undang-undang yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan, apabila semangat para penyelenggara negara, pemimpin pemerintahan itu bersifat perseorangan, undang-undang dasar tadi tentu tidak ada artinya dalam praktek."




Tanggung jawab terpenting dari pemimpin negara adalah sebagai "penjaga konstitusi". Dalam ketidaksempurnaan konstitusi dan kelembagaan yang ada, kepemimpinan kharismatik bisa menutupinya dengan kewibawaan moral. Dalam kaitan itu, Lyndon B. Johnson mengingatkan, "Tugas berat seorang presiden bukanlah mengerjakan apa yang benar, melainkan mengetahui apa yang benar."




Untuk mengetahui apa yang benar, seorang Presiden harus menemukan panduan dari norma-norma fundamental. Bahwa praktik demokrasi harus disesuaikan dengan mandat konstinusi, karena pengertian 'demokrasi konstitusional' tak lain adalah demokrasi yang tujuan ideologis dan teologisnya adalah pembentukan dan pemenuhan konstitusi.




Setelah mengetahui apa yang benar, Presiden harus bisa bertindak benar dengan integritas moral yang tak mudah goyah. "Sebagai presiden," seru Abraham Lincoln, "Aku tak punya mata kecuali mata konstitusi. Dengan mata konstitusi, presiden bisa mengetahui apa yang benar Dengan integritas moral, presiden bisa bertindak benar, yang bisa mewariskan standartis dalam kehidupan republik. Bahwa hidup ini pendek, sedang kehidupan itu panjang. Maka, janganlah demi kepentingan penghidupan-kekuasaan jangka pendek. kepemimpinan mengorbankan prinsip-prinsip kehidupan untuk jangka panjang.




Editor: MADINA NUSRAT

No comments: