Monday, June 10, 2013

IZINKAN AKU MENCINTAIMU WALAU AKU LIBERAL": KETIKA FILSAFAT DAN CINTA TIDAK LAGI BERJARAK (SEBUAH NOVELET FILSAFAT PART I)

*Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi**



*Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami
telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi ? (QS Al 'Ankabuut 2).*





 Ciputat I am in Love. Saat pelupuk hamparan indah danau kecil Situ Gintung
meriak-riak ingin dilempar batu. Ketika wewangian alam terhampar berserambi
kalbu. Tidak ada yang bisa menulis kisah cintanya sendiri, sekalipun mata
pena sudah memoncong siap melukis.



Arisiska Lenila Wahid, Perempuan muda satu-satunya yang mampu menjadi Ketua
Umum BEM Fakultas Ushuluddin dan Filsafat tahun ini. Frederich Nietsczhe
berkelamin perempuan yang menikam “Tuhan” memang banyak, tapi yang sanggup
membunuh cinta, belum ada. Ia sadar bahwa ia benar-benar jatuh cinta pada
seorang ikhwan hanif itu. Hati itu muncul begitu saja, sekalipun Arisiska
sendiri antara percaya Tuhan dan tidak.



Ia termenung bingung. Tidak bisa berbuat apa-apa melawan hatinya. Hanya diam
menunggu. Fokus belajar menjadi pecah. Bayangan wajah Immanuel Kant berubah
menjadi Sayyid Quthb. Tampilan fresh kekasihnya lambat laun buyar berganti
wajah bersih Alika Reza, ketua Forum Mahasiwa Muslim UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta itu. Arisiska tak mampu menutup hati bahwa ada candu cinta dalam
hatinya, ya melebih candu yang digagas Marx.



Arisiska terdiam, matanya jarang berkedip. Persis seperti ayam sakit.
Pikirannya melayang-layang pada temaram tampang lugu Reza, seakan pria baik
itu berada di hadapannya berkata bahwa perempuan tidak boleh merokok.
Arisika seketika mematikan tembakaunya, lalu pindah menulis catatan diary
kesehariannya,



“Bolehkah jika aku jatuh hati kepada seorang pria alim, baik, jujur? Kendati
aku hanya sanggup berjilbab sebelum sampai garis finish: Tidak panjang,
tidak lebar, terlebih longgar. Membiarkan poniku mencuri-curi keluar diterpa
angin dan tidak ada manset mengelilingi gelangan tanganku.” Arisiska
merenung.



 “Haruskah aku mabit di rumah Sayyid Quthb setelah sorenya baru saja pulang
dari rumah Nietsczhe berdiskusi bahwa Tuhan hidup lagi? Apakah ini yang
namanya cinta, akhi? Kenapa rasanya tidak merah dan warnanya mesti pahit.”
Imbuhnya berfilosof lebih dari cinta. Ini Filsafat Cinta. Tidak bisa
ditampung dengan Psikologi Cinta. Wadahnya tidak muat. Termasuk diuraikan
oleh cinta itu sendiri. Istilah “cinta adalah kata kerja” sudah expired.
Sekarang zamannya berganti dengan idiom: cinta adalah subyek yang membuat
manusia akhirnya menjadi kata kerja itu sendiri. Aneh, entahlah, namanya
juga Filsafat.



Namun Arisiska sadar sepenuhnya. Jarak antara mereka bagai Madinah dan
Argentina. Reza adalah seorang guru ngaji . Sedangkan Arisiska sendiri
adalah guru Filsafat. Tepatnya dedengkot filsafat pengugur tema bahwa Tuhan
itu ada. Reza kerap menangis kala shalat menderu sendu. Sedangkan Arisiska
adalah peledek bahwa ibadah shalat adalah absurd. Persis yang diucap Albert
Camus. Baginya tuhan, Tuhan, dan TUHAN itu relative. Mau ditaruh dimanapun
huruf kapital itu, ilmu berdasar ketuhanan tetap saja tidak jelas
juntrungannya. Jika Ahmad Wahib hanya mampu gelisah, Arisiska menjadi
penggerak koordinator Pusat Feminisme Lingkar Ciputat, penampuk beasiswa
shortcourse di McGill University dua bulan lalu. Program beasiswa yang jamak
ditemui di UIN atas inisisasi DEPAG dan CIDA Kanada., mereka “saling
paradoks”.



Ya Arisiska bukan saja Harvey Cox muda, tapi ia Descartes berkelamin
feminim, sekaligus David Hume berkerudung. Sekalipun suka gerahan bila
tudung hijab itu menyelimuti rambut hitamnya. Jadilah gerutu makhota itu
dikabulkan, dan kalau pergi ke kafe buku, suka tidak menutup aurat. Tidak
ganjil baginya yang tergolong santriwati sebelumnya. Dan ironisnya Arisiska
kelewat cantik. Manis tapi bengis. Pintar tapi menggelegar. Arisiska tak
sanggup menahan kata,



"Izinkan aku mencintaimu. Walau aku tidak berjilbab. Walau aku tidak shalat.
Walau aku baru merasakan cinta seaneh ini"



Filsafat Arisiska sudah mentok. Bagaimana mungkin cinta dalam hatinya
mengalir pada muara seorang Reza sang ikhwan hanif itu sementara ribuan
lelaki menantinya. Tapi pilihan hatinya sudah bulat: Ia tidak dapat
menampik, memiliki hati kepada lelaki itu. Koma! Khususnya Ikhwan yang suka
meluruskannya pada diskusi-diskusi di jurnal-jurnal Filsafat Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Titik!



“Haruskah Nietsczhe mengucapkan salam kepada Hasan Al Banna?”



Tepat berdekatan dengan kemayu gedung Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Arisiska berdiri tercenung. Matanya kosong memandang jendela kosnya
menghadap Situ Gintung seakan Alika Reza menatapnya dari kejauhan. Ia
memegang buku History of western Philosophy Bertrand Rusell dan Reza syahdu
mengulum Tafsir Fii dzilahil Qur’an Sayyid Quthb. Kedua buku itu tebalnya
lebih dari seribu. Antara Libya dan Irlandia: Ketika Filsafat dan Cinta
berjarak.



Dua insan pintar, pandai, walau yang satu masih berasa asin. Di kamar kos
khas perempuan dengan cat merah jambu tipis itu, hatinya berbunga sekaligus
bingung.



“Biarkan aku menjadi diriku sendiri untuk lebih tertarik dg Tocqville,
Freud, Camus, Feurbach, Karl Marx. Ya daripada membaca Hasan Al Banna, Abul
ala al Maududi, dan Sayyid Quthb. Ada yang salah? Bukankah Tuhan senang
melihat muslimah pintar dan tidak hanya di dapur? Bukankah Tuhan melihat
amal hambanya, dan bukan dari bacaannya?” Teka-tekinya persis seperti anak
Filsafat yang suka makan logika daripada menguyah perasaan.



Sampai saat itu ia teringat, merenungi dialog antara dirinya saat kali
pertama bertemu Sang Ikhwan lembut itu minggu lalu.



“Kenalkan saya Alika Reza dari Forum Mahasiswa Muslim UIN” Ucap Reza pasca
mengucap salam di depan kos Siska. Reza sekuat tenaga menahan pandangan
melihat soft lens oranye pada mata Siska. Cantik memang, juara Fashion Show
Pakaian muslimah di Fakultas Dakwah dan Komunikasi, bulan silam.



Rambutnya berurai tanpa jilbab siap menggoda bujang lapuk plus tipis iman.
Saat itu Arisiska hendak keluar. Sebuah jaket hitam sudah terpasang menutupi
tubuhnya, memanjang hingga mencium tulang kering. Sisi kerahnya menjulang ke
atas mengelingi leher dan ujung pipinya persis seperti orang Eropa di Musim
dingin. Di tangannya tergenggam buku Anthony Gidens, Transfromacy of
Intimacy. Anggun sekali. Maklum foto model freelance. Tapi jika sudah
fashion show jilbab muslimah, ia siap melenggok menutup auratnya.



Arisiska sedikit tersenyum terpaksa, “Saya sudah kenal. Setahu saya anda
mahasiswa Tafsir Hadits dan Fakultas Dakwah bukan?” balas pengusung
Feminisme itu memancing.



Reza benar-benar kikuk. Ia tidak pernah melihat Siska secara dekat,
sekaligus juga tidak berani. Candu syahwat bisa datang walau tak diundang.



Posisi ikhwan yang berajut dalam kepribadiannya harus ditahan melihat wajah
ayu Arisiska. Reza hanya mampu bertasbih sekaligus beristighfar,
bagaimanapun jabatannya adalah Ketua Umum Forum Mahasiswa Muslim UIN. Iman
tidak boleh kalah dengan hasrat dunia. “Iya saya mengambil dua jurusan.
Sebelumnya saya juga sudah kenal Arisiska di Jurnal Afkar, saya sering baca
tulisannya. Suka Filsafat ya?”



Arisiska mulai grogi, “Saya dari Aqidah Filsafat, tadinya ambil dua jurusan
salah satunya di Syariah program Perbandingan Mazhab Fiqh. Tapi cukup letih
jadi studi Syari’ah terpaksa dipending dulu.”



“Ooo. Hebat ya?”



Senyum Arisika tipis.



“By the way, ada apa ya?”



“Begini, saya mengundang kawan-kawan BEM Ushuluddin untuk hadir di workshop
kita bulan desember nanti” Tahan Reza hanya menunduk saja, tak berani
menatap langsung wajah kemayu Siska lama-lama.



“Oh oke” Siska mulai welcome. “Temanya apa?” sambungnya.



“Konsep Islam dan Negara: Bedah dari Sayyid Quthb, Taqiyudhin An Nabhani,
Abdullah Azam dan Abul ala Al Maududi”



Sudah naik level, kalau sudah urusan beginian, bau filsafatnya keluar,
“Memang konsep negara Islam itu ada? Saya baru tahu. Ini kan bukan Kairo.
Alexandria pun tidak merumput disini. Ini kan Jakarta, yang tidak ada Sphinx
melingkarinya.” Tegas Siska membalas cepat-cepat.



“Bukankah Islam berlaku dimana saja, Siska?” Hentak Reza tegas tapi kalem.



Arisika masih cool, pertanyaan model ini gaweannya anak Akidah Filsafat yang
bantar tidurnya memang buku. “Tidak! Islam adalah sejarah yang terus
bergulir dan heurmenetika adalah jalan keluarnya. I think so” Arisiska mulai
membaca surat undangan itu. “Aku rasa sebagai mahasiswa Tafsir, mata kuliah
Metode Orientalisme sudah kau lewati?” Serang balik Siska tanpa aba-aba,
matanya tetap memanah tempat dan waktu acara.



Reza gantian tersenyum.



“Maaf kalau aku agak aneh, maklum anak Filsafat”



“Ah tidak semua mahasiswa Filsafat aneh. Saya juga suka belajar Filsafat.
Saya sudah kenal Siska dari tulisan-tulisan selama ini. Jadi tidak terlalu
terkejut” Balas Reza.



“It’s oke. Aku hanya berfikir bahwa Islam tidaklah dapat dinilai hitam
putih.”



“Inikah yang namanya Reza, mahasiswa alim itu. Anaknya amanah. Sejujurnya
aku suka dia. Sebagai pribadi aku melihatnya sebagai bukan tipikal aktivis
yang gemar mengkorupsi uang BEM pada jabatan bendahara Ushuluddin tempo
lalu.” Kisah Siska diam-diam dalam nurani.



Reza mengguman di hati “Inilah yang namanya Arisiska, sering melihat tapi
belum pernah berbincang. Semoga ini menjadi dakwah baginya. Arisiska hanya
mahasiswi pencinta ilmu yang dikelilingi pemahaman berbeda. Insya Allah ini
akan menjadi lahan dakwah.”



Buyar! Tayangan replay dialog singkat itu mesti diakhiri. Satu-satunya
mahasiwi perempuan yang mampu menjadi leader tingkatan UIN itu menopang
dagunya sambil menggigit-gigit kuku. Persis anak perempuan yang gelisah.
Cinta itu aneh memang benar. Bahwa subyektitas yang menentukan seperti kata
Soren Abye Kierkegard bisa jadi tidak keliru pada sela hatinya.



“Aku suka cendekia muslim itu. Atas gagasan Sayyed Naquib Al Attas-nya.



Bagaimana mungkin mahasiswi Aqidah Filsafat jatuh cinta kepada Mahasiswa
semester akhir Tafsir Hadits yang matanya memerah setiap selesai shalat
tahajud itu. Plato dan Aristoteles saja enggan berdamai. Apalagi Plato
dengan Hasan Al Banna.



***



Di sekret FMM keramaian bergeliat.



“Kang, Arisiska, cantik ya? Tapi sayang sudah punya pacar kang.”



Reza menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menggunting kertas brosur acara
untuk ditempel di tiap fakultas.



“Yee si akang, diem bae. Kumaha kang?”



“Ada apa memangnya? Kamu suka Rif?” Ledek Reza.



“Aiiih….. Saya mah enggak masuk hitungan dia kang. Saya mah aktipis, bukan
aktivis. IP saya gundul kang. Kalau tidak 0,1 ya 0,2. Mepet..”



“Ya tidak apa-apa Rif, cinta kan tidak mempersyaratkan IP?”



“Zaman sekarang jangankan IP, nilai UAS aja jadi syarat ikhwan ngelamar
akhwat, kang”



“Itu namanya, akhwat gokil et yahu dotkom, Rif. Masak komitmen cinta dikur
dari UAS? Erich Fromm bisa nangis kalau begitu” Selonong Najib yang dari
tadi mendengarkan.



“Hahahaha”



Belum sempat tawa mereka reda, sekonyong-konyong Anto lari masuk ke sekret
tanpa salam. Nafasnya tidak teratur, naik turun.



“Gawat Za, Rif”



“Gawat apanya, Nto?”



Anto menyelipkan buku kecil tipis Keajaiban Al Qur’an di saku bajunya agar
tangannya dapat menari-nari menguraikan kejadian.



“Kawan-kawan kita digebuki Kang sama mahasiwa Ushuluddin di belakang
Psikologi saat isi kajian”



“Lho kenapa, apa alasannya?”



“Hhh…Hhh…hhh…” Anto kehabisan kata, ia letih bukan main.



‘Tenang Nto, katakan yang sejujurnya” Arah Reza rada cemas.



“Ada isu beredar, FMM bilang mahasiswa Ushuluddin itu Atheis. Isu itu entah
siapa yang menyebar. Sepertinya ada permainan orang ketiga yang gak suka
lihat kita bergeliat di UIN.”



‘”Brengsek. Lalu bagaimana kawan-kawan, Nto” Arif sudah kepalang kesal



“Kantor kita di Dirosah (Islamiyah) juga dihancurkan, Rif”



Mendengar kisah itu, tiba-tiba saja sekret FMM ramai-riuh. Anggota FMM
meminta pertanggung jawaban BEM Ushuluddin yang seenaknya bertindak represif
tanpa ada bukti. Kasus pelecehan Tuhan yang diduga oknum BEM memang sempat
menguak. Area bebas tuhan, seperti yang terjadi di UIN Bandung.!”



“Ini tidak bisa kita biarkan” Sergah para anggota



“Ya maklum, menurutku ini tidak lebih karena ketua BEMF adalah perempuan
yang tidak tegas kepada bawahannya. Pemikirannya pun kerap menghina Tuhan.”



“Kafir!!!!” Pekik Jaka, menggerak-gerakkan telunjuknya kedepan-belakang.



Mendengar nama Arisiska disebut-sebut, dada Reza bergetar. Ia tidak yakin
Arisiska dalang dalam kasus ini.



“Arisiska adalah musuh Islam. Antek Amerika!! Darahnya halal.” Jaka pernah
beradu argument masalah Pluralisme agama bersama Arisiska. Hasilnya dua
sama. Bagi Jaka, skor-nya kosong-dua. Namun kata Arisiska, hasilnya 2-0.
Vonis darah halal itu dibalas Arisiska dengan stigma bahwa intelektual Jaka
cetek. Jaka tidak paham logika. Nalarnya cacat. Pemikir kolot. Absurd. Baru
belajar Islam. Suruh ngaji lagi. Tirani abad pertengahan yang muncul dari
kuburnya. Kawan-kawan diskusi Arisiska tertawa terbahak-bahak kala itu.



Kultur diskusi di UIN Jakarta saat itu amat massif. Segala jenis genre
pemikir keagamaan bervariasi. Grup-grup diskusi ramai dihadiri. Banyak
mahasiswa lebih menghabiskan kulahnya di sekret-sekret kajian, tinimbang
dalam kelas bersama dosen killer.



“Oke nanti malam kita berangkat ke markas Ushuluddin” Pungkas Reza



“Tapi anak-anak Ushuluddin sedang ada pelatihan tiga hari ini” Arif
memberikan info.



“Kita tunggu saja sampai mereka datang”



***



Dan di Puncak, saat pelatihan Filsafat bagi mahasiswa baru. Arisiska menulis
konsep bagaimana Tuhan itu bisa ditembus dengan logika. Iya menulis lafazh
ALLAH, lalu melingkarinya dan menulis kata terdakwa. “Pisahkan antara
kesucian Tuhan dengan kebutuhan akal anda, di situ anda akan menemukan
Tuhan. Jangan terjebak stigma Tuhan itu suci. Itu sama saja membunuh anda.
Anda anak Ushuluddin. Harus kritis. Termasuk kepada agama anda sendiri.”
Pungkas Arisiska dibalas anggukan adik-adik kelas.



Banyak para mahasiswa baru takjub dengan mahasiswi semampai ini. Cara ia
mengajari mudah dicerna. Sontak hal itu memancing peserta sekedar bertanya,
“Sudah punya pacar, kak?”



“Sudah?”



“Siapa, kak?”



“Michel Foucault (baca: Fuko)” sembur sebilah asap rokok di kedua wajah anak
kencur itu. Arisiska bisa leluasa membuka jilbabnya disini.



Paul-Michel Foucault lahir di Poitiers, 15 Oktober 1926. Meregang hidup di
Paris, 25 Juni 1984. Filosof plontos ini adalah seorang filsuf Perancis,
sejarahwan, intelektual, kritikus, dan seorang sosiolog. Bukunya yang
terkenal adalah Sejarah Seksualitas. Pada buku itu, Michel Foucault
mengungkapkan bahwa seks merupakan bagian dari ciri manusia sebagai makhluk
yang berhasrat (desiring subject). Pada zaman Yunani kuno, masyarakat Yunani
menempatkan hasrat seks menjadi bagian dari aktifitas yang sejajar dengan
filsafat, ekonomi, dan manajemen kesehatan (dietetics). Foucault menunjukkan
bahwa kegiatan seks pun mempunyai prestis yang tinggi.



***



Lambat laun, Reza tidak dapat memungkiri bahwa ada cairan empati masuk ke
arterinya. Anehnya, kenapa harus dengan Arisiska. Kenapa tidak akhwat kampus
yang berbaris banyaknya. Reza tidak mau mengurusi terlalu panjang. Namun
sebuah pesan sebelum penggagas FMM, almarhum Akh Ahmad meninggal, sempat
terlintas,



Ahmad berbaring di tempat tidur ruang emergency. “Akhi, tolong adik ana.
Jika kemudian akhirnya ana meninggal. Afwan, ana titip adik si mata wayang
ana kepada antum. Ana yakin dia akan berubah. Sadarkan dirinya, akhi. Ana
yakin antum mampu. Nikahi jika memang antum ingin niat berdakwah. Mungkin
kata-kata ini terdengar aneh nan berat. Sejujurnya ana sangat sayang
kepadanya. Dia lah adik tercinta penopang amanah keluarga.”



Reza memeluk Ahmad dalam pembaringan. Ia sangat mencintai senior dakwahnya
ini. Reza menguatkan hatinya dan menyeka air matanya. Kini Ahmad sebisanya
menarik tangan Reza, lantas meletakkan sesuatu, “Akhi, kitab Ma’alim
Fiththoriqh ini menjadi saksi bahwa cinta itu ada”



Tak berapa lama, Ahmad menutup mata menjemput RabbNya



Forum Mahasiswa Muslim UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menangis. Telah tiada
Ustadz muda pengkaji Fihud Dakwah itu. Telah tiada murabbi ilmu berumur 22
tahun itu. Sontak, pekikan haru jihad membahana seisi ruangan.



Semua mata ikhwan memerah, tak lama menangis keras. Mereka saling berpelukan
meski air amata deras mulai menetas. Sayyid Quthb muda dari Ciputat itu
meregang nyawa memegang musyaf. Ikhwan yang selalu bersemangat berdakwah
kendati ditopang kursi roda. Telah pergi pilar Islamisasi Ilmu dari Gontor.
Hafidz Qur’an. Taujih-taujihnya masih terekam membahana di Masjid Fathullah,
depan kampus UIN.



Muhasabahnya mampu meluluhkan hati. Kakak kandung tersayang Arisiska menutup
usia dengan senyum manisnya. Mahasiswa semester sepuluh Ushuluddin namun
pengkritik keras Fakultas Ushuluddin dan Filsafat! Pengarang buku Izinkan
Aku berjihad ke Palestina Meski Memiliki Sebelah Kaki yang menyerahkan
seluruh royaltinya itu ke dunia Islam. Pengarang buku “Apa kabar Iman antum,
saudaraku” yang ikhlash memberikan semua kost-nya bagi mahasiswa UIN yang
tidak mampu.



Reza terharu. Murabbi, musyrif, guru dan ustadz-nya itu pergi meninggalkan
kenangan indah merajut dakwah bil ilmi yang berat untuk level UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Betapa amanah dakwah itu tidak mudah. Kini Ia memojok
sendu, mengingat pesan almarhum untuk mengawasi adiknya. Terpaan halus
bayangan Arisiska memacu hatinya. Ujian Allah menyentuh titik lemah seorang
laki-laki. Ia beristighfar, dambaan memiliki pasangan solehah dan pecinta
Allah adalah keinginannya. Namun secara jujur ia juga harus mengakui, “Ana
Uhibukki fillah ya, ukhti”.


*“IZINKAN AKU MENCINTAIMU WALAU AKU LIBERAL": KETIKA FILSAFAT DAN CINTA
TIDAK LAGI BERJARAK (SEBUAH NOVELET FILSAFAT PART II)*
**
*Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi**

Pukul 18.20 setelah shalat Maghrib, sekretariat Forum Mahasiswa Muslim (FMM)
UIN yang berada di Student Centre UIN Jakarta sudah ramai dihadiri seluruh
aktivis muslim. Mereka hari ini berencana menyambangi sekretariat BEM
Ushuluddin setelah nota protes yang dilayangkan ke Arisiska tak kunjung
dibalas. FMM sudah kepalang terendam amarah. Hari ini Arisiska harus segera
ditemukan: “Hidup atau mati”. Hannah Arendt dari Ciputat yang kalau sudah
bicara suka nyelekit. Menstigma kader-kader FMM adalah antitesis peradaban
yang lebih cocok tinggal di Arab ketimbang menganggu keutuhan Pancasila di
Indonesia. “Belum belajar Filsafat Sejarah Hegel dan Dekontruksi Derrida.
Terlalu taklid dengan Imam Syafi’i. Orang-orang kaya Jaka itu nanti di
neraka bingung. Ia bertanya-tanya kepada Tuhan, kenapa ia masuk neraka,
sedangkan Bunda Theresa masuk Surga.”



“Hahahaha,” tawa terbahak-bahak kawan satu diskusinya. Arisiska memang
selain terkenal pintar dan cantik, juga  terampil melucu.



“Lalu apa kata Tuhan, Sis?”



“Tuhan malah mengutip pendapat Cak Nur.”



“Hahahahaha,” Gemuruh tepuk tangan kini membahana.



 Sektretariat BEM Fakultas Ushuluddin dan Filsafat penuh sesak. Kantor mini
yang berada di sekitar lantar dasar fakultas ini sedang menggelar surga
buatan bagi satu-satunya agama yang tidak memiliki neraka: Filsafat
Perenialisme! BEM Ushuluddin memiliki empat jadwal padat kajian tiap
minggunya. Dimulai pada hari senin dimana tema akan bergulir mengenai
Filsafat Politik. Disini mereka banyak berdiskusi tentang kenapa Islam tidak
butuh Negara. Kurikulumnya seperti mekanisme negara menurut Plato, sistem
Politik dalam pandangan Aristoteles hingga gagasan tiranik Machiavelli. Rabu
tema mulai mengarah ke arah wacana Islam Kontemporer. Materi tidak jauh-jauh
seputar liberalisasi Islam, Heurmenetika, Dekonstruksi syariah, Homoseksual
Halal, Poligami Jangan, Selingkuh Boleh. Untuk hari Kamis sendiri tema akan
mengendap pada Isu kontemporer seperti demokrasi sampai isu RUU Pornografi.



Dari hasil kajian selama ini, alih-alih ingin membuat semangat mencintai
Islam masuk ke sanubari tiap mahasiswa, yang terjadi justru sebaliknya.
Ujung-ujungnya mahasiswa UIN kini mulai ragu apa benar Al Qur’an itu asli
dari Allah. Jangan-jangan Jibril salah maksud. Kalau yang masih moderat
isunya berkisar pada tanya: Masihkah cocok Al Qur’an diterapkan pada zaman
sekarang, sedangkan Karl Marx, Nietsczhe, Adorno sudah gonta-ganti menulis
buku.Kini pas hari Jum’at tiba, mereka serius untuk berbicara perihal Tuhan.
Kesimpulannya bisa jadi dua: pertama, Tuhan tidak ada. Kedua Tuhan mungkin
ada. Ya mungkin!



Arisiska berdiri di depan *whiteboard* dengan sebuah spidol. Di hadapannya
kini sekitar dua puluhan mahasiswa jurusan Akidah Filsafat, Tafsir Hadits,
dan Perbandingan Agama setia menunggu limpahan kata darinya. Ia ingin
menyadarkan kawan-kawannya bahwa pada dasarnya semua agama memiliki cita
rasa kebenaran. Tergantung bagian lidah mana yang mencicipinya. Ditangannya
masih tergenggam sebuah buku karangan Hans Kung, seorang filsuf yang gemar
mengkampanyekan Pluralisme Agama dan baru-baru ini mengunjungi UIN Jakarta.
Sebuah buku yang relatif tidak terlalu tebal untuk ukuran buku tentang
Filsafat Ketuhanan. Sedangkan di bawah kakinya ada sekitar empat belasan
buku mengenai perenialisme dan tema-tema ketuhanan lainnya.



Arisiska membuka diskusinya. Tangannya menari-nari menjelaskan. Gaya
bicaranya agak berat dan menekan, “Islam tidak bisa mengklaim dirinya paling
benar. Kristen begitu pula. Termasuk Hindu-Budha. Tuhan-tuhan dalam agama
itu adalah tuhan historis. Konsekuensinya bahwa Islam dengan ibadah
shalatnya, Kristen dengan ibadah gerejanya, dan Hindu dengan ritual kuilnya
adalah sederet institusi formil yang berbicara pada wilayah eksoteris
belaka. Jadi, Islam dan agama-agama lainnya sebenarnya menuju pada tuhan
yang sama, hanya saja memiliki cara-cara berbeda. Pada intinya agama-agama
ini memang berbeda, namun kalau kita dalami, mereka sebenarnya memiliki visi
serupa, yakni sebuah kepasrahan kepada ketentraman dan  komitmen pada
kedamaian. Inilah yang disebut filsuf seperti Fritjof Schuon dan Rene Guenon
(Baca: Gino) dengan istilah Perenialisme.”



“Agar kawan-kawan tidak bingung, bisa kau jelaskan dari mana istilah
Perenialisme itu. Karena selama ini kami hanya tahu pluralisme dan theosofi
sebagai dampak dan akar perenialisme?” Tanya Reno, mahasiswa Akidah Filsafat
semester tiga.



 “Istilah philosophia perennis (filsafat perennial) ini sendiri digunakan
pertama kali oleh Agostino Steuco, seorang pustakawan Vatikan dan Kristen
Platonik. Ia menulis De perenni philosophia pada tahun 1540 yang
didedikasikan kepada Paul III. Ia memaparkan dalam karya tersebut pemikiran
Marsilio Ficino, tokoh penting dalam asal mula Tradisionalisme.”

Semua peserta diskusi yang rata-rata pencinta buku itu masih mencerna-cerna.



“Kita diskusi mengalir saja. Tidak perlu serius, tapi bisa santai. Ada yang
mau bertanya lagi disini?” Ungkap Arisiska bersoftlense oranye.



Rahmat angkat tangan. Kakinya bersila sambil melinting batang tembakau di
jemarinya. Khas anak Ciputat yang suka selingkuh.



“Ya silahkan Rahmat,” arah Siska datar



‘’Lalu apakah dengan begitu konsep Perenialisme ini dapat menjamin kerukunan
antar umat beragama? Mengingat walaupun tiap-tiap agama telah kita satukan
sekalipun toh agama tetap saja memiliki klaim-klaim teologis yang tak bisa
kita hindari. Contohnya dalam Islam Nabi Isa tidak di salib, namun dalam
Kristen justru sebaliknya. Dalam Islam yang mengakui tuhan ada tiga itu kan
kafir. Sedangkan Kristen, tidak mengakui kenabian Nabi Muhammad adalah
keharusan. Bagaimana mungkin kita bisa menjembatani kedua hal ini? Sedangkan
Islam dan Kristen dari sisi teologis memberikan ruang cukup paradoks.” Tanya
Rahmat, wakil ketua BEM Ushuluddin. Anaknya cukup pintar, ia berencana
mengambil S2 di Leiden University. Kakak kelasnya di Paramadina sudah lebih
dulu berada disana.



“Baiklah. Aku akan menjawab pertanyaan dari Rahmat. Aku bisa sarankan kamu
untuk bisa membaca buku-bukunya Guenon. Guenon memecahkan permasalahan yang
seperti Rahmat utarakan dengan membagi perenialisme pada empat ciri
mendasar.”



Arisiska mulai menulis berurutan di papan tulis, “ 1. *The unity of God*. 2.
*The Trinity of the manifested God*. 3. *The hierarchy of beings*. 4.
*Universal
brotherhood.”*

* *

 Matanya kini kembali menatap Rahmat*,* “Nah, mengacu kepada yang empat itu,
Islam akhirnya dalam pandangan perenialisme, bisa jadi hanya benar bagi
orang Islam saja. Kristen tidak bisa memaksakan agamanya kepada Islam.
Begitu pula Hindu kepada Yahudi. Karena pada dasarnya semua agama sama.
Bahwa Nabi Isa tidak disalib iya. Tapi kita wajib lebih mendahulukan relogio
etik disini, ketimbang teologi tiranik. Kalau sudah begitu, kebenaran itu
akhirnya akan bermuara pada apa yang disebut Schuon dengan wilayah
esoterisme. Dengan begini kita tetap bisa menyatukan semua agama tanpa
mengusir kebenaran pada masing-masing agama. Nah kalau kita sudah
berpandangan seperti ini. Kita yakin tidak ada lagi klaim sepihak dan
kekerasan antar agama. Karena agama dalam hal ini menjadi relatif. Tetapi
tetap dinamis. Tanpa menutup ruang untuk mengeksistensikan kebenaran
masing-masing. *So*, inilah yang saya maksud dengan..”

Arisiska mengambil spidolnya kembali dan menulis besar-besar di papan tulis
“Absolut yang terelatifkan, dan relatif yang terabsolutkan.”



Rahmat terpukau. Menurutnya sanggahan Arisiska cocok bagi orang-orang
literalis dan skriptualis yang sering menanyakan itu kepadanya. Alhasil,
mulai detik itu ia jatuh hati. Jatuh  hati pada seorang perempuan yang sudah
dianggap Guru Besar Filsafat meski baru semester lima.



***



Sementara itu di sekret FMM, sahut-sahutan sudah mulai menggelora.
Kawan-kawan mendesak agar FMM melakukan tindakan pembalasan atas tindakan
keji BEM Ushuluddin. Nyali Alika Reza sebagai ketua akan dibuktikan disini.
Mereka semua meminta Reza minimal melayangkan pembalasan setimpal agar
pemukulan dibalas pemukulan. Foto wajah bengap anggota FMM yang dipukuli
kini dipasang pada tiap fakultas dari mulai Psikologi sampai Sains dan
Teknologi. Lengkap dengan kop bertulis, “Inikah hasil dari diskusi Filsafat
selama ini?”



Isu beredar bahwa tindakan represif itu diprovokatori Arisiska yang tidak
diterima dibilang kafir dan pelacur oleh Jaka. Arisiska tersinggung berat.
Ia *ngotot* tidak diterima dihina serendah itu oleh mahasiswa semester lima
Fakultas Adab dan Humaniora yang masih bau kencur mengeja Islam menurut
Arisiska. Sedang Jaka berucap bahwa hal itu wajar, “Memang Arisiska pelacur
kok. Saya lihat tiap hari ia menerima uang dari salah satu Negara Eropa
Barat.” Urai Jaka.



“Iblis betina. Antek Liberal.” Sahut lainnya



“Usir Arisiska dari UIN,” timpal rekan sejawat Jaka.



“BEM Ushuluddin perusak akidah mahasiswa baru.”



“Antek Dajjal”



Dan sumpah serapah lainnya yang tidak putus-putus.



BEM Ushuluddin kini terpojok. Mereka yang selama ini terkenal anti
kekerasan, cinta damai, pengusung ide kerukunan antar umat beragama,
ternyata terbentur pada slogan. Tindakan main hakim sendiri empat hari lalu
meruntuhkan wibawa BEM. Kini, seluruh anggota FMM dan berbagai elemen
mahasiswa muslim di UIN telah berkumpul di satu titik yang sama: Depan
Student Centre UIN. Bendera Laailahailallah berkibar menampar-nampar udara
bak panji-panji Shalahuddin Al Ayyubi membentang di bibir Palestina. Satu
langkah kini berjalan, mereka serentak berjalan diikuti pekikan takbir
menuju sekret BEM Ushuluddin dan Filsafat. Barisan terdepan terlihat sangat
bersemangat. Iya mereka justru mahasiswa Ushuluddin sendiri. Ada Jaka dan
beberapa kawan kelasnya. Namun tidak lebih dari lima orang. Mereka baris
beraturan sambil membentangkan spanduk berwajah Arisiska dan gelimangan
dolar di sekelilingnya.



Sedangkan di sekret, kajian masih terus berlanjut. Suasana makin memanas.
Arisiska meletakkan jaket hitamnya di meja ruang sekret BEM Ushuluddin
hingga menyisakan kaos putih bergambar Imanuel Kant di tengahnya. Waktu
maghrib mereka lewati dengan mengindahkan untuk mendirikan shalat. Baginya,
shalat tidak bisa dijadikan ukuran bahwa manusia itu cinta Tuhannnya atau
tidak. Apalagi inti shalat adalah pengabdian kepada Allah sekaligus
mengingatnya.



“Jadi Ibadah itu macam-macam. Diskusi juga ibadah, malah tingkat
kekhusyukannya lebih tinggi dari shalat. Berfilsafat itu adalah dzikir
paling elegan untuk mengingat Tuhan. Jadi orang yang namanya Immanuel Kant
itu lebih soleh ketimbang anak dakwah kampus. Jangan heran kalau David Hume
lebih sering menangis jika mengingat Tuhan ketimbang sederetan mahasiswa
yang sering memanggil kawannya Akhi, Ukhti, Ekhu itu.”



“Hahahaha…” tepuk tangan seluruh peserta diskusi. Tawa mereka riuh merespon
Arisiska menyindir Lembaga Dakwah Kampus Syarif Hidayatullah.



 Ruang sekeretariat ini sebenarnya hanya berlebar 10x10 meter. Tapi selalu
penuh sesak karena massifnya kajian Filsafat rutin disini. Di dindingnya ada
sebuah moto besar berjudul terang: BUAT APA KITA BERTUHAN, JIKA TUHAN
SENDIRI SAJA TIDAK BERTUHAN!! Sedangkan di sampingnya terbentang foto
Arisiska tengah memberikan orasi di depan gedung DPR menolak disahkannya RUU
Pornografi. Saat itu Arisiska berteriak lantang, “Buat apa kita sibuk
mengatur cara pakaian perempuan jika Tuhan sendiri juga mencintai keindahan.
Ingat Pak Ustadz, Tuhan tidak pernah melihat keshalehan hambanya dari aurat,
tapi dari amalnya.” Dan sebuah piagam besar pemberian sebuah kedubes Asing
berdiri disampingnya: “Selamat Atas Terpilhnya Arisika Lenila Wahid Sebagai
Srikandi Hak Asasi Manusia.” Ya gadis pintar, tapi menampar. Pecinta diskusi
luar biasa untuk ukuran mahasiswi UIN seusianya. Selingkuhan abadi Michael
Foucoult yang kadung membuat banyak mahasiswa ateis menyesal baru kali ini
tidak bertuhan.



Saat Arisiska sedang akan menutup kajian, tiba-tiba dari luar sekret mulai
terdengar keramaian. Sahut-sahutan mulai bergulir. Tadinya satu orang, lama
kelamaan disusul satu bundel barisan mahasiswa memanjang membentangkan
spanduk bertuliskan, “Pluralisme Agama Bukan Bagian Dari Islam.”



Sekret BEM Ushuluddin panik bukan kepalang. Mereka menghentikan sejenak
tawanya. Kepala mereka beradu mencuri-curi pandangan dari jendela melihat
situasi mulai penuh kegaduhan. Sedang mereka sendiri tidak tahu apa yang
terjadi.



Ketika telah sampai di depan sekret, Jaka menyuruh temannya berhenti
memekikkan yel-yel. Satu buah jarinya menyangga kelima jarinya membentuk
payung petanda Jaka meminta kawan-kawannya berhenti bersuara.

Rahmat selaku wakil ketua BEM maju ke hadapan. Ia adalah teman satu kelas
Jaka di jurusan Tafsir Hadits.

“Saya mencari Arisiska bukan kamu,” imbuh Jaka memegang balok.



“Ada urusan apa kamu dengan Arisiska? Kalau berani sama laki-laki jangan
perempuan,” tantang Rahmat berbadan agak jangkung dan berambut ikal. Ia
mantan Preman di sekitar Situbondo.



“Aku tidak urusan denganmu, Mat. Minggir kamu,” halau Jaka melempar tubuh
Rahmat yang dibalas Rahmat menarik lengan Jaka.



“Kau lewati dulu mayatku! Sebelum kau ingin bertemu ketua kami!” Tunjuk
Rahmat tepat ke mata Jaka.



Dari arah belakang, Arif mahasiswa Fakultas Psikologi semester tujuh meminta
keberanian Arisiska untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, “Ariska
keluar kau. Berani berbuat berani bertanggung jawab dong.”



“Betul. Tunjukkan batang hidungmu kalau berani,” Sergah Anto. Kawan satu kos
Alika Reza. Anto adalah perwakilan Fakultas Dirosah Islamiyah. Kantor FMM di
fakultas yang *online* dengan kurikulum Universitas Al Azhar Kairo ini
hancur berkeping-keping.



Suasana semakin meruncing. Aroma bentrokan semakin kuat. Rahmat dan
kawan-kawan mulai melakukan *border *melindungi pintu masuk sekret.
Sementara Situasi Ciputat ramai riuh. Peserta Paduan Suara Mahasiswa UIN
yang sedang latihan di samping sekret BEM lari berhamburan menjauh dari
tempat kejadian. Duel akan berlangsung seru. Sayyid Quthb VS Immanuel Kant.
Al Ghazali VS Descartes. David Hume VS Al Kindi. Islamisasi VS Dekonstruksi.



 Para mahasiswa ekstensi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang baru keluar
dari perkuliahan turun rembug melihat dua kelompok massa sudah saling
berhadapan. Mereka terpecah antara bergabung ke BEM dan masuk dalam
lingkuran FMM. Situasi ini mirip seperti momentum bentrok fisik setelah
Pemira pada tahun 2004 (sampai kini juga masih sering terjadi) silam antara
Partai Reformasi Mahasiswa dan Partai Persatuan Mahasiswa. Dua basis
kekuatan politik terbesar di UIN Jakarta.



Sementara elemen mahasiswa muslim yang tergabung dalam FMM terus mendesak,
“Buka…buka..buka.. buka *border*-nya.”



Arisiska terkepung, sedang Rahmat menoleh ke belakang meski tangannya
tergenggam kuat mempertahankan *border*.

“Tahan dirimu di dalam Siska. Aku akan menjagamu disini.”



Untuk menghindari konflik, Arisiska akhirnya menepis imbauan Rahmat. Ia
memberanikan diri keluar dari peraduannya, berjalan lembut sambil merapihkan
jaket hitam ketatnya persis Anna Freud keluar dari ruang prakteknya: Ayu dan
tampak tak berdosa. Arisiska mengangguk kepada teman-temannya agar tidak
terpancing emosi. Kini ia telah berada di depan Jaka, “Ya ini saya. Ada
perlu apa?”



Jaka tersenyum sungging, “Akhirnya keluar juga dalang dari semua skenario
ini. Pembual sejati. Mengaku bagian dari pengusung nirkekerasan (baca: ide
tanpa kekerasan). Ternyata tulisan-tulisanmu selama ini hanyalan isapan
jempol belaka. Murahan sekali kau Lenila. Cantik tapi berhati iblis. Berapa
dolar kau dibayar Eropa?”



Pemilik nama lengkap Arisiska Lenila Wahid itu mengeyampingkan wajahnya.
Kedua tangannya terlipat. Dengan tenang, ia balik tersenyum. “Selamat Datang
Skriptualis. Pecinta Teks. Pemikir Kolot Abad 21 yang hanya bisa menggerutu
tanpa ilmu. Tiranik abad pertengahan yang bangkit dari kuburnya. Maaf ini
bukan Vatikan. Aku bisa mengurus perizinanmu untuk pindah dari Indonesia.
Berapa hargamu?” balas Siska pedas.



“Ow.. bukankah kau yang selama ini punya standar bayaran wahai pelacur?”



Arisiska melepas lipatan tangannya. Kedua softlense oranye di matanya
tiba-tiba terdiam. Ia naik pitam mendengar stigma hina bagi seorang
perempuan itu terbentang di hadapannya. Ia menunjuk wajah Jaka dengan satu
telunjuk terpantau lurus, ”Jaga omonganmu. Hati-hati kalau bicara.”



“Kalau kau memang tidak merasa, kenapa harus marah?”



“Aku tidak pernah mencari uang haram demi kebutuhanku.”



“Owwh mendekat ke Negara adidaya itu dan meminta segenap dolar untuk
membunuh Islam kau pikir bukan pekerjaan haram? Owwh semoga aku tidak
menyesal kau telah menjadi Presiden BEM saat ini.” Jaka bertepuk tangan
seraya tersenyum lalu menoleh ke arah kerumunan kawan-kawannya.



“Hahahahaha…” Gantian Arisiska kini menjadi bahan tawa.



Arisiska sudah mati sabar, ia melempar dengan kencang sebuah buku ke wajah
Jaka,



“Bruuk..”



Jaka memegangi wajahnya. Ia tidak terima dilempar buku oleh Arisiska, “Dasar
jalang.”

Dan Jaka balik mengangkat tanganya ke langit dan siap menampar wajah kecil
Siska.



Arisika menutup muka dengan kedua tangan,



Saat tangan Jaka hampir tiba di muka Siska, tiba-tiba dari belakang Reza
menahan tangan Jaka, “Tahan emosimu, Jak. Kita boleh kesal. Tapi kita
selesaikan masalah dengan baik. Bagaimanapun Arisiska adalah adik dari
Almarhum Akh Ahmad.”



Melihat kehadiran Reza, Siska terdiam. Ia menaikkan wajahnya. Ia tahu betul
siapa pria yang di depannya ini. Pria satu-satunya yang menyanggah
tulisannya tentang Rasionalisme Descartes dengan genangan artikel dua puluh
lembar yang menyala-nyala. Berjudul terang tapi tetap lembut: Kesalahan
Saudari Arisiska Dalam Membandingkan Rasionalisme Descartes dan Al Ghazali.
Iya, dua kakak beradik dari orangtua kandung bernama ilmu.



Reza dan Siska beradu pandangan, dan Reza membenamkan wajahnya. Ujian ini
menyentuh titik terlemah seorang laki-laki sepertinya. Ia sadar bahwa ia
adalah seorang leader di FMM. Statusnya adalah ikhwan. Reza berada dalam
posisi dilemma.  Ia harus memilih antara hatinya dan prinsipnya. Ia tidak
sadar mana yang menjadi keladi rasa cintanya kepada Arisiska. Apakah
kepintarannya, kecintaannya terhadap ilmu, atau jelitanya. Namun yang pasti
ucapan almarhum Akh Ahmad sebelum wafat selalu mengiang di tiap
istikharahnya, “Akhi titip adik ana. Sadarkan ia. Nikahkan jika memang antum
ingin berdakwah kepadanya. Mungkin permintaan ini terasa aneh. Tapi
percayalah akhi, ini adalah suara lubuk hati dari nurani seorang kakak yang
tak tega melihat sang adik sedang terkena tipu daya dunia. Sungguh Arisiska
adalah adik perempuan kami satu-satunya pengemban amanah keluarga.
Berjanjilah Akh Reza, kitab Ma’alim fiththriqh ini menjadi saksi bahwa cinta
itu ada.”



 Reza ingin menangis menyadari betapa beratnya ujian Allah. Ya berat karena
tepat menghantam titik lemah dirinya. Penggiat Islamisasi Sains dan Sayyed
Naquib Al Attas Muda dari Ciputat itu akhirnya menangis dalam hatinya.
Mengungkapkan perasaan jauh lebih sulit ketimbang melukis pemikiran.



Reza mengambil buku yang dilempar Arisiska ke wajah Jaka. Ternyata kitab
Ma’alim Fiththoriqh itu. Dan Reza mengangkat kepalanya menghadap Siska.
“Andai kau tahu Siska apa yang diamanahkan amarhum kakakmu kepadaku”



*Bersambung*



*Penulis adalah alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semasa kuliah aktif
pada kajian-kajian Keislaman dan Filsafat di Ciputat, diantaranya HMI, Forum
Kota, dan Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Mantan Wakil Ketua Kongres (MPR)
UIN Jakarta dan Ketua BEM Bimbingan dan Konseling Islam. Selepas kuliah,
kini aktif pada diskusi sabtuan INSISTS, Kajian Zionisme Internasional, dan
Kuliah Peradaban Islam DISC UI.

--
Sesungguhnya, hanya dengan mengingat Allah, hati akan tenang.
now surely by Allah's remembrance are the hearts set at rest.
N'est-ce point par l'évocation d'Allah que se tranquillisent les coeurs.
im Gedenken Allahs ist's, daß Herzen Trost finden können.
>> al-Ra'd [13]: 28

No comments: