Suatu malam, Umar bin Abdul Azis sedang sibuk bekerja di salah satu
ruangan istananya. Tak disangkanya, salah seorang putranya masuk hendak
membicarakan sesuatu.
"Untuk perkara apakah wahai putraku ke sini, untuk urusan negarakah ataukah urusan keluarga kita?" begitu tanya Umar.
"Urusan keluarga, wahai ayahanda", jawab sang anak.
Maka secepat kilat Umar mematikan lentera diruangan tersebut sehingga gelap gulita suasananya.
"Mengapa ayahanda mematikan lentera itu?", tanya sang anak dengan penuh keheranan.
"Anakku, lentera ini milik negara, minyaknya juga di beli dengan uang
negara, sehingga hanya boleh dipergunakan untuk urusan negara, bukankah
engkau datang untuk urusan keluarga?" begitu Umar menjelaskan.
Tak lama kemudian Umar mengambil lentera lain dari ruangan dalam dan
berkata: "Anakku sekarang bicaralah, lentera ini milikku dan minyaknya
juga dibeli dengan uangku sendiri, maka kita berhak memakainya untuk
pembicaraan mengenai keluarga kita", demikian Umar menegaskan.
Kisah Umar ini sering dikutip para ustad, da'i, aktivis Islam dan para
kyai untuk menjadi contoh bagaimana Umar yg juga sering dijuluki
khulafaur rasyidin yang ke-5 sangat berhati2 dalam menjaga urusan
ummat, memisahkan hak dan kewajiban pribadi dan negara. Menjaga benar
dirinya akan hal2 syubhat dan begitu takut dirinya kelak diadili karena
mendzalimi rakyatnya.
Sejatinya ada beberapa pelajaran penting yang bisa kita peroleh.
Pelajaran yg tidak hanya untuk direnungi di ruang2 kosong dan hampa akan
realita. Pelajaran untuk menjadi pembanding dan pengingat ditengah2
kenyataan yang harus dihadapi dalam kehidupan harian para pelayan ummat
atau pejabat publik dalam bahasa modern sekarang ini. Kisah Umar begitu
mudah kita tuturkan dan begitu indah dan menenteramkan kita dengarkan.
Tetapi senyatanya sulit dan bahkan sulit sekali dijalankan dan begitu
langka dan bahkan nyaris sulit sekali kita temukan pada jaman sekarang.
Lantas, mari kita kupas satu persatu kisah Umar ini, untuk diambil pelajarannya.
Pertama, kisah kesungguhan hidup sederhana. Sebelum ditunjuk sebagai
khalifah, Umar dikenal kaya. Akan tetapi begitu ditunjuk sebagai
penguasa, maka ia lepaskan semua kekayannya dan memilih kehidupan yg
sangat sederhana sampai2 keluarganya mengeluh akan hal ini. Menurut
ukuran para raja saat itu, sungguh sangat pantas seorang penguasa yg
daerah kekuasannya membentang dari Yaman di sebelah Tenggara, Mesir di
sebelah Barat, Persia di sebelah Timur Laut, melebihi kekuasaan para
Raja2 atau Amir di Timur Tengah sekarang ini, duduk dengan megah dengan
singgasana bertaburkan intan permata, pakaian kebesaran yg indah dan
kendaraan yang nyaman. Akan tetapi menyadari betapa beratnya
tanggung-jawab seorang khalifah, maka ia memilih jalan sederhana, jalan
sunyi yg jauh dari hidup glamour dan foya2. Jalan yg tidak lazim,
pilihan hidup aneh dan jauh dari keumuman para raja dan penguasa pada
jamannya.
Tetapi sikap hidup sederhananya tidak lantas sederhana prestasinya.
Bahkan di masa kepemimpinan Umar, dalam buku2 sejarah dituturkan tidak
ada lagi orang yang menerima zakat di negri muslim, ini menggambarkan
kemakmuran hidup rakyatnya. Dan dimasanya seekor keledai tidak merasa
takut berjalan ditengah padang pasir khawatir diterkam serigala, sebuah
gambaran akan keamanan negara. Kesederhanaan hidupnya berbanding
terbalik dengan prestasinya dalam menjalankan roda pemerintahan.
Kesederhanaan hidupnya menjadi kemuliaan dirinya di hadapan manusia
seluruhnya. Saat harta dan tahta ada di genggamannya, hatinya tidak
lantas menggenggamnya. Dunia ada dalam tangannya tetapi tidak di
hatinya.
Sederhana tentu bukan berarti miskin. Lawan kata sederhana adalah mewah,
gaya hidup gemerlap, glamor yang menampakkan semua kemegahan tampilan
luar. Sederhana juga bukan berarti lemah, tetapi sejatinya adalah
mengambil aksesoris dunia secukupnya dan tidak berlebih. Sifat ini
muncul dan lahir dari kedalaman hati, bahwa kemuliaan, harga diri dan
kehormatan muncul bukan bersumber dari duniawi, tetapi semua itu karena
pribadi seseorang.
Mungkin kaum muslimin sekarang akan bertanya: bukankah itu jaman dulu yg
sangat jauh dari realita sekarang. Mari kita tengok di sebuah negri
berbalut salju, Norwegia. Di Negri ini beberapa tahun lalu, ada seorang
Perdana Menteri yg memang juga seorang pengusaha, membeli sebuah mobil
diatas rata2 penduduk Norwegia dengan uangnya sendiri. Maka tak lama
kemudian, ramailah media masa mengkritiknya, dan akhirnya sang Perdana
Menteri ini menjual lagi mobil mewahnya. Di sebuah negeri yg pasti kisah
Umar ini tdk pernah dituturkan, masih ada sifat malu para pemimpinnya
karena kritik rakyatnya. Akhirnya ia rela melepaskan mobil mewahnya.
Padahal tidak ada UU yg melarang ia menggunakan mobil mewah yg dibeli
dengan uangnya sendiri. Tetapi ia seorang pemimpin, seorang Perdana
Menteri yg harus peka atas kehidupan rakyatnya.
Atas kesadaran seperti itu, ia rela menggunakan mobilnya yg seperti
normalnya rakyatnya menggunakan mobil. Ia tidak ingin tampil beda dari
kebanyakan rakyatnya.
Atau tengoklah, bagaimana Wapres Muhammad Hatta yg tidak memberitahu
istrinya akan rencana sanering (pemotongan nilai mata uang) yg akan
dilakukan negara, shg pada saat sanering dilakukan, uang tabungan
istrinya yg dikumpulkan berbulan-bulan untuk membeli mesin jahit,
nilainya berkurang, padahal sesaat sebelum sanering uang tabungan
tersebut hampir mencukupi. Ia tahu menjaga rahasia negara yg kalau dia
obral bisa menguntungkan sebagian dan merugikan sebagian lainnya. Maka
ia mengambil sikap seorang negarawan, rahasia negara harus dijaga
walauun terhadap keluarganya sendiri.
Atau kisah kesederhanaan Muhammad Natsir sang perdana mentri yg kita
kenal dengan mosi integralnya shg menyelamatkan NKRI, ia menolak mobil
dinas yg disediakan negara.
Bagaimanakah kisah ini diperbandingkan dengan kehidupan para pelayan
ummat (baca pejabat publik) yg dulunya bersemangat menuturkan kisah Umar
ini sbg landasan memupuk cita2 besar akan perjuangan masa depan. Sebuah
cita2 yg di rajut dibalik dinding2 rumah petak sempit, diruangan masjid
sederhana, dipadepokan nun jauh dipelosok desa. Saat itu, tdk ada
bayangan sama sekali akan dunia dg segala kemewahannya yg kelak mungkin
ditemuinya. Jangankan membayangkan mobil mewah, rumah besar, jabatan
tinggi, sekedar untuk maka layak tiga kali sehari dengan lauk daging
saja susah. Sekedar membeli susu anaknya saja belum tentu kesampaian.
Kedua, memisahkan kepentingan pribadi, keluarga dan golongan dari
kepentingan negara dan rakyat. Jabatan khalifah adalah amanah ummat,
tangguh-jawab atas rakyat. Harus ada pemisahan yg jelas antara fasilitas
negara dan kekayaan pribadi. Kekuasaan utk mengelola kekayaan negara,
bukan berarti boleh dimanfaatkan utk kepentingan pribadi. Umar telah
metelakkan contoh yg kokoh, ditinjau dari ilmu tata negara sekarang ini,
Umar telah menerapkan prinsip2 Good Corporate Governance atau
menerapkan tata kelola pemerintahan yg baik. Tidak membiarkan kekayaan
negara di manfaatkan untuk dirinya atau keluarganya atau golongannya,
melainkan fasilitas negara hanya untuk rakyat. Ia juga tidak bermaksud
menggunakan pengaruhnya sbg kepala negara demi memuluskan proyek2
pemerintah untuk memperkaya diri, keluarga atau golongannya. Sungguh
teladan yg sangat sempurna. Hendaknya begitulah para pelayan ummat
(pejabat publik) dalam menjalankan tanggung-jawab jabatannya.
Di Jepang, kita mendengar ada seorang pejabat mundur dengan sukarela krn
memberi perlakuan khusus atas rekan bisnisnya untuk mendapatkan proyek.
Atau tengoklah kisah Muh Hatta diatas, keteguhannya menjaga rahasia
negara berupa informasi sanering ia jaga benar, sampai2 istrinyapun
tidak ia beri tahu. Shg uang tabungannya yg sudah dikumpulkan berbulan2
utk membeli mesin jahit nilainya mengecil krn sanering. Padahal apalah
salahnya Muh Hatta memberi tahu saja informasi itu, shg dg tambahan
sedikit uang istrinya sudah bisa membeli mesin jahit sebelum sanering
dilakukan. Toh ini bukan korupsi. Tetapi sekali lagi, teladan luar biasa
dari seorang pejabat publik yg tahu memisahkan kepentingan negara dan
kepentingan pribadi.
Bagaimana di negri ini? Kita membaca seorang wakil rakyat, pemimpin
sebuah partai, memanggil seorang pejabat kementrian utk datang ke kantor
partainya. Tidakkah ia malu pada Umar yg mematikan lentera Istananya
krn anaknya datang utk urusan keluarga. Pada jaman Umar, tentu teori
"tata kelola pemerintaan yang baik atau good corporate governance"
mungkin belum ada, tetapi ia sudah mempraktekkkannya. Sangat sulit
dimengerti, bahwa pencampur adukan kepentingan publik dan golongan
terjadi begitu nyata. Kalaulah tujuannya memang baik yaitu meyampaikan
permasalahan umum, yg pasti cara seperti ini salah, krn tdk sesuai
dengan logika sehat menjalankan pemerintahan.
Semoga pelajaran Lentera Istana Umar masih belum terlambat utk diingat dan di contoh.
No comments:
Post a Comment