Wednesday, June 19, 2019

Jual beli politik atas nama angkatan '66

Aksi-aksi demo mahasiswa pada 1966 yang berakhir dengan jatuhnya pemerintahan Orla memunculkan istilah angkatan ’66. Istilah ini merujuk pada kelompok mahasiswa yang berdemo di tahun 66.


Entah siapa yang pertama kali memakainya. Namun, istilah ini kemudian digunakan oleh beberapa tokoh aksi demo mahasiswa yang ikut membentuk Orde Baru. Mungkin didorong kebiasaan kita yang senang menggunakan istilah angkatan-angkatan.


Jadinya latah mengikuti penggunaan istilah angkatan ’28 (Sumpah Pemuda) dan angkatan ’45 (proklamasi RI) sebelumnya. Istilah angkatan sendiri mengacu pada sekelompok orang yang kira-kira usianya sebaya dan sama-sama memiliki suatu gagasan atau perjuangan bersama.


Namun, sesudah cita-cita mereka tercapai, banyak di antara mereka yang terpecah-belah, bahkan saling bermusuhan, seperti misalnya yang terjadi dengan angkatan ’45 pada 1950-an dan 1960-an.


Istilah angkatan ’66 yang digunakan untuk menyebut para pelaku demo mahasiswa tahun ’66 banyak dipertanyakan dan dikritik orang di kemudian hari, termasuk oleh para pelaku demo mahasiswa itu sendiri.

Mereka mengatakan bahwa nuansa pergerakan mahasiswa tahun ’66 itu berbeda dengan peristiwa Sumpah Pemuda dan Proklamasi Kemerdekaan serta perjuangan mempertahankannya.

Pada mulanya perjuangan itu adalah gerakan spontan yang berlandaskan moral untuk mengkritik pemerintah.Penyebabnya adalah kerisauan mahasiswa terhadap keadaan sosial ekonomi negara yang buruk, pemerintahan yang otoriter, dan kelakuan pejabat-pejabatnya yang kurang bisa diterima. Namun, demo yang tadinya murni karena dorongan moral berubah menjadi gerakan yang lebih bersifat politik kekuasaan.

Segelintir elite politikus organisasi mahasiswa malah mengkooptasikan dirinya dengan kekuatan ABRI (terutama Angkatan Darat) yang kemudian mendirikan pemerintahan Orde Baru. Mereka menamakan dirinya sebagai angkatan ’66 untuk melegitimasi kelompok mereka, bukan mengacu pada kebanyakan mahasiswa yang mandi keringat kepanasan dan kehujanan berdemo waktu itu.


Adanya perpecahan di kalangan mahasiswa tahun ’66 terjadi tak lama setelah Bung Karno kehilangan kekuasaannya, yaitu saat proses pembentukan pemerintahan Soeharto mulai bergulir. Waktu itu banyak terjadi perbedaan pendapat dan polemik di antara para eks aktivis mahasiswa. Hal ini terus berlanjut hingga Pemilihan Umum 1971 dan Peristiwa Malari 1974. Perbedaan ini terlihat dengan pendirian Monumen ’66 di depan sebuah hotel mewah di kawasan Kuningan pada 1980-an.


Monumen ini sudah dipindahkan ke tengah jalan karena pelebaran Jembatan Rasuna Said. Adapun hotel di dekatnya adalah kepunyaan sekelompok eks pentolan mahasiswa tahun ’66 tadi. Mereka telah menggunakan “perjuangan” mereka untuk memperoleh konsesi dari pemerintah Orba. Embel-embel angkatan ’66 pulalah yang mempermudah mereka menjadi sekelompok pengusaha.


Saya kira banyak eks mahasiswa ’66 yang tidak tahu-menahu dengan pendirian Monumen ’66, bahkan banyak yang mencibir karena merasa aneh. Mengapa monumen ini didirikan di depan sebuah hotel mewah, di tempat yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan aksi perjuangan mahasiswa ‘66?


Setahu saya, kebanyakan teman saya yang berdemo waktu itu murni karena sikap moral mereka. Perjuangan mereka adalah gerakan tanpa pamrih, ungkapan panggilan jiwa serta bukti kepedulian dan keberpihakan mahasiswa terhadap nasib rakyatnya. Titik. Bukan karena motivasi lain.


Hal ini juga dikemukakan oleh Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa ’66 yang almarhum dalam usia muda. Dia menganalogikan perjuangan mahasiswa waktu itu seperti pengelana koboi jago tembak yang kebetulan singgah di desa yang dikuasai para bandit. Si koboi merasa muak melihat kelakuan tengik para bandit dan terenyuh melihat para penduduk desa yang tertindas. Dia merasa terpanggil untuk membebaskan desa tersebut dari cengkeraman para bandit.


Tanpa ada yang meminta atau menyuruhnya. Dia hanya menuruti instingnya saja. Setelah berhasil mengalahkan para bandit, penduduk desa ingin menyampaikan terimakasih dengan memberikan hadiah dan mengangkatnya sebagai sherif desa tersebut.


Sang koboi jagoan kita ini menolak karena apa yang dilakukannya bukan untuk mendapatkan hadiah atau mencari jabatan. Maka, dia pun segera mengucapkan selamat tinggal kepada penduduk desa dan meneruskan perjalanannya.


Soe Hok Gie berpendapat aksi mahasiswa adalah gerakan kelompok yang seharusnya seperti tindakan si koboi. Gerakan murni karena moral dan panggilan hati nurani, bukan karena alasan lain atau mengharapkan pamrih, misalnya untuk cari jabatan dan kekuasaan.


Setelah selesai misinya, seharusnya kembali lagi ke kampus, meneruskan kuliah dan berkarier masing-masing. Saya kira pemikiran Hok Gie ini diilhami film koboi Shane yang dibintangi Alan Ladd. Film ini diputar pada pertengahan 1950-an dan sangat terkenal. Saya sendiri pernah menontonnya dan ceritanya mirip dengan analogi cerita koboi yang disampaikannya itu.


Saya termasuk mahasiswa yang merasa keikutsertaan saya dalam demo mahasiswa 1966 adalah murni karena alasan moral, yaitu memperjuangkan yang benar menurut hati nurani saya. Bukan karena ikut-ikutan atau disuruh, apalagi dibayar orang.


Jadi, saya sangat setuju dengan pendapat Hok Gie. Oleh sebab itu, saya termasuk orang yang merasa bahwa penciptaan angkatan ’66 adalah sesuatu yang absurd, bahkan bisa dibilang sebagai rekayasa kepentingan politik. Saya percaya gerakan moral mahasiswa seperti yang terjadi tahun ’66 akan selalu muncul saat dibutuhkan atau dalam situasi genting, bukan hanya monopoli mahasiswa tahun ’66.


Gerakan moral sudah dilakukan kaum muda terpelajar sejak dulu dan akan terus di masa mendatang karena sifatnya yang universal. Ini pula yang terjadi dengan peristiwa kebangkitan nasional oleh para siswa STOVIA pada 1908, Sumpah Pemuda Oktober 1928 serta peranan para pemuda dan mahasiswa di sekitar proklamasi dan perang kemerdekaan.


Saya tentu berharap gerakan moral kaum muda terpelajar ini jangan sampai mau dikooptasi oleh kekuasaan apapun. Namun, hanya panggilan nurani untuk dan demi kemajuan bangsa dan rakyatnya semata.


Akan tetapi, saya mendengar pendapat ini dicerca oleh kelompok yang berkooptasi dengan ABRI demi mendirikan Orba. Mereka mengatakan bahwa pendapat seperti itu adalah pendapat orang-orang yang naif, sok idealis atau pendapat dari mereka yang sakit hati karena tidak ikut kebagian rezeki. Saya kira mereka boleh saja bicara demikian.


Barangkali secara fakta juga ada benarnya. Munculnya barisan sakit hati dalam sebuah kelompok sudah ada sejak perjuangan kemerdekaan dan akan terus ada sampai kapanpun. Saya kira tidak sedikit kalangan yang menamakan dirinya angkatan ’66 atau eks Laskar Ampera ARH yang mencoba mencantolkan diri pada kekuasaan atau mencari kedudukan dengan berbagai kelihaian dan tipu muslihat. Namun, banyak juga yang tidak berhasil.


Saya pribadi tidak pernah merasa harus membangga-banggakan atau membawa perjuangan mahasiswa ‘66 dalam hidup dan karier saya kemudian. Saya kira banyak teman saya yang juga berpendirian demikian. Sampai sekarang pun saya dan teman-teman saya ini tidak pernah mau mengkooptasikan diri dengan sistem kekuasaan apa dan siapapun.


Meskipun kesempatan itu, terus terang dan bukannya mau menyombongkan diri, sebenarnya banyak terbuka jika saja kami mau memanfaatkannya. Namun, seperti yang sudah saya katakan, saya lebih merasa nyaman dan senang sebagai orang yang bebas merdeka sehingga dapat mengatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Sulit bagi saya untuk bisa menjadi pengikut, kroni apalagi penjilat dari siapa saja yang kebetulan sedang berkuasa.


No comments: