Thursday, August 09, 2007

CARA ORANG PINTAR PILIH GUBERNUR


Banyak cara untuk menilai calon Gubernur (Cagub) mana yang layak
menjadi poemimpin DKI berikutnya. Berbagai macam "kecap" dijual kepada
masyarakat untuk menjual popularitas masing-masing Cagub. Namun mari
kita coba juga melihat dari sisi-sisi yang mungkin selama ini kurang
diperhatikan oleh masyarakat Jakarta.

1. Kata Kerja VS Kata Keterangan

Seperti kita sama-sama ketahui, kedua calon memasang tagline untuk
kampanye mereka. Pasangan Adang-Dani memakai "AYO BENAHI JAKARTA" dan
pasangan Fauzi-Priyanto memakai "JAKARTA UNTUK SEMUA." Mungkin
masyarakat tidak terlalu memikirkan makna dari tagline tersebut,
padahal tagline merupakan gambaran singkat tentang karakter dari
pemilik tagline tersebut, contohnya : Nokia dengan tagline "Connecting
People" nya menunjukan Bahwa HP Nokia mudah untuk digunakan (user
friendly).

Nah, bagaimana dengan tagline kedua pasangan Cagub ini?

Yang pasti sehari setelah terpilih, hal pertama yang harus langsung
dilakukan oleh Sang Gubernur terpilih adalah BEKERJA. Mereka dipilih
oleh masyarakat memang untuk BEKERJA melayani masyarakat. Disini dapat
dilihat bahwa tagline milik pasangan Adang-Dani lah yang mencerminkan
`kata kerja," yaitu: "AYO BENAHI JAKARTA." Tagline tersebut memiliki
kata BENAHI yang merupakan kata kerja sekaligus menggambarkan bahwa
pekerjaan yang akan dilakukan setelah terpilih menjadi Gubernur adalah
MEMBENAHI Jakarta. Disitu pun ada kata "AYO" yang mencerminkan ajakan
kepada masyarakat DKI untuk turut serta membenahi Jakarta sebagai
suatu bentuk teamwork yang apik antara masyarakat dengan Pemerintah
Daerah DKI.

Lalu bagaimana dengan tagline "JAKARTA UNTUK SEMUA" milik pasangan
Fauzi-Priyanto? Menurut hemat saya itu lebih merupakan "kata
keterangan," bukan "kata kerja." Keterangan bahwa setelah terpilih
nanti akan "menyerahkan" Jakarta ini untuk "Semua." Pertanyaannya
adalah, siapakah yang dimaksud dengan "Semua" itu? Tentunya masyarakat
sangatlah takut jika yang dimaksud "Semua" adalah: Semua teman-teman
saya, semua orang partai yang telah mendukung saya sebelumnya, semua
pemilik Mal dan Hypermart, semua koruptor yang selama ini mau
berkongkalikong, semua penjahat berdasi, semua pemilik modal yang mau
`berbagi' dengan Pemda, semua pemilik tempat-tempat maksiat di Jakarta.

Ketakutan–ketakutan seperti ini sangat lah wajar mengingat itulah
realita yang selama ini masyarakat lihat dan rasakan. Jadi siapakah
yang dimaksud dengan "semua" itu sebenarnya? Masyarakat tentu sangat
menginginkan pemimpin yang siap untuk bekerja melayani masyarakat yang
siap berjuang untuk me-recovery kondisi Jakarta yang sudah carut-marut
ini.

Semoga orang pintar juga pintar dalam memilih.

2. KB dan Banyak anak

Masih ingat dalam benak kita slogan "DUA ANAK CUKUP" milik dari
program Keluarga Berencana (KB). Maksud dari sosialisasi itu tak lain
dan tak bukan adalah untuk menghimbau para keluarga muda untuk
memiliki dua anak saja dengan asumsi lebih mudah mengurus sedikit
anak. Tidak usah pusing-pusing mikirin mahalnya biaya pendidikan
sampai masalah bagi-bagi warisan yang kerap bisa berujung ke acara
"bunuh-bunuhan" antar anggota keluarga.

Lalu apa hubungannya dengan Cagub DKI?

Sebetulnya kita semua mungkin agak kecewa dengan hanya ada dua calon
saja sehingga pilihan masyarakat menjadi sangat sedikit. Namun marilah
kita jalani saja apa yang sudah terjadi. Satu pasangan diusung oleh
satu partai sedangkan yang satunya lagi diusung lebih dari dua puluh
partai. Mungkin memang terlihat sedikit seram karena seperti ajang
pengroyokan tapi mudah-mudahanan tidak seperti itu adanya.

Kalau dilihat dari sudut pandang waktu "SEBELUM" pemilihan, dukungan
dari multi partai ini memang terlihat sebagai suatu kekuatan, terkesan
bahwa salah satu pasangan didukung oleh hampir seluruh partai yang ada
di Indonesia. Namun saya sangat lah yakin bahwa masyarakat TIDAK
PEDULI dengan masa SEBELUM pemilihan tapi yang terpenting bagi
masyarakat adalah masa SETELAH pemilihan. Yaitu, apakah pasangan
terpilih dapat bekerja semaksimal mungkin untuk melayani masyarakat?
Itu yang terpenting.

Kembali ke masalah KB tadi, jika dukungan sebelum pemilihan itu kita
ibaratkan sebagai janin dan hasil pilkada adalah anak, maka apakah
mungkin sebuah keluarga dapat mengurus anaknya dengan maksimal jika
anaknya berjumlah 24 orang lahir secara bersamaan?

Apakah mungkin dapat "menyusui" 24 anak secara bersamaan?

Apakah mungkin dapat "mendidik" 24 anak secara bersamaan?

Apakah mungkin dapat "mengatur" 24 anak secara bersamaan?

Rasanya sangat sulit. Yang paling menakutkan adalah jika ke 24 anak
tersebut meminta warisannya masing-masing dan tiap anak meminta
warisan yang terbesar karena merasa yang paling berjasa. Yang ada
adalah waktu 24 jam sehari yang dimiliki oleh pasangan terpilih (orang
tua) mereka hanya akan habis untuk mengurusi anak-anaknya yang
kerjaannya hanya merongrong. Lalu kapan melayani masyarakatnya? Lebih
baik ikuti program KB saja.

Semoga orang pintar juga pintar dalam memilih.

3. Nasionalisme VS Religiusisme

Saat ini timbul kesan bahwa pertarungan antara dua pasangan cagub
adalah pertarungan antara dua ideologi, yaitu : Nasionalisme vs
Religiusisme. Rasanya ini hanya akal-akalan dari para elit partai
untuk membuat isu yang kenyataanya tidak lah benar. Namun andaikan pun
benar, manakah yang lebih baik antara Nasonalisme vs Religiusisme?

Mungkin pertanyaan yang lebih tepat adalah "manakah yang lebih
penting, mencintai Tuhan terlebih dahulu atau mencintai Negara
terlebih dahulu?" Menurut saya seseorang yang nasionalis belum tentu
bisa menjalankan agamanya dengan baik, bisa jadi mereka cinta
negaranya namun dengan cara-cara yg tidak benar seperti korupsi,
ketidakadilan, penipuan, dll. Namun jika orang telah mencintai
Tuhannya maka Ia pasti juga akan mencintai apa-apa yang sudah
dititipkan oleh Tuhan kepadanya termasuk negara Indonesia dan kota
Jakarta. Dan bedanya seorang yang religius adalah bahwa mereka akan
menjalankan amanat mereka dengan cara-cara Tuhan yaitu: kejujuran,
kerendahan hati, atau keadilan.

Jadi sebetulnya yang terjadi bukanlah perlombaan antara Nasioanalisme
melawan Religiusisme melainkan antara Nasionalisme melawan
Religiusisme plus Nasionalisme. Karena Nasionalisme belum tentu
Religius sedangkan Religiusisme wajib Nasionalisme.

Semoga orang pintar juga pintar dalam memilih.

4. Kakak- Adik

Bila dalam sebuah keluarga terjadi kejadian seorang kakak menggencet
adiknya untuk merahasiakan kesalahan kakaknya kepada orang tua mereka
maka itu adalah hal yang biasa saja dan sering terjadi. Biasanya
seorang adik memang takut kepada kakaknya jadi ia akan melakukan apa
saja yang disuruh kakaknya walau secara terpaksa dan tidak sesuai
dengan hati nuraninya.

Hubungannya dengan Pilkada DKI?

Saya takut sang "kakak" yang sudah mau lengser mati-matian menaikkan
"adiknya" supaya dapat digencet untuk tutup mulut tentang kebobrokan
kakaknya di masa lalu. Padahal hampir semua orang tahu bahwa Pemda
kita penuh dengan kepalsuan. Masyarakat bahkan sudah merasakan itu
dari level yang rendah seperti kelurahan. Jika kelurahan kita anggap
sebagai "anak" dan Pemda sebagai "Bapak" maka "LIKE FATHER LIKE SON."
alias anak sama saja seperti bapaknya, malah biasanya bapaknya lebih
bobrok dibanding anaknya.

Namun jika kepemimpinan berikutnya bukan dipegang oleh "Adik" nya
melainkan oleh orang lain maka kemungkinan terkuaknya kebobrokan dan
kecurangan masa lalu sangatlah mungkin untuk dilakukan. Karena sudah
saatnya kejujuran yang berbicara dan bukan masa seperti masa orde
baru. Sekarang sudah saatnya orang-orang reformis yang memimpin dan
melakukan pembenahan akibat kehancuran kinerja "orde baru." Mari kita
dukung orang yang berani dan tidak mendapat tekanan darimana pun untuk
menguak kebobrokan dan kecurangan di masa lalu.

Semoga orang pintar juga pintar dalam memilih.

5. Gerak Tubuh (Gesture)

Mungkin bagi sebagian orang gestur tubuh dari seseorang tidak lah
penting, namun bagi sebagian orang yang memiliki intelektualitas
tinggi maka hal ini menjadi sangat penting. Apakah seorang calon
pemimpin itu memiliki cara berdiri yang tegap, sorotan mata yang
tajam, senyum yang lebar dan ramah, pembawaan yang berwibawa, serta
kharisma seorang pemimpin? Hal tersebut menjadi pertimbangan bagi
sebagian orang yang mengerti mengenai "bahasa tubuh." Karena pembawaan
fisik merupakan cerminan dari jiwa seseorang. Jika cara berjalan
seseorang tegap, sorotan matanya tajam, dan memiliki senyum yang lebar
maka itu mencerminkan jiwanya sebagai seorang pemimpin yang tegas dan
berwibawa. Begitu pula sebaliknya jika seseorang berjalan bungkuk,
sorot mata lemah, senyum tidak natural maka itu menunjukan lemahnya
jiwa kepemimpinan orang tersebut.

Nah, manakah dari kedua Cagub kita ini yang memiliki Gestur tubuh
layaknya seorang Pemimpin yang kuat dan berwibawa?

Semoga orang pintar juga pintar dalam memilih.

+Prince Fajar+

No comments: