Friday, August 24, 2007

Sabra, Trauma, dan Aroma Perlawanan



"Are you Omriki?" Pertanyaan bernada membentak dan cengkeraman keras
laki-laki tambun warga Palestina itu, getarannya hingga kini masih terngiang
di gendang telinga seorang wartawan.

Menjelang Maghrib, empat tahun lalu. Suasana Sabra, kamp Palestina yang
terletak di wilayah selatan Beirut tetap saja hiruk pikuk. Aktivitas warga
belum lagi luruh oleh matahari yang mulai tenggelam.

Para pedagang masih menggelar dagangan mereka di pinggiran jalan, dan tak
ada tanda-tanda untuk lekas berbenah. Tukang tambal ban dan service
kendaraan, tenggelam dalam pekerjaan mereka. Di kamp itulah, ribuan orang
Palestina tinggal. Disesaki gedung-gedung bertingkat, mirip rumah susun,
setiap keluarga mendapat satu kavling, terdiri dua kamar tidur, ruang tamu,
dan peturasan.

Di lingkungan yang tua dan mulai kumuh itu, semuanya tampak hidup rukun.
Sama halnya dengan Kamp Shatila. Lantas, kenapa lelaki tadi terkesan
sensitif dan traumatik terhadap orang asing? Jawabannya ada pada peristiwa
sekitar 24 tahun silam.

Beirut Barat, 15 September 1982. Pesawat-pesawat tempur Israel terbang
rendah membayangi kota. Hari masih pagi, sekitar pukul 09.00. Di puncak
gedung kedutaan Kuwait, Ariel Sharon (saat itu jenderal penuh dan menjabat
menteri pertahanan Israel) berdiri. Pandangannya menyapu kota, mengawasi
tank-tank pasukannya yang menyusup di balik gedung-gedung. Dari lantai enam,
leluasa dia melihat Sabra dan Shatila, dua penampungan pengungsi terbesar di
Lebanon.

Matahari di ubun-ubun saat ia melihat ke selatan. Sabra dan Shatila --dua
kamp namun dalam satu lokasi-- terkepung sudah. "Ada 2.000 teroris di
dalamnya," demikian Sharon menuduh.

Selanjutnya, senja, malam, hingga dinihari, berlalu bagai neraka bagi
penghuni kamp. Bom-bom berjatuhan. Para sniper membidik jantung para
pengungsi dan tubuh warga sipil lain di jalan raya. Juga di Beirut Barat,
Kamis 16 September 1982. Juru bicara militer Israel meluncurkan rilis,
"Tsahal telah menguasai seluruh titik strategis di Beirut. Kamp pengungsi,
termasuk konsentrasi teroris, telah dikepung dan ditutup." Tsahal adalah
pasukan Israel. Pagi itu pula, sebuah instruksi diterima serdadu Israel.
"Pembersihan kamp akan dilakukan Phalangis." Sekitar 150 anggota pasukan
Phalangis, tentara Kristen Lebanon, pun bergerak. Tengah hari, Sharon
berkata singkat, "Operasi disetujui."

Dan berlanjutlah kenistaan itu. Selama 40 jam Phalangis menganiaya,
memerkosa, membunuh warga-warga sipil tak bersenjata di dalam kamp. Sebagian
besar korban adalah anak-anak, perempuan, dan orang tua. Jangankan melawan,
kata-kata pun, saat itu mungkin tak bisa lagi keluar dari mulut-mulut yang
bergetar ketakutan. Tentara Israel mengawasi "kawan-kawan" mereka bekerja.
Mereka membantu dengan mencegah para pengungsi kabur dari kamp.

Tujuh ratus tewas, kata sumber resmi Israel tentang pembantaian saat itu.
Tapi, media massa menyebut angka 3.500 orang. Sementara Komite Palang Merah
Internasional (ICRC) mencatat 1.000 jenazah dimakamkan. Semua angka itu
belum mencakup mayat yang terkubur di balik reruntuhan kamp dan orang-orang
yang diculik dan diangkut entah ke mana.

"Empat hari saya mencari anak saya dan suaminya di antara mayat-mayat. Saya
temukan Zainab sudah mati; wajahnya terbakar. Saya temukan juga suaminya;
tanpa kepala," kata Samiha Abbas Hijazi, seorang Palestina, saat itu.

Seperti juga Samiha, dunia menangisi peristiwa biadab itu. Dewan Keamanan
PBB mengutuknya lewat Resolusi 521 pada 19 September. Lalu pada 16 Desember
Majelis Umum PBB dalam resolusinya menyebut pembantaian itu sebagai aksi
pemusnahan etnis. Tapi, tetap saja tak ada sanksi apa-apa.

Sabra dan Shatila menjadi 'masterpiece' Ariel Sharon (sekarang mantan
Perdana Menteri Israel) di antara rentetan kejahatan kemanusiaannya sejak ia
menjadi anggota Haganah --pasukan bawah tanah Zionis-- pada usia 14 tahun.
Jadi maklum, kalau sekarang warga Kamp Sabra dan Shatila jadi cenderung
traumatik terhadap orang asing. Bayangkan, kalau tidak waspada, nyawa
merekalah yang menjadi taruhannya. Moncong rudal yang dilepaskan serdadu
Israel memang bisa datang tiba-tiba, tanpa peringatan.

Seorang dokter menyatakan, barangkali dunia memang ingin membiarkan orang
Palestina binasa. Warga pun wajar hidup dalam was-was. Ini terlihat dari
cerita mereka, yang percaya bahwa Israel tengah membuang racun di dekat
perairan Lebanon.

Suasana perang sebenarnya sudah terlihat di setiap sudut. Meski hanya
mengatur kerumunan lalu lintas, para polisi tak pernah alpa menyandangkan
senjata serbu AK 47. Kekerasan terasa sepeti siap meledak setiap saat.
Apalagi banyak gedung yang rusak karena bom dan terlumuri bekas lubang
peluru dibiarkan begitu saja. Warga Palestina di Lebanon selatan memang
sudah lama bersiaga untuk perang.

"Lihat atap gedung kami yang berlobang ini. Semuanya adalah sisa tembakan
rudal Israel. Kamp kami rusak. Banyak saudara kami meninggal dan cacat
seumur hidup. Semuanya jelas akan kami balas,'' kata seorang penghuni Kamp
Sabra. Kini, barangkali kamp itu kembali digempur, sama seperti 24 tahun
lalu. Bedanya, kini mereka punya kesempatannya untuk setidaknya
mempertahankan diri.

Di Sabra dan Shatila, senjata bukan satu-satunya alat 'mempertahankan diri'.
Meski sarana pendidikan jauh dari mencukupi, namun di setiap tempat
pendidikan, terpasang peta Timur Tengah, dengan wilayah Palestina, tanpa
Israel. Dari sarana-sarana sederhana itulah, harga diri dan nasionalisme
Palestina dipompakan. Sikap anti-Amerika, misalnya, diwujudkan dengan
memasang gambar bendera Amerika Serikat sebagai keset di pintu-pintu masuk.
Sebuah aroma perlawanan yang sangat kental di tengah traumatik dan hujan
peluru.

(uba/rys )

No comments: